Redundant 23:
“Playing the Victim” adalah Kita
Oleh Erry Yulia Siahaan
Pernahkah kita menyalahkan anak kita jika rumah berantakan? Pernahkah kita menuding rekan sekerja sebagai penyebab ketika ada pekerjaan yang terlambat alias meleset dari batas waktu yang ditargetkan? Pernahkah kita marah kepada orang lain karena gelas yang kita taruh di meja terjatuh dan pecah?
Jawabnya, pasti pernah. Bahkan, mungkin ada yang berkata, “sering”.
Tanpa kita sadari, kita sebenarnya kerap melakukan karakter yang disebut playing the victim. Terlepas dari apakah kejadiannya sering atau jarang atau kecenderungannya ringan atau berat, hal itu seakan lumrah terjadi kapan saja, pada siapa saja, di mana saja.
Alih-alih mencerna dulu, apakah kita andil dalam masalah rumah yang berantakan, kita langsung menyalahkan anak kita. Misalnya, seperti apa kita mendelegasikan tugas rumah kepada anak-anak, bagaimana proses penjadwalan tugas (apakah anak dilibatkan atau tidak), seberapa tegas dan bijaksana kita menerapkan kesepakatan yang telah dibuat, dan sebagainya.
Alih-alih merenungkan dulu, apakah kita andil dalam keterlambatan suatu pekerjaan, kita cenderung menyalahkan rekan sekerja kita bahwa seolah-olah itu adalah kesalahannya mutlak dan kita sama sekali “bersih”. Tidakkah ada kemungkinan kita yang mepet memberikan tugas itu kepada rekan kita. Atau, kita mungkin memberikan tugas tambahan di luar pekerjaan pokoknya, dan sebagainya.
Alih-alih mengingat-ingat dulu, apakah kita sebenarnya terlibat hingga gelas itu jatuh, kita malah serta-merta menyalahkan orang lain. Mungkinkah kita meletakkan gelas itu terlalu ke pinggir di meja sehingga ringkih untuk terjatuh dan pecah? Mungkinkah kita masih juga memilih memakai gelas beling pada acara yang sebenarnya bakal hiruk-pikuk dengan anak-anak berlarian ke sana ke mari dan bahwa sebenarnya gelas plastik atau yang disposable lebih tepat dipakai?
Contoh lain bisa kita temukan manakala terjadi perdebatan dalam keluarga dan antarteman hanya karena hal-hal yang sebenarnya sepele. Namun, karena pihak yang berdebat itu sama-sama lebih berat untuk melihat “orang lain yang bersalah” dan “orang lain yang harus mengalah”, percekcokan sering tidak terhindarkan.
Empat Episode
Dalam empat episode belakangan ini saya sengaja membahas masalah playing the victim. Redundansi terhadap topik ini menurut saya penting. Apalagi setelah kita mengetahui bahwa penyebab munculnya pribadi playing the victim antara lain adalah karena trauma masa lalu dan dari meniru. Mau membuka diri terhadap kemungkinan bahwa akar dari masalah itu sebenarnya juga ada pada diri kita, kita bisa membantu dunia menjadi tempat tinggal yang lebih baik bagi anak-anak kita, generasi setelah kita.
Dalam tiga episode terdahulu, saya membahasnya dari kacamata pengalaman seorang teman, pendapat psikolog, dan sedikit menyelipkan pendapat saya terhadap permasalahan tersebut. Kali ini, saya mengungkapkan sesuatu yang lebih bersifat reflektif. Tidak lagi sebagai orang luar yang melihat dan mencoba merespon orang lain sebagai pribadi playing the victim-nya, tetapi mencoba menempatkan pribadi itu sebagai kita.
Jika pada hari-hari sebelumnya, pembahasan topik ini lebih mengacu pada pribadi yang sudah serius levelnya, tulisan ini mencoba memandang topik ini pada skala umum, tidak melihat ringan-beratnya kasus, tetapi sebagai sebuah fenomena yang bisa dijumpai berdasarkan ciri-cirinya. Tidak mencoba mengulasnya dari latar-belakang playing the victim sebagai kasus berat gangguan kesehatan mental, yang memerlukan psikolog atau psikiater. Tidak. Sekali lagi, sebagai sebuah fenomena.
Pendapat psikolog dan pakar yang saya temui dalam jurnal ilmiah atau tulisan-tulisan yang sampai ke ruang publik, lebih banyak melihat playing the victim sebagai sesuatu yang mengganggu dan negatif. Saya belum menemukan penggunaan istilah kasus ringan atau berat untuk karakter ini. Yang muncul adalah ciri-ciri, cara menghadapinya, dan kesan yang sama bahwa playing the victim adalah sesuatu yang negatif dan cenderung ke arah gangguan mental. Melihat beragamnya opsi-opsi yang ditawarkan dalam menghadapinya, saya berkesimpulan bahwa kemunculannya bisa level ringan dan bisa berat.
Berdasarkan pengamatan, ingatan dan pengalaman saya, kita pernah melakukan apa yang disebut playing the victim. Artinya, kita pernah (entah jarang atau sering) menjadi marah, tidak suka, atau bahkan tersinggung ketika harus memposisikan (mengakui) diri kita sebagai orang yang bersalah atau andil dalam suatu masalah. Kita secara tidak sadar sering menggunakan kata “iya, tapi kan… tapi kan…..” untuk sekadar berdalih alias membenarkan diri. Kita juga suka spontan menunjukkan jari kita kepada orang lain, alih-alih mengarahkan jari itu kepada diri kita untuk kemudian berefleksi, jangan-jangan kita sebenarnya andil dalam masalah itu.
Pembuktian
Erin Leonard, Barrie Davenport, Christian Maciel, dan banyak narasumber yang sudah saya singgahi tulisan dan pendapatnya, rata-rata menyebutkan ciri-ciri yang sama untuk playing the victim. Yaitu: mencoba lepas dari tanggung-jawab, manipulatif, memanfaatkan momen atau kebaikan orang lain untuk mencapai keinginan diri, cenderung menjadi pembicara sepihak (tidak mau mendengarkan saran atau kritik) atau mau menang sendiri, banyak alasan atau suka berdalih, dan lainnya. (Baca: Redundant 20: Playing the Victim, Redundant 21: Menghadapi Kepribadian Playing the Victim, Redundant 22: 3 Indikasi, 13 Inisiasi)
Dari lima yang disebutkan itu, mari kita telisik satu per satu, apakah kita pernah melakukannya?
Mencoba Lepas dari Tanggung-jawab
Langsung menyalahkan anak, menuding rekan sekerja, marah kepada orang lain karena gelas terjatuh dan pecah, atau hal-hal semacamnya merupakan contoh kecenderungan “lepas dari tanggung jawab”.
Manipulatif
Secara sederhana, bentuk manipulatif bisa kita lihat dari cara berkomunikasi. Berbohong atau tidak mengatakan hal yang sebenarnya merupakan contoh paling sederhana yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Berbohong tentu memiliki tujuan. Ini, menurut saya, suatu bentuk manipulasi, walau tampaknya sangat sepele. Padahal, ketika kita menyembunyikan kebenaran, misalnya tentang kabar buruk dengan alasan tidak ingin menambah pusing lawan bicara, sebenarnya kita telah menambahkan keraguan atau kebingungan kepada lawan bicara kita pada saat-saat sulitnya.
Demikian pula halnya dengan bergosip atau menyebarkan desas-desus tentang orang lain. Ini tidak memecahkan masalah, tidak menguntungkan bagi kita, malah merugikan orang lain dan membuang waktu. Daripada meladeni orang lain yang datang membawa gosip kepada kita, lebih baik sekak saja mereka dengan pertanyaan, “Mengapa kamu mengatakan hal ini kepada saya?” Ini menunjukkan ketegasan kita bahwa kita tidak tertarik dengan gosip.
Penggunaan kata, frasa, klausa, disertai mimik dan intonasi yang diatur sedemikian rupa, merupakan contoh lain. Kalimat “Saya yakin kamu setuju, iya kan?” bukanlah benar-benar sebuah pertanyaan. Tanpa kita sadari, dengan melontarkan kalimat tersebut kita menunjukkan bahwa sebenarnya kita tidak tertarik pada apa yang dipikirkan oleh lawan bicara kita. Lebih baik jika langsung saja bertanya, “Apa pendapatmu?”
Kate Nasser dalam situs pribadinya mengatakan bahwa pelabelan mutlak juga merupakan contoh komunikasi yang manipulatif. Misalnya “Memang kamu tidak pernah bla-bla-bla…” atau “Memang kamu selalu bla-bla-bla…”. Ini merupakan bentuk generalisasi yang menyakitkan lawan bicara. Tanpa kita sadari, ketika kita mengatakannya, kita sedang berusaha mengendalikan komunikasi dengan cara yang manipulatif. Jadi, sebaiknya hal itu kita hindari. Sebaliknya, jika ada yang berkata demikian kepada kita, kita dapat meresponnya dengan tidak membela diri, apalagi dengan suara keras dan nada membentak seperti orang yang defensif. Lebih baik kita utarakan dengan lembut bahwa pelabelan mutlak seperti itu (dengan kata “selalu” atau “tidak pernah”) tidaklah benar. Ajak lawan bicara kita berdiskusi baik-baik, dan kalau bisa empat mata.
Memanfaatkan Kebaikan Orang Lain
Sekali dibantu dan menjadi ketagihan atau tuman merupakan bentuk keegoisan diri. Bahkan, ada yang menyebutnya sosiopat alias gangguan kepribadian. Ini sekaligus menunjukkan sikap yang tidak bersyukur atas apa yang ada. Mungkin awalnya kita hanya bercanda atau menganggap tidak apa-apa karena “orang lain” itu adalah saudara kita. Kita mengenalnya memang baik. Tetapi, jika kita tuman, itu kurang baik bagi perkembangan kepribadian kita sendiri, selain juga memanipulasi kebaikan orang lain. Bahkan, bisa dibilang kita telah menyabotase kebaikannya itu sebagai hak kita. Firman Tuhan dalam Kisah Para Rasul 20 ayat 35 mengatakan, “…. Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.”
Pembicara Sepihak (Mau Menang Sendiri)
Pakar komunikasi Preston Ni, dalam tulisannya pada Psychology Today, menggunakan istilah komunikator narsistik bagi mereka yang antara lain mau menang sendiri dalam berbicara dengan orang lain. Meskipun yang melakukan itu tidak selalu berarti narsisis patologis, kata Ni, jika dibiarkan kemungkinan besar bisa membuat pribadi tersebut benar-benar menjadi narsisis.
Menurut Ni, percakapan yang sehat adalah dua arah. Saling memberikan waktu untuk mendengarkan dan berbicara. Percakapan yang memberikan sedikit atau tidak ada ruang bagi orang lain menunjukkan bahwa telah terjadi dominasi percakapan oleh sebelah pihak. Pihak itu jelas tidak tertarik pada pikiran, perasaan, dan prioritas orang lain. Ini disfungsional, kata Ni. Komunikator sepihak adalah nyata sebagai orang yang egois dan mementingkan diri sendiri. Biasanya, orang demikian cenderung mengontrol dan mengarahkan topik pembicaraan. Mereka fokus pada apa yang ingin mereka bicarakan, dengan sedikit atau tanpa pertimbangan untuk pandangan alternatif. Bahkan ketika orang lain berhasil mendapatkan kesempatan mengungkapkan sudut pandangnya, narsisis paling hanya mendengarkan sebentar, mengakui sedikit atau tidak sama sekali, kemudian (berusaha) mengubah topik kembali ke dirinya sendiri. Orang demikian juga sering menginterupsi dengan maksud mengambilalih kontrol atas perbincangan.
Yang lebih parah dari pribadi narsistik ini adalah berkomunikasi untuk memanipulasi dan mengeksploitasi orang lain demi kepentingan diri sendiri. Baik dalam bentuk manipulasi positif (yaitu pujian yang tidak tulus) maupun manipulasi negatif (yaitu menyalahkan, mengkritik, mempermalukan). Lebih jauh adalah menipu dan melakukan intrik, marah, mengintimidasi, memaksa.
Dalam keseharian kita, bukan hal mustahil kita juga melakukan itu. Kita lebih mau didengar daripada mendengarkan. Suka marah-marah kalau pembicaraan kita tidak didengar, bahkan mengancam-ancam. Memberikan pujian palsu kepada orang lain, dengan agenda tersembunyi. Memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu, dan sebagainya.
Suka Berdalih
Sikap suka berdalih biasanya ditunjukkan dengan seringnya menggunakan kata “Iya, tapi kan bla-bla-bla…”. Secara tidak sadar, kata-kata seperti itu mungkin sering kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Ini bisa dipersepsikan sebagai orang yang sok pintar, berkonotasi memancing orang lain untuk berdebat lebih panjang, dan sebagainya. Intinya, malah membuat orang lain tidak suka.
Penggunaan kata “ya, tetapi …” bisa dijelaskan dari kacamata psikologi tentang bagaimana kondisi kejiwaan orang yang mengatakannya. Dalam The Individual Psychology of Alfred Adler: A systematic presentation in selections from his writings sebagaimana dikutip oleh situs Adlerpedia, penggunaan “ya, tetapi …” dimaknai sebagai dua manifsetasi psikologis yang hadir bersamaan.
Orang tersebut mengakui apa yang dikatakan oleh orang lain, tetapi juga menyangkal. Dengan berkata “ya”, orang itu mengenali adanya syarat psikologis untuk hidup berdampingan atau bersosialisasi dan menunjukkan orang itu berusaha patuh pada tekanan kepentingan sosial. Artinya, masih ada akal sehat di sana. Dengan berkata “tetapi” sebagai kelanjutannya, orang tersebut menyatakan alasan untuk menyanggah apa yang dikatakan oleh orang lain itu, serta bisa dicirikan sebagai bentuk ekspresi dari sikap ragu-ragu. Bahkan, penggunaan “tetapi” dinilai memiliki kekuatan lebih besar ketimbang kepentingan sosial tersebut. Itu dilakukan untuk tidak melepas rasa superioritas pribadinya.
Introspeksi
Semua orang ingin menjadi sempurna. Seperti dikatakan oleh Davenport, tidak ada orang yang begitu bangun tidur sudah meniatkan diri menjadi orang yang tidak disukai oleh orang lain untuk mengisi hari barunya itu.
Bahwa respon-respon seperti di atas ternyata muncul dalam interaksi kita sebagai manusia sosial, itu adalah fakta, meski tidak ada agendanya dalam buku harian kita. Menjadi bijak jika kita tidak defensif menyikapi fakta-fakta ini, sebagai bukti kita masih memiliki kesadaran dan akal sehat. Apalagi kita ingin sekali menjadi sumber pola asuh yang baik bagi orang-orang di sekitar kita, bagi anak-anak dan cucu-cucu kita. Bukankah trauma masa kecil bisa berkontribusi dalam membentuk sebuah pribadi menjadi playing the victim? Semoga kita tidak andil sebagai bagian dalam lembaran kelam pribadi yang bersangkutan.
Mengakhiri setiap masalah dengan refleksi diri adalah baik. Mengadakan introspeksi adalah bijak. Lebih hati-hati dalam merespon keadaan, sungguh luar biasa.
Semoga kita semua bisa. Amin. ***