Hempasan Lautan Asa
Bagian 5
“Jika aku tidak mengenal guru. Jika aku tidak melihat mereka melaksanakan kegiatan pembelajaran. Bagaimana aku bisa memberikan penilaian? Ah. Itu tidak mungkin. Aku belum pernah membuat nilai tanpa fakta. Apatah lagi, mereka di sini sama sekali belum pernah aku kenal” pikiran itu masih bergayut di benakku.
Pak Ahmad Budari, masuk sambil mengucap ” Assalammualaikum.”
Suara Pak Ahmad membuat aku tersentak dari lamunan, “Wa alaikumsalam” sahutku.
Pak Ahmad membunyikan bel tanda berakhirnya pelajaran.
” Bel pulang, Pak? Apa Pak Ahmad melihat Bu Keti?” Tanyaku.
“Ya Bu. Tadi saya membaca undangan dan tanda tangan, setelah itu Bu Keti ke luar dan berjalan ke arah kantor guru. Mungkin Bu Keti menyampaikan undangan kepada Bu Nestina guru kelas enam B. Saya lihat tinggal Bu Nes saja yang masih kosong” Pak Ahmad menjelaskan panjang lebar.
“Ok. Kalau Pak Ahmad mau pulang, silakan! Saya masih menunggu Bu Keti dulu” ujarku sambil berbenah.
Dokumen yang dari kepala sekolah lama, ditinggalkan di atas meja. Pena yang tadi digunakan untuk menulis undangan aku masukkan ke dalam tas kecilku.
Di saat mengambil handphone dari atas meja, Bu Keti masuk ke dalam ruangan. Lalu aku langsung bertanya, ” Bagaimana? Apakah semua guru sudah tanda tangan?”
“Alhamdulillah Bu. Sudah semua” jawab Bu Keti.
“Alhamdulillah. Mari kita pulang!” ajakku.
” Ya Bu.” Sahut Bu Keti sambil berbenah.
Aku melangkah ke arah pintu, berniat untuk pulang. Sampai di pintu, aku melihat beberapa guru mengambil motornya, siswa bubar dari kelas menyandang tas, ada yang menjinjing sepatu di tangan. Berjalan tanpa alas. Ada juga yang berjalan santai sambil ngobrol dengan teman, ada yang berlarian ke arah pintu masuk sekolah.
Ku sempatkan menoleh ke kiri, arah di mana akses ke luar masuk, gerbang depan sekolah. Armada BUS berhenti tepat di depan pintu pagar. Siswa berlarian dan berebut naik BUS. Aku melangkah menuju parkiran. Seorang perempuan paruh baya menyapa, “Mau pulang Bu Kepala?”
“Oh. Iya Bu” sahutku sembari tersenyum.
Kubuka pintu mobil. Tas kecil aku turunkan dari bahu, lalu Kuletakkan di jok kursi samping kiri. Kontak pun diputar dan konsentrasi penuh mengendalikan kendaraan. Mobil bergerak perlahan, kaca kiri dan kanan diturunkan, dengan maksud agar bisa melihat langsung semua keadaan sekitar sekolah. Baru sampai di ujung ruang kelas, beberapa meter dari pintu pagar. BUS berikutnya berhenti dan menutup jalan depan pintu pagar. Siswa berlarian menuju BUS.
Kumatikan mesin dan ke luar dari kendaraan. Penjaga sekolah yang sekaligus bertugas sebagai pengatur siswa ke BUS, terlihat sangat sibuk sekali. Beberapa kali terdengar suara teriakan penjaga sekolah, menegur siswa yang tidak mengikuti aturannya. BUS ketiga pun telah berjalan. Beberapa siswa masih ada di halte dan teras sekolah sebelah kanan.
Tempat aku bertugas yang baru, merupakan sekolah binaan sebuah perusahaan swasta. Sebagian besar siswanya adalah anak-anak karyawan yang difasilitasi dengan armada Bus Sekolah. Sekolah ini berdiri di lahan yang luasnya satu hektar.
Aku berjalan ke arah penjaga sekolah. ” Bagaimana Pak Penjaga? Masih banyak yang belum pulang? Mereka dijemput orang tua atau menunggu BUS?” Tanyaku.
“Menunggu BUS satu lagi Bu. Arahnya berbeda dengan dua BUS tadi” penjaga sekolah menjelaskan.
Tak lama kemudian BUS pun tiba, semua siswa yang di teras dan halte berlarian ke seberang jalan, sambil menenteng sepatu. BUS yang satu ini tidak berhenti di depan pintu pagar, melainkan parkir di seberang jalan. Supir BUS tetap berada di posisi tempat duduk, mesin masih menyala, hanya penjaga sekolah yang sibuk mengatur siswa.
Di dalam BUS juga terlihat beberapa anak memakai seragam putih merah, putih biru, dan putih abu-abu. Seluruh siswa telah masuk ke dalam BUS dan aku pun kembali ke kendaraan. Penjaga sekolah menutup pintu pagar segera setelah kendaraanku berada di jalan.