Redundant 11: Poda Na Lima
Oleh Erry Yulia Siahaan
“Berubah dan berbuah,” tegas Pdt. T Hutahaean suatu malam, pada acara Bona Taon Parompuan di Bogor. “Semakin berubah, semakin berbuah.”
Bona Taon Parompuan adalah bahasa Batak untuk “Buka Tahun Perempuan”, acara yang menandai dimulainya lagi kegiatan rutin perempuan di suatu komunitas, misalnya di gereja. Secara harfiah, bona taon berarti pangkal/awal tahun (bona berarti pangkal atau awal, taon berarti tahun). Secara filosofi, bona taon berarti syukuran kekeluargaan menapaki tahun baru dan biasanya diselenggarakan pada kuartal pertama.
Pada kesempatan yang dihadiri oleh lebih dari 200 perempuan itu, Hutahaean menggarisbawahi pesan dari Galatia 2 ayat 20a dan Yohanes 15 ayat 2. Dijelaskan, yang dimaksudkan dengan berubah di sini adalah mengalami kemajuan dalam hal-hal yang baik. Mau diproses oleh Tuhan menuju pribadi yang lebih baik setiap waktu. Terutama bagi para perempuan, menjadi pribadi yang baik adalah ideal dalam keluarga. Para ibu merupakan teladan bagi anak-anaknya. Jika ibu berubah dan berbuah, anak-anak akan meneladani untuk juga berubah dan berbuah.
“Iblis tidak takut hanya karena kita ikut koor atau sering datang ke gereja. Tetapi iblis hanya takut kalau kita berubah karena kita hidup dalam Tuhan,” kata Hutahaean. Jadi, hidup kita haruslah seperti ranting yang menempel pada pokok anggur, yang siap, bahkan selalu, berbuah. Perubahan ini haruslah nyata dalam perkataan, dalam bersikap, dan dalam perbuatan.
Poda Na Lima
Hutahaean lalu mengutip Poda Na Lima, yakni falsafah, sipaingot (nasihat) atau petuah yang terkenal di tengah masyarakat Batak, yang terdiri dari lima nasehat yaitu Paias Rohamu (Bersihkan Jiwamu), Paias Pamatangmu (Bersihkan Badanmu), Paias Parabitonmu (Bersihkan Pakaianmu), Paias Bagasmu (Bersihkan Rumahmu), dan Paias Pakaranganmu (Bersihkan Lingkunganmu).
Buat saya, Poda Na Lima merupakan redundansi yang diperlukan dalam hidup, bukan saja sebagai sebuah slogan, gerakan, dan pesan, tetapi juga sebagai tindakan. Lahir dan dibesarkan di tengah keluarga Batak, saya sering mendengar slogan-slogan berpetuah dan bermakna dari tetua Batak melalui orangtua dan kerabat. Misalnya, Dalihan Na Tolu, Poda Na Lima, dan lainnya. Slogan-slogan ini dinilai penting untuk diingat dan kemudian diimplementasikan dalam hidup sehari-hari. Bukan karena hal itu belum dilakukan sama sekali, tetapi supaya tetap diingat dan tidak diabaikan. Merujuk pesan orangtua, sebagai warga komunitas Batak, saya harus bangga pada slogan-slogan itu yang merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat Batak.
Poda Na Lima merupakan salah satu bentuk kearifan lokal sekaligus dasar pendidikan karakter bagi masyarakat Batak. Poda berarti sipaingot atau nasehat, sedangkan na (kata bantu) berarti “yang” dan lima berarti “lima”. Jadi, “na lima” berarti “yang lima”.
Poda Na Lima merupakan falsafah atau dasar dari ajaran, didikan, tuntunan, peringatan, tatanan, norma, etika, moral, hukum, atau pedoman (way of life) yang diwarisi oleh nenek moyang masyarakat Batak dan menjadi landasan untuk hidup bersih dan sehat, jasmani dan rohani. Paias berarti “bersihkan”, bentukan dari kata ias atau “bersih”. Roha berarti “hati”, mu berarti “kamu”, sehingga rohamu berarti “hatimu”. Pamatang berarti “badan”, parabiton berarti pakaian, bagas berarti “rumah” dan pakarangan berarti “pekarangan/lingkungan”. Sehingga, pamatangmu berarti “badanmu”, parabitonmu berarti “pakaianmu”, bagasmu berarti “rumahmu”, dan pakaranganmu berarti “pekaranganmu” atau “lingkunganmu”.
Kearifan Lokal
Sebagai kearifan lokal, Poda Na Lima bisa menjadi acuan dalam membangun dan mengembangkan pendidikan daerah sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. Menurut Daniah dalam Siregar* (2022), kearifan lokal dapat dijadikan sebagai salah satu basis pendidikan di daerah untuk mengarahkan peserta didik memiliki nilai-nilai luhur secara kontekstual, kreatif dan kritis dalam memahami pembelajaran dalam kaitannya dengan kehidupan nyata. Secara praktis, kata Siregar, Poda Na Lima dalam membangun pendidikan karakter dapat dilakukan di dalam proses pembelajaran, seperti:
- Paias Rohamu sebagai falsafah dalam membangun ketulusan dan tanggung jawab dalam proses pembelajaran serta menjaga kesehatan rohaniah;
- Paias Pamatangmu sebagai landasan dalam menjadi kebersihan atau pun kesehatan jasmaniah;
- Paias Parabitonmu sebagai dasar dalam membangun karakter menjaga kerapian serta disiplin dan ragam perlengkapan yang diperlukan dalam mengikuti proses pembelajaran;
- Paias Bagasmu sebagai dasar pemikiran dalam mengintegrasikan ilmu dan pengetahuan yang diperoleh di sekolah ke dalam kehidupan di rumah atau pun dasar mencapai pembelajaran kontekstual;
- Paias Pakaranganmu sebagai basis dalam menjaga kebersihan lingkungan belajar atau pun lingkungan sekolah.
Bagaimana Caranya?
Saya melihat, jika dicermati, arah dari hal-hal yang harus dibersihkan dari “Poda Na Lima” adalah dari dalam ke arah luar. Dari jiwa dulu yang merupakan elemen di dalam diri manusia, baru setelah itu ke arah luar dan makin keluar, dengan urutan badan, pakaian, rumah, dan terakhir pekarangan. Luar biasa tua-tua masyarakat kita dalam menyusun nasihat. Sangat bermakna dan tak lekang oleh masa. Saya yakin, ada alasan mengapa kata-kata itu disusun runtun sedemikian rupa sehingga “Paias Rohamu” menjadi hal pertama yang disebutkan, baru setelah itu “Paias Pamatangmu”, “Paias Parabitonmu”, “Paias Bagasmu”, dan “Paias Pakaranganmu”.
Hutahaean mengaitkan Poda Na Lima (khususnya butir pertama, “Paias Rohamu”) dengan kesembilan buah roh yang akan kita hasilkan bilamana sebagai ranting kita tinggal dalam Kristus sebagai pokok anggur. Yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Jika kita ingin berubah, katanya, kita harus memiliki tekad seperti isi Galatia 2 ayat 20a yang mengatakan “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” Itu sejalan dengan pesan dalam lirik lagu-lagu yang dinyanyikan oleh ketiga paduan suara perempuan pada acara itu, yang mengajak kita hidup baru dan tinggal di dalam kasih, bukan dalam kesombongan dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh Tuhan.
Pertanyaannya kemudian, mengapa kita harus berbuah? Karena itulah yang dikehendaki oleh Tuhan. Sangat ngeri sebenarnya membaca Yohanes 15 ayat 2, yang mengatakan, “Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah.”
Secara pribadi, saya ingin, ketika Tuhan datang, Tuhan mendapatkan saya sebagai ranting yang berbuah. Jika ikut dalam paduan suara di gereja, saya ingin bisa menyanyikan lagu-lagu itu untuk kemuliaan Tuhan dan meresapinya, lalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Saya membayangkan, jika saja ada 100 orang di gereja yang ikut dalam paduan suara dan melakukan hal itu, setidaknya sudah ada 100 orang yang siap berbuah. Gereja akan bertumbuh dan berkembang, dalam artian tidak sekadar jumlah orangnya, melainkan juga kualitasnya.
Sejalan dengan pencanangan tahun ini oleh gereja saya sebagai “Tahun Profesionalisme dalam Penatalayanan”, semoga saya sebagai jemaat bisa juga tampil sebagai pelayan dan saksi Tuhan. Karena begitu banyak sebenarnya pekerjaan di ladang Tuhan dan saya pasti berguna di dalamnya. ***
*Siregar, I., Rusli, A., & Naelofaria, S. (2022). Interpretasi Poda Na Lima Sebagai Pendidikan Karakter pada Masyarakat Angkola-Mandailing. Jurnal Pancasila, Vol. 3 (1), 01-06.