Coretan Tanpa Bekas
Lelaki Itu Bernama Catur
Oleh: Arfianto Wisnugroho
Cuaca hari itu begitu bagus, cerah sedikit berawan. Membuat siapa saja yang keluar akan betah karena tidak kepanasan. Seperti halnya mas Nyentrik, menyempatkan diri untuk beraktivitas di luar. Ia memutuskan untuk menulis di depan halaman rektorat salah satu universitas di kotanya. Ia memilih duduk santai di kursi dekat pohon ketepeng. Suasana begitu nyaman, rindangnya pohon ketepeng diikuti semilir angin membuat menaikkan mood mas Nyentrik. Banyaknya burung berkicau menambah suasana menjadi lebih ceria. Kebetulan saat itu ada banyak kegiatan disana. Terlihat berbagai jenis kendaraan roda empat terparkir dengan rapi. Sebagian dari kendaraan yang terlihat mewah memiliki plat merah.
“Wah banyak orang penting sepertinya!” Gumam mas Nyentrik.
Setelah beberapa saat berlalu, datang seorang laki-laki dengan kemeja biru muda menghampiri mas Nyentrik. Dilihat dari kerutan wajah yang dimiliki, lelaki tersebut berusia sekitar 45 tahun. Dengan penuh kesopanan ia minta izin untuk menduduki kursi yang berada di depan mas Nyentrik. Mas Nyentrik memberikan senyuman yang menandakan semua baik-baik saja. Lelaki tersebut membalas dengan ucapan, “Terimakasih mas!” Dengan santai Mas Nyentrik melirik laki-laki tersebut sambil menyelesaikan tulisannya. Ia melihat raut wajah lelaki yang memancarkan kegelisahan. Sesekali laki-laki tersebut berdiri dan menatap salah satu bangunan disana. Kejadian tersebut terulang hampir setiap lima menit. Melihat kejadian tersebut, mas Nyentrik memberanikan diri untuk membuka percakapan.
“Sedang menunggu seseorang ya Pak?” Tanya mas Nyentrik pelan.
Mendengar pertanyaan mas Nyentrik, lelaki tersebut langsung bereaksi. Ia merapatkan badan ke arah mas Nyentrik. Dengan santai ia bercerita tentang apa yang sedang dirasakan saat itu. Ia bercerita keadaan di kantornya yang semakin tidak kondusif. Tentang pimpinan dan beberapa petinggi yang mulai memiliki hubungan tidak sehat. Menurutnya semua berawal dari pergantian pimpinan yang secara tiba-tiba. Pimpinan baru tersebut bernama Wira. Sebenarnya kedatangan Pak Wira tersebut disambut dengan baik oleh semua warga kantor. Bahkan semua warga percaya pimpinan baru tersebut dapat memberikan perubahan lebih positif. Ternyata benar, banyak perubahan terjadi di kantor. Perubahan demi perubahan dilakukan oleh Pak Wira.
Sebagai pemimpin, Pak Wira selalu memberikan teladan yang baik. Ia selalu datang pagi ke kantor, bahkan terkadang bisa lebih cepat dari Office Boy. Pak Wira selalu masih terlihat bekerja ketika jam kantor sudah selesai, bahkan terkadang beliau bekerja sampai kantor benar-benar sepi. Dalam keseharian Pak Wira selalu bersikap ramah pada semua warga di kantor tanpa terkecuali. Berita tersebut menyebar ke berbagai kantor cabang lain. Sehingga Pak Wira menjadi pimpinan baru yang patut dijadikan panutan semua warga kantor. Namun semua tidak berjalan lama. Setelah tiga bulan menjabat, Pak Wira mulai berubah.
Sungguh mengejutkan, secara tiba-tiba Pak Wira mengganti pejabat-pejabat di kantor. Menurunkan pangkat pejabat sebelumnya lalu menjadikannya karyawan biasa. Selanjutnya Pak Wira mengangkat beberapa orang dekat untuk menggantikan pejabat yang ia turunkan sebelumnya. Selain itu beberapa karyawan juga dipecat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Saat ada bawahan yang bertanya terkait hal tersebut Pak Wira hanya diam. Pak Wira tidak memberikan tanggapan, tetapi seolah-olah ia menjadi sangat marah. Meski tidak diperlihatkan secara langsung, perihal tersebut ia utarakan pada rapat kantor. Beberapa kali Pak Wira memberikan komentar yang tidak mengenakan di rapat kantor dengan tujuan menyinggung si penanya.
Keadaan kantor yang demikian membuat suasana kerja tidak nyaman. Beberapa warga kepercayaan Pak Wira seketika menjadi seperti mata-mata. Banyak warga kantor yang mengeluh, namun orang-orang terdekat yang mengetahui langsung melapor ke Pak Wira. Jika hal demikian terjadi, Pak Wira langsung mengambil tindakan. Adapun tindakan yang dilakukan bukan untuk mencari tahu permasalahan yang ada. Akan tetapi tindakan berupa pemberian sanksi disiplin pada warga tersebut. Kejadian itu terjadi beberapa kali, sehingga warga kantor menjadi takut untuk mengutarakan pendapatnya. Akibat dari sikap dan perlakuan Pak Wira yang demikian, kantor sudah tidak memiliki suasana kerja yang nyaman. Banyak warga kantor yang datang bekerja hanya untuk mengesahkan kewajiban saja, yang penting sudah dilakukan. Semakin lama produktivitas kerja warga kantor menurun.
Mendengar cerita lelaki tersebut mas Nyentrik mengangguk-angguk. Memberikan tanda bahwa ia memahami apa yang dirasakan lelaki itu dan semua warga di kantornya. Ia hanya berpikir, kok masih ada pemimpin seperti ini. Mas Nyentrik mengira, membayangkan bagaimana dulu proses penerimaan pegawai yang dilakukan.
“Bukankah dilakukan selalu seleksi yang ketat? Apalagi ada kemungkinan seseorang dapat menduduki jabatan tinggi. Eh, bukannya ada jalur nyogok?” Ucap mas nyentrik dalam hati.
“Wah bisa bankrut dong mas?” Tanya mas Nyentrik secara tiba-tiba dengan wajah khawatir.
Lelaki tersebut diam, kebingungan tersirat jelas di wajahnya, “Lalu bagaimana ya mas?” Tanya lelaki itu pada mas Nyentrik penuh harap.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, mas Nyentrik langsung memutar otak. Ia pasang badan menghadap ke arah lelaki itu. Namun sesaat ketika mas Nyentrik mau berbicara terdengar suara yang memanggil.
“Tur… Catur…!” Suara itu terdengar dengan jelas. Seketika lelaki di depan mas Nyentrik berdiri, berlari menuju sumber suara. Melihat kejadian itu mas Nyentrik terdiam, menggelengkan kepala dengan pelan. Masih dengan posisi yang sama mas Nyentrik melihat pohon ketepeng di depannya. Dengan perasaan penuh tanda Tanya mas Nyentrik hanya berkata, “Oh…namanya Catur!”