Sebelum Sepi Menjadi Abadi

    sumber gambar dari pixabay

    Sudah sering kukatakan pada waktu
    Agar kakiku tak lagi menginjak halaman rumahmu
    Takkan lagi menikmati hijau rumput di sana, pagi maupun senja hari
    Atau sekedar melongokkan kepala di jendela yang sedikit terbuka

    Hanya untuk melihatmu sedang menekuri kertas-kertas penuh coretan-coretan
    Takkan lagi
    Aku juga berjanji pada hari
    Tak akan menikmati bunga liar yang bermekaran indah di halamanmu
    Kurasa sudah tak perlu

    Hari ini aku melewati rumahmu,
    terlihat pak pos membawa setumpuk surat dan beberapa paket
    Kau keluar sejenak hanya mengambil benda-benda itu lalu masuk lagi tanpa menoleh ke sekitarmu

    Walau pintu pagar terbuka, aku tak ingin lagi masuk ke halaman rumahmu
    Ayunan dan pohon oak hanya kisah kenangan kemarin
    Ketika kita masih bisa bercanda dan bertegur sapa

    Diary dan pena masih ada dalam tasku yang selalu kubawa kemana kaki melangkah
    Tapi kubiarkan saja kosong
    Hanya tertulis selarik kata sejak kubeli setahun lalu
    Bagiku itu adalah awal sekaligus akhir saat aku belajar menulis

    Tak terasa berapa lama aku berdiri di luar pagar rumahmu
    Sebulir titik air meleleh diantara rambut dan daun telinga menyadarkanku matahari mulai condong ke Barat

    Arakan mendung mulai menggelayut
    Walau badai menerpa, pintu itu takkan terbuka dan takkan menyembul sebuah wajah dengan senyuman atau lambaian tangan seperti dulu
    Takkan ada sapa,
    “Hai, sini masuk”!

    Berlalu adalah pilihanku, sebelum senja benar-benar hilang bersama rinai hujan
    Takkan meruntun waktumu
    Hanya memastikan bahwa diriku akan baik-baik saja tanpamu

    Mungkin di depan sana akan kutemukan halaman rumah lain dengan rumput dan bunga bermekaran
    Serta senyum sapa yang indah dari seseorang yang berteriak,
    “Hai, masuklah!”

    Entahlah.

    Ditulis November tahun lalu, 02.2020

    Puisi ke 17 KMAA
    Terbit di Kompasiana dengan diedit beberapa kata

Tinggalkan Balasan

2 komentar