Anugerah Keyakinan

Terbaru21 Dilihat

Anugerah Keyakinan

Oleh: Aidi Kamil Baihaki

Siang itu aku pulang lebih siang dari biasanya. Kudapati istri sedang tertidur pada alas tikar di lantai. Aku termangu.

Tanganku meraih buku tulis mengecek catatan yang biasanya ditulisi nomer handphone pembeli pulsa. Tidak ada satupun transakasi baru hari itu.

“Maafkan aku, Dik!” batinku.

Aku bekerja sebagai Guru Sukwan di Sekolah Dasar. Namun lebih tepatnya bukan bekerja, karena dari situ hampir tidak ada gaji. Hanya honor 250 ribu perbulan dari Pemkab yang ditransfer ke rekening pribadi setiap enam bulan sekali.

Untuk menyokong keperluan sehari-hari, kubuka konter kecil berjualan pulsa. Keuntungannya antara 1000-1500 pertransaksi. Pelanggannyapun hanya belasan orang tiap hari.

Akhir-akhir itu, lebih sering hanya 5 kali transaksi.

Isteriku dalam kondisi hamil besar. Usia kandungannya sudah 8 bulan.

Sudah kusiapkan Rp,750.000 ditabungan. Sisa honor yang kuusahakan untuk tetap utuh hingga nanti dibutuhkan. Berjaga-jaga kelak akan ada kebutuhan, yaitu perkiraan biaya melahirkan di bidan, mungkin hanya 500 ribu.

Tapi rupanya takdir berkehendak lain. Isteriku harus melahirkan dengan cara operasi caesar. Biayanya 7,5 juta.

Aku menolak sementara untuk menandatangani persetujuan operasi. Pikiran kalutku meminta waktu untuk berpikir dulu sebelum memutuskan.

Hati menuntunku ke mushalla Rumah Sakit. Di sana mengadu pada Tuhan.

Ya, Allah.. Mana janjimu yang hendak menjamin rejeki setiap makhluk hidup? Sekarang aku butuh rejeki itu. Berikanlah sekaligus saja!

Kau Yang Maha Kaya, dengan Kemahakuasaan-Mu tawarilah aku jalan keluar.

Doa itu terus kuulang hingga seseorang menyusulku ke Mushalla, memberitahukan bahwa dokter bedah sudah datang dan siap melakukan tugasnya. Mereka menunggu tanda tangan persetujuanku.

“Ya. Aku ke sana sebentar lagi. Kamu duluan saja.” Ujarku.

Setelah sekali lagi mengulang doa, belum juga kudapat kemantapan.

Bagaimanapun, aku harus segera turun dari Musholla, tapi kaki ini terasa berat beranjak karena aku masih bingung untuk membuat persetujuan atas tindakan pihak Rumah Sakit melakukan operasi cesar.

Nanti biayanya dari mana?

Ketika baru tiga langkah berjalan… .

“Berat sekali, Mas?” Satpam yang baru turun dari Musholla menyapaku.

Aku membalas sapanya dengan senyum terpaksa. Sebenarnya aku tak ingin menanggapinya.

Pikiranku semakin kacau karena keputusanku sedang ditunggu oleh dokter, isteriku, dan orang-orang yang mengantar kami ke Rumah Sakit, mereka adalah beberapa keluarga dan tetangga.

“Saya sering melihat orang susah di sini,” Ucap Pak Satpam itu lagi. Dia jeli melihat beban di kepalaku. “Yakin saja, Mas, Allah itu Maha Pemurah. Allah selalu memberi jalan!” Nasehatnya tanpa bertanya apa masalahku.

Rupanya dia tidak bermaksud mengajakku bercerita, sebab tanpa menunggu kata-kataku dia sudah pergi ke pos di pintu masuk.

Aku berhenti melangkah sekian detik. Ya, aku yakin Allah akan membantuku. Tapi aku butuh bantuan itu sesegera mungkin.

Beberapa detik kemudian barulah aku merasakan bahwa nasehat Pak Satpam tadi telah membuat langkahku lebih ringan menuju kamar istriku berada.

Langkah yang awalnya seakan mengulur waktu, justeru kemudian terburu-buru.

Beberapa perawat sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Istriku akan segera dipindah ke kamar operasi.

Lho? Aku bingung, kenapa sudah diputuskan begitu?

Bukankah aku belum menandatangani surat persetujuan. “

Aku dapat pinjaman dari orang, katanya harus dilunasi dalam 2 bulan ini!” Terang Bapak Mertuaku. “Kakakmu tadi datang dan langsung menandatangani surat persetujuan operasinya”, sambungnya lagi.

Oh… Pantas saja.

*****

Tepat 2 bulan setelahnya, _saat hutangku harus dilunasi_ aku diangkat menjadi CPNS!

Subhanallah!

Terima kasih, Tuhan.

Engkau mendengar doaku dan mengabulkannya. Jalan keluar itu Engkau tawarkan, dan kini terhampar luas di depanku.

Hingga kini di setiap doa aku meminta, “Teruslah jaga keyakinanku pada-Mu, ya Allah. Jagakanlah pula untuk keluargaku hingga anak-cucuku!”

Amin!

Tinggalkan Balasan