Perjalanan Merintis Masa Depan

Humaniora74 Dilihat

Dengan sampainya kami di jalan ini berarti kini kami sudah memasuki nagari Salo Bungo Koto Tuo, tapi umumnya penduduk  sering menyebutnya hanya Salo, karena terlalu panjang untuk di sebut lengkap.

Memasuki jalan raya itu, kami belok kekanan, dan itu berarti langsung naik jembatan yang membentang di atas Agam yang tadi kami lewat di pematangnya. Jembatan ini terbuat dari kayu, tebal papan alasnya sekitar 8 centimeter yang disusun berjejer di atas bentangan sepasang besi baja yang menghubungkan kedua sisi jembatan.  Salah satu keunikan jembatan ini adalah karena memakai atap. Untuk apa jembatan ini diberi atap?

Jarak perkampungan antara Jorong atau desa Kuruak dengan jorong Kampuang Panjang sekitar satu kilometer. Diantara dua jorong ini terbentang sawah yang luas, di tengah persawahan inilah mengalir sungai yang di kampungku disebut agam. Agam yang membelah dua persawahan ini sekaligus menjadi batas antara jorong Kuruak dengan jorong Kampuang Panjang. Pada tahun 60an dan sebelumnya, penduduk yang melintas di jalan ini umumnya berjalan kaki atau naik sepeda. Bila dalam perjalanan itu datang hujan, maka ke jembatan inilah para pejalan itu berteduh. Begitu juga dalam keadaan musim panas, jembatan itu juga berfungsi sebagai tempat berteduh dari sengatan teriknya matahari yang membakar bumi.

Fungsi lain dari jembatan ini adalah, di bawah jembatan terdapat bendungan irigasi untuk pengairan sawah penduduk setempat. Bila musim kesawah tiba, balok penghalang air di turunkan, sehingga permukaan air sungai naik dan mengalir melalui saluran irigasi. Bila musim kesawah telah lewat, maka balok penahan air akan di angkat lagi, sehingga sawah-sawah  di hilir saluran akan kekeringan, menunggu masa panen.

Hari masih pagi dan matahari masih bersembunyi di balik bukit barisan, kami tetap meneruskan perjalanan. Setelah melewati jembatan, sekitar 20 meter kemudian kami kembali melewati jembatan. Jembatan ini adalah jembatan yang di bangun diatas saluran irigasi. Sungai kecil yang lebarnya kurang dari separo sungai yang baru saja kami lewati.

Kami terus berjalan, walau belum disengat matahari, hawa hangat mulai aku rasakan. Keringat mulai terasa membasahi tubuhku. Langkahku yang kecil terkadang harus kupercepat agar bisa mengikuti langkah pak Uwo, tapi aku masih sering ketinggalan. Bila aku ketinggalan agak jauh, pak Uwo suka melihat kebelakang kearahku. Kadang beliau berhenti sejenak, menunggu aku menyusulnya. Bila aku sudah dekat, pak Uwo akan mulai berjalan lagi dengan langkah dewasanya. Untung saja jalannya masih jalan tanah, sehingga kakiku yang telanjang tanpa alas, tak begitu sulit mengikutinya. Memasuki perkampungan desa Kampung Panjang, matahari pelan tapi pasti, mulai terasa menyengat punggungku.

Di ujung desa Kampung Panjang kami bertemu jalan bersimpang tiga, penduduk menyebutnya Simpang Tiga Kampung Panjang. Aku masih ingat tempat ini, karena sekitar lima atau enam tahun sebelumnya, aku pernah melewati jalan ini sewaktu menjenguk Umi saat ditahan oleh tentara pusat, semasa pergolakan PRRI.

Di simpang tiga kami berbelok kekiri, kini cahaya matahari mulai menerpa dari samping kiri kami, keringat mulai membasahi mukaku. Tanpa peduli dengan panas yang menyengat, kami terus berjalan.

Kami memasuki desa Baringin. Aku teringat pernah dibawa kesini oleh inyiak Aki sewaktu perutku kena borok. Disini ada seorang mantri kesehatan, aku dibawa kesini berobat dan disuntik di pantatku, yang membuat aku menyeringai kesakitan.

Lepas dari desa Beringin jalan menurun, kembali kami memasuki areal persawahan. Rupanya di sini baru saja melewati musim panen, asap mengepul dari jerami yang di bakar di beberapa sawah. Dibagian lain sapi dan kerbau ditambatkan di tengah sawah, memakan batang padi yang selesai di sabit. Di ujung persawahan kembali kami melewati jembatan, di sini jembatannya tidak beratap seperti yang kami lalui tadi. Juga sungainya cukup dalam, lebih lima meter dari permukaan jembatan, sehingga aku ngeri melihat ke bawahnya. Jembatan ini juga merupakan perbatasan antara nagari Salo Bungo Koto Tuo dengan dengan nagari Koto Baru.

Habis melewati jembatan, memasuki perkampungan jalan mulai mendaki. Setelah cukup jauh melewati jalan mendatar kami belok kekiri. Cukup jauh kami masuk kampung dan melewati beberapa belokan, hingga akhirnya kami kembali melewati persawahan yang juga baru selesai panen. Setelah melewati persawahan yang cukup luas itu kami bertemu sungai, pak Uwo menyebutnya Batang Lasi.

Melihat air sungai yang cukup dangkal dan airnya mengalir jernih tapi jukup deras itu, terbit keinginanku hendak menyebur kesana. Membasuh keringat yang membasahi mukaku, maupun kakiku yang penuh dengan debu, alangkah segarnya di tengah matahari yang mulai terik ini. Tapi aku tak berani mengatakan itu kepada pak Uwo, dan menyimpannya saja dalam hati.

Seakan mendengar apa yang aku inginkan, pak Uwo berbelok kekiri. Menuruni jalan yang menuju ke sungai, aku mengikuti dari belakang. Rasanya sudah tak sabar untuk segera sampai di sungai, mencuci muka dan bermain air, alangkah nikmatnya.

Sampai di sungai pak Uwo mencuci muka. Setelah lebih dulu meletakkan bungkusan yang ada di tanganku, aku mencari tempat yang agak dangkal, karena airnya mengalir cukup deras, aku tak ingin hanyut terseret air sungai itu.

Air sungai itu begitu bening, sehingga aku bisa melihat pasir maupun batu-batu yang ada di dasarnya. Setelah mendapatkan tempat yang kuinginkan, aku lalu mencuci mukaku. Menyauk dan melemparkan air itu kemukaku beberapa kali, alangkah segarnya. Aku menggosok tanganku yang berdebu, begitu juga kakiku. Tak lupa aku juga membasahi rambutku hingga ke tengkuk dan seluruh leher. Dalam sekejap panas yang menerpa tubuhku tak begitu terasa lagi, kecuali di bajuku yang basah oleh keringat.

“Alah tu, manyubarang awak lai!” Terdengar pak Uwo memanggilku.

Tanpa menjawab aku lalu segera keluar dari sungai, mengambil bungkusan pakaianku yang tadi kuletakkan di atas rumput pinggir sungai. Mendengar panggilan pak Uwo tadi baru aku tahu bahwa kami akan menyeberangi sungai ini, aku sebenarnya takut menyeberanginya, karena air sungai itu mengalir cukup deras bagiku, walaupun airnya dangkal. Hanya pada tempat-tempat tertentu air sungai itu cukup dalam, tapi aku yakin tak akan lebih dalam dari leherku.

Setelah mengambil bungkusan pakaianku, aku kembali masuk ke sungai itu. Kali ini aku berjalan di samping pak Uwo, sambil berjalan mencari pijakan di atas batu yang ukurannya beraneka ragam itu, pak Uwo memegangi tanganku. Pada air yang agak dalam sampai ke  atas lututku, aku kadang tidak kuat menahan arusnya. Sehingga aku terpaksa melangkah lebih lambat untuk melawan arus air itu. Pak Uwo nampaknya juga mengerti kesulitanku, sehingga tanganku dipegang lebih kuat.

Pak Uwo berusaha mencari aliran sungai yang tidak begitu dalam, sehingga aku juga bisa berjalan melewatinya. Untung saja batu-batuan di sungai itu tidak berlumut, sehingga kami bisa berpijak dengan kuat tanpa harus takut tergelincir. Walau berusaha mencari tempat yang dangkal, namun sempat juga aku terpaksa melewati aliran air yang agak dalam, sehingga separo celana pendekku terendam air, tapi aku diam saja. Rasa takutku bila aku hanyut lebih menguasaiku dari pada hanya sekadar mengingat celanaku yang basah.

Setelah melewati sungai itu dengan perasaan galau, akhirnya kami sampai juga di seberang. Aku bernafas lega, sekilas aku kembali melihat tempat yang baru saja kami lewati itu, aku bergidik membayangkan bagaimana kalau seandainya pegangan tangan pak Uwo lepas dan aku hanyut dan tak tertolong, sementara aku belum bisa berenang. Kembali aku teringat waktu aku nyaris tenggelam di sungai di kampungku, bayangan itu kembali menbuat aku bergidik.

Dengan celana basah itu kami melanjutkan perjalanan, panas matahari dengan segera mengeringkan air di rambutku. Tapi tidak pada bajuku yang tetap basah dengan keringat.  Tidak lama berselang kami telah memasuki nagari Candung dan tak lama setelah itu kami sampai di Baso. Kota kecamatan yang cukup ramai, jauh lebih ramai dari kampungku. Kami segera menuju stasiun kereta api.

Tinggalkan Balasan

2 komentar