“Tidak terasa sudah satu bulan saya di sini le,” kata Reza. “Iya, benar itu Reza. kalau saya belum sampai satu bulan, karena memang kamu yang lebih dulu datang ke sini waktu itu,” jawab Fari tenang sambil memperhatikan Reza yang memandang lurus ke luar. Entah apa yang dilihatnya. Kelihatan hari itu perasaan ingat rumah sendiri sudah mulai menyelimutu hati anak perantau dadakan ini. “Siapa suruh datang di Jawa, siapa suruh datang di Jawa, sendiri suka sendiri rasa adoh eh sayang!” Fari bernyanyi menghibur hati sendiri dengan berpura – pura menyanyi.
“Tidak suka saya di sini Fari! saya mau tinggal dengan paman saja di rumahnya. Biar sekolah saja saya di pondok ini,” kata Reza lagi. Fari hanya terdiam dan terlihat ikut berpikir juga tentang kondisi yang harus mereka hadapi. Rekan sesama anak pondok banyak yang tidak sepaham dengan mereka berdua. Latar belakang yang berbeda – beda satu dengan yang lain, tentu saja membutuhkan adaptasi yang cukup lama. Kebiasaan masing – masing juga menjadi penyebab terjadinya jarak di antara mereka.
Untuk peserta baru seperti Reza dan Fari tentu rasa segan akan tetap ada terhadap teman – temannya. Apalagi bila ada istilah junior dan senior. Jelas yang masih junior harus patuh dan tunduk pada seniornya. Senioritas bisa saja dilihat dari segi usia, pengalaman, dan lamanya seseorang tinggal atau berkumpul dalam suatu lembaga seperti halnya pondok pesantren.
Karena sudah tidak tahan akhirnya Reza memberanikan diri menyampaikan keadaannya pada sang paman. Namun, pamannya msih berusaha membujuk Reza untuk tetap tinggal bersama Fari di pondok. Kasihan Fari kalau kamu tinggal dengan paman. Meskipun banyak teman yang lain, alangkah baiknya bila kalian berdua jangan berpisah Nak,” kata pamannya. Reza hanya diam, kemudian mengangguk pelan di hadapan pamannya. “Aduh, rupanya tidak bisa keluar kalau begini,” batin Reza.
Sebagai seorang anak yang patuh, maka Reza dan Fari tetap berusaha bertahan di pondok. Kasihan orang tua yang jauh di sana. Mereka telah berusaha semaksimalnya untuk bisa memberangkatkan mereka hingga saat ini menginjak Tanah Jawa. Jangan kita membuat malu orang tua dengan sikap yang kurang terpuji. Apalagi ini di kampung orang. Oh my God segala nasihat totua (orang tua) terdengar kembali seolah rekamannya di putar kembali. “Oh. . . mama, oh . . . papa aku ingin pulang. Jemput segera!” batin Reza seakan ingin berteriak.
Sementara Fari berusaha mengalihkan situasi dengan catra bergaul dengan anak santri yang lain. Ia tidak mau ikut larut dengan situasi rindu kampung halaman yang dipancarkan oleh Reza.
Salam Literasi
Astuti, S.Pd, M.Pd.
SMPN 14 Palu Sulawesi Tengah.