TANAH KAILI (Lanjutan)

Terbaru36 Dilihat

Para pendahulu orang Kaili sangat takut bila mereka akan mendapatkan anak menantu yang bibit bobot dan bebetnya tidak diketahui.  Sehingga banyak orang Kaili yang menikah dengan saudara sendiri, setidaknya mereka yang masih memiliki ikatan persaudaraan atau kekerabatan

Pewarisan harta mungkin juga menjadi salah satu pertimbangan bagi para orang tua dahulu untuk mengawinkan anaknya dalam satu turunan.

Seiring dengan perkembangan waktu, orang Kaili sudah banyak berubah, terutama  dalam hal mindset atau cara berpikir.

Budaya asimilasi perlahan mulai diterima. Seorang anak sudah boleh memilih pasangan hidupnya sendiri tanpa harus mengikuti kemauan orang tua. Yang menjalani hidup toh anak itu sendiri. Merekalah yang akan membawa biduk kehidupannya, orang tua tinggal merestui dan mendoakan.

Dalam hal interaksi pergaulan kemasyarakatan, orang Kaili tergolong kaum yang lebih fleksibel ketika bertemu dengan sesuatu yang baru. apalagi dalam hal penggunaan bahasa Indonesia.

Pada umumnya orang Kaili baik yang tinggal  di kota atau bahkan yang tinggal jauh di atas pegunungan mampu berbahasa Indonesia ketika bertemu dengan orang baru.

Meskipun bahasa Indonesianya masih terpengaruh dengan dialek bahasa daerah, yang jelas mereka bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

Bila dibandingkan dengan daerah daerah di pulaiu Jawa dimana masyarakatnya menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pergaulan.

Maka di tanah Kaili masyarakatnya seperti yang telah disebut di atas sangat fleksibel dalam beradaptasi budaya khususnya bahasa.

Jadi jangan takut kalau datang ke Palu ‘kesasar’ karena tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh penduduknya. Kata orang sana take it easy!.

Dengan kondisi yang sangat acceptable seperti ini, maka di kota Palu digunakan bahasa pergaulan yang bermacam macam. Yang paling dominan adalah “logat Manado”. Setelah itu baru logat Kaili sendiri, Bugis, Jawa dan yang lainnya.

Namun demikian para pengguna logat minoritas ini akan selalu menyesuaikan dengan logat Manado yang lebih dominan.

Sehingga di Palu sering kedengaran lucu ada orang Jawa yang sangat medok berusaha mengikuti logat Manado yang kalau ditirukan pengucapannya menimbulkan makna lain. Ini sering dijadikan guyonan di masyarakat.

Itulah sekilas gambaran masyarakat Palu “orang Kaili” dengan segala keberadaannya.

Yah, saya sebagai orang asli Palu alias orang Kaili  melihat bahwa masyarakat Palu adalah masyarakat yang heterogen. Mereka mampu menerima perbedaan dan pembaharuan dalam konteks kemajemukan.

Kiranya apa yang penulis coba paparkan dalam kesempatan ini bisa memberi inspirasi akan adanya dinamika dalam suatu tatanan budaya masyarakat.

Perubahan yang sifatnya lebih positif dan mendorong tumbuh kembangnya budaya itu sendiri tentunya bisa diterima.

Sebaliknya perubahan yang sifatnya meruntuhkan pesan pesan bermakna dalam suatu budaya, akan dipertimbangkan secara matang demi kelestarian budaya nenek moyang yang sesungguhnya adalah akar budaya bangsa.

Tinggalkan Balasan