25. Cemburu
Rani hanya diam membisu sembari tengkurap di atas ranjangnya. Bahu Rani berguncang, Armaya menangkap isyarat kalau Rani sedang bersedih.
Armaya tidak melanjutkan untuk menanyakan Rani. Dia mengambil ponselnya yang ada di atas meja kursi tamu,
“Hallo Matt!! Tadi Rani ke rumah kamu tidak?”
“Iya pak, kebetulan saya sedang kedatangan mantan pasien saya.”
“Terus! Kok Rani pulang dalam keadaan bersedih gitu? Ada apa sebenarnya Matt!?”
Matt Paten jelaskan pada Armaya, bahwa Rani tiba-tiba ngeloyor pulang begitu saja saat tahu tamunya dua orang perempuan.
“Ooo gitu, saya pikir ada masalah saat bertemu kamu. Yaudah Matt, saya Cuma mau tahu soal itu saja.”
Armaya menutup sambungan teleponnya dengan Matt Paten, dia menghampiri isterinya yang ada di kamar,
“Umi, Rani itu aneh, dia menolak dijodohkan dengan Matt Paten. Tapi, dia cemburu melihat Matt Paten berhubungan dengan perempuan lain.”
“Sekarang Rani di mana, Bah?”
“Dia sedang bersedih di kamarnya, coba Umi ajak dia bicara.”
Di kamarnya Rani masih bersedih, dia begitu kecewa pada Matt Paten. Rani duduk bersandar di kepala tempat tidurnya. Mata bergelimang air mata.
Saat melihat uminya datang, Rani buru-buru menyeka airmatanya. Umi menghampiri Rani, “Kamu kenapa bersedih begitu? Siapa yang menyebabkannya, Rani?”
“Matt Paten bikin aku kecewa, Umi, ada wanita lain di rumahnya.”
“Lho? Kenapa kamu harus kecewa? Dia kan bukan siapa-siapa kamu, Rani? Kamu menolak dijodohkan dengan dia. Wajar sekali kalau dia mendekati wanita lain.”
“Umi kok malah bela dia?”
“Umi tidak membela Matt Paten, Rani, Umi Cuma mengatakan yang sebenarnya.”
“Terus, Rani harus bagaimana, Umi?”
“Ya tidak perlu cemburu, biarkan dia melakukan apa yang menjadi haknya.
“Rani gak cemburu, Umi, yang Rani kesal dia tidak datang ke rumah hari ini. Tapi, dia bersama wanita lain.”
***
Matt Paten berusaha mengalihkan pembicaraan, dia tidak ingin pembicaraan yang sudah ada kehilangan fokusnya.
“Laras, kira-kira kapan kamu mau memulai pembangunan sekolahan itu? Kalau memang segera, saya akan mengurus izin pembangunannya.”
“Secepatnya mas, waktu saya sekarang lebih banyak di kampung. Jadi tidak ada halangan untuk melaksanakannya segera.”
“Nanti setelah selesai izinnya, saya akan minta teman merancang bangunannya.”
“Baik mas, tolong kasih tahu saya perincian anggaran untuk perancangannya. Saya tidak ingin membebani soal ini pada mas.”
Pembicaraan keduanya sekarang sudah terfokus membahas soal pembangunan sekolah. Matt Paten tidak memberikan peluang bagi Suci untuk membicarakan perjodohannya dengan Laras.
Saat Laras izin ke kamar kecil, Suci memanfaatkannya bicara pada Matt Paten.
“Mas tahu gak? Laras itu suka sama mas, sejak dia berobat ke sini waktu itu. Mas lah orang yang memotivasinya untuk hijrah.”
Apa yang dikatakan Suci itu di luar dugaan Matt Paten. Namun, dia tidak terlalu serius menanggapinya. Dia tidak berpikir sama sekali kalau Laras menyukainya.
“Biarlah semua berproses secara alami, Suci, saya belum ingin membahasnya.”
“Pasti kalian sedang membicarakan aku, ya.” Laras ucapkan itu sembari mendekat pada Matt Paten dan Suci.
“Ah! Cuma perasaan kamu aja, Laras, kita sedang membicarakan kelanjutan proyek sekolah kok.”
“Soalnya, tadi waktu di kamar kecil, telingaku berdengung. Kalau kata orang, itu tandanya sedang dibicarakan orang.”
“Itu tahyul, Laras, tidak usah terlalu dipercaya.” bantah Matt Paten.
“Yaudah mas, kalau tidak ada yang ingin dibahas lagi, aku dan Suci mau pamit.”
“Baik Laras, maaf ya tidak disuguhin apa-apa. Maklumlah cuma sendirian di rumah.
“Makanya mas buru-buru cari pendamping, biar ada yang mengurus mas.” ucap Suci sembari melirik Laras.
Lagi-lagi Suci memanfaatkan itu untuk memancing reaksi Matt Paten. Tapi, Matt Paten menanggapinya dengan biasa-biasa saja.
Sepulangnya Laras dan Suci, Matt Paten kembali memikirkan reaksi Rani saat melihat Laras.
“Apa Rani cemburu ya melihat kedatangan Laras? Tapi, kenapa dia harus cemburu?” gumam Matt Paten.
Di dalam perjalanan pulang, Laras dan Suci terus membincangkan Matt Paten,
“Aku jadi malu pada Matt Paten, Ci, karena kamu sudah terang-terangan di depan dia.”
“Kamu gak perlu ‘jaim’ Laras, dia juga bisa menangkap perasaan kamu terhadapnya. Kan dia punya ilmu Peraba Sukma?”
“Jadi, gimana dong sikap aku sebaiknya? Aku takut dia salah faham, Ci?”
“Kita jalanin saja prosesnya secara alami Laras, kan nanti setiap hari kamu akan bertemu dia. Nah! Perlihatkanlah perhatian kamu pada dia.”
“Kamu mendukung ya kalau aku jadian sama Matt Paten?”
“Ya mendukung lah, kalau gak ngapain susah-susah aku mau menemani kamu ketemu Matt Paten.”
Laras katakan pada Suci, bahwa Matt Paten tipikal lelaki idamannya. Matt Paten menguasai ilmu agama, dan dia sangat membutuhkan bimbingan suami yang mengerti agama.
“Makanya, kalau aku lagi membicarakan itu sama Matt Paten, kamu diam aja pura-pura gak tahu, Laras.”
Laras yang sedang menyetir jadi terbahak-bahak mendengar ocehan Suci.
***
Armaya dan isterinya beserta Rani berbicara di ruangan tamu,
“Kan abah sudah ingatkan kamu, laki-laki seperti Matt Paten itu banyak yang menyukainya. Alasan kamu menolak itu kurang masuk akal Rani.”
“Rani bukan menolak Matt Paten, Abah. Rani saat ini belum siap untuk menerima kehadirannya.”
“Apa bedanya itu dengan menolak? Kan itu artinya kamu tidak bisa menerima Matt Paten? Kalau kamu menolaknya, berarti tidak salah dong kalau dia memilih wanita lain?”
Rani merasa apa yang dikatakan Armaya adalah benar, dia merasa kalau dirinya diambang kebimbangan. Hanya saja dia tidak tahu harus bagaimana mengungkapkan perasaan hatinya.
“Rani bingung dan serba salah, Abah. Satu sisi Rani kagum dengan Matt Paten. Tapi, di sisi lain Rani juga masih takut menjalin cinta.”
Armaya merasa kalau Rani sudah mau berterus terang. Dia pun sangat hati-hati menjaga perasaan Rani.
“Sebetulnya, kamu dan Matt Paten tidak perlu lagi menjalani proses menjalin cinta. Abah ingin kalian menikah saja dulu.”
“Itu masalahnya Abah, Rani tidak bisa di desak seperti itu. Berikan waktu pada Rani, biarkan Rani berpikir terlebih dahulu.”
“Itu artinya kamu sudah memberikan peluang pada wanita lain, Rani. Kamu jangan menyesal, kalau nantinya Matt Paten malah menikah dengan wanita lain.” Armaya mencoba menakut-nakuti Rani.
“Kalau memang itu yang terjadi, Rani tidak masalah abah. Mungkin Matt Paten memang bukan jodoh Rani.” Rani tetap pada pendiriannya.
“Abah, berikan saja Rani waktu untuk berpikir, biarkan dia menentukan pilihannya. Kita tidak bisa memaksakan kehendak sebagai orang tua.” Isteri Armaya mencoba untuk memberikan masukan.
“Abah hanya takut kalau Matt Paten sudah menentukan pilihan lain Umi. Dia kan pergaulannya cukup luas, dan banyak wanita yang tertarik dengan dia.”
Di tengah perdebatan Armaya dengan isteri dan anaknya, dari ruang depan terdengar ucapan salam,
“Assalamu’alaikum.. “
“Wa alaikum salam.. “ balas Armaya, sembari bergegas menuju ke ruangan depan.
Bersambung..