PENULIS PUN PERLU PERSONAL BRANDING

Terbaru18 Dilihat
Sumber gambar: Dok Pribadi

Oleh: MUCH. KHOIRI

Ada penulis pemula, yang sangat bersemangat menerbitkan buku, meminta saran saya ke penerbit mana sebaiknya dia mengirimkan naskah buku (manuskrip). Seperti biasanya, agar lebih gayeng, dia saya ajak mengobrol sambil minum es jus atau kopi susu. Lokasi: sebuah shelter di food court kampus Unesa.

Untuk pertanyaannya, saya memberikan rekom khusus ke penerbit apa pada kover depan manuskrip, tentu setelah saya review dan beri komentar. Lalu, saya tambahkan, “Jangan lupa, naskah buku ini bisa dikirim setelah revisi dan hasil revisi saya lihat sebentar.”

Seperti penulis pemula lainnya, dia pun menyanggupinya, “Baik, Bapak, sambil ambil pengantar atau endorsement panjenengan ya.” Kelihatannya dia begitu yakin bahwa kata pengantar atau endorsement saya akan berguna untuk membantu meningkatkan daya tawar naskahnya di mata redaktur penerbit.

“Ada satu lagi yang penting. Sambil revisi, submit, dan menunggu respons penerbit.”

Dia tampak kaget. “Apa itu, Bapak? Jadi penasaran.”

“Personal branding. Penulis pun perlu personal branding.”

“Seperti selebritis saja. Personal branding yang disengaja.”

“Benar, pada era sekarang penulis perlu menilai diri sebagai seleb. Harus mem-branding diri. Dengan sengaja. By purpose. By design. Tidak bisa hanya mengandalkan karya. Karya memang harus bicara, tapi itu harus dipercepat. Ya keduanya. Ya karya, ya upaya branding.”

Penulis muda itu tampak tercengang. “Jadi tidak cukup hanya karya yang baik ya, Bapak? Tidak seperti penulis tempo doeloe ya.”

“Tidak cukup. Era digital ini serba main percepatan, bukan kecepatan. Kalau penulis cuma mengandalkan karya, yakni biarkan karya yang bicara, apalagi tidak mengikuti media online, lha itu hukum kecepatan. Tidak nutut di era kini. Sementara, dunia sudah berubah. Penuh percepatan, kecepatan berlipat. Maka, harus ada upaya sereb, yakni mem-branding diri.

“Memasang status di fesbuk, apakah termasuk personal branding?”

“Benar, itu salah satu. Instagram, grup whats’up, BBM juga boleh. Tapi gunakan media-media ini untuk posting pendek dan narsis-narsisan saja, juga promosi acara. Jualan buku juga oke. Sedangkan untuk tulisan agak panjang, jangan di situ. Ada tempat lain.”

“Mmm, apakah tidak efektif di medsos itu? Lalu di mana sebaiknya?”

“Website bisa, blog oke, koran juga cocok. Masing-masing punya segmen pembaca. Tapi di 3 media ini pembacanya benar-benar pembaca loyal.  Semua ini pantas dimanfaatkan. O iya, jangan pake radio atau TV, kapan-kapan saja kalau sudah cukup terkenal.”

“Siap, Bapak.”

“Sudah punya blog atau belum?”

“Sudah sih, tapi jarang saya isi tulisan. Kadang malas.”

“Itu dia kekalahanmu sejak dalam pikiran. Mau jadi penulis, tapi malas mengisi tulisan di blog. Padahal website, blog, koran, medsos, dan media lain adalah tangga-tangga menuju kesuksesan. Ini upaya lain di samping menulis karya yang bermutu tinggi.”

“Maaf, Bapak.”

“Minta maaflah pada diri sendiri. Itu projekmu, juga masa depanmu. Saya sih cuma membantumu.”

“Siap, Bapak, akan saya laksanakan.”

“Dengar ya, saya punya 3 kelompok teman penulis. Kelompok 1 penulis yang anti personal branding, hanya mengandalkan karyanya. Kelompok 2 penulis yang berkarya bagus dan pro personal branding. Kelompok 3 penulis yang berkarya belum bagus tapi lebih gencar mem-branding diri sendiri. Setelah saya amati, kelompok 2 dan 3 yang tetap eksis, bahkan di luar genre karyanya. Sementara kelompok 1 justru kalah moncer dibanding kelompok 2-3.”

“Apakah kira-kira saya mampu, Bapak?”

“Tanya lagi. Itu pertanyaan untukmu sendiri. Mana bisa saya menjawabnya? Sekarang jawab dengan seluruh keyakinan. Jika bisa, tetapkan niat, lakukan dengan komitmen. Jika tidak, ikrarkan bahwa engkau tidak jadi penulis.”

“Jangan, Bapak. Saya akan jadi penulis.”

“Jadi, niat kuat, nulis bagus, personal branding…istiqomah. Lihatlah, apa yang akan terjadi.”

Sejak tadi dia sibuk membuat catatan kecil. Entah sudah berapa cangkir kopi yang diseruputnya. Saya sendiri sudah menggasak dua es jus jambu. Lalu, saya ulurkan artikel saya yang dimuat di harian Duta Masyarakat, judulnya “The Writer Is Back” (17/12/2016). Dia menerima artikel koran ini dengan gembira.

“Penulis memang harus membranding diri,” katanya kemudian. “Termasuk dengan mentraktir saya dan menghadiahkan artikel termuat di harian Duta. Sebuah teladan yang harus saya ikuti. Maka, saya berjanji untuk merintis personal branding mulai besok pagi. Besok pagi artikel saya berjudul ‘Penulis Pun Perlu Personal Branding’.”

*Much. Khoiri adalah dosen, penggerak literasi, editor, dan penulis 45 buku dari Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

 

Tinggalkan Balasan

2 komentar