“Cambuk kudanya, supaya kencang larinya!” teriak Reza. Ia terlihat sangat bersemangat memegang tali kekang kuda. Sore itu Reza dan kedua sahabatnya sedang keliling kampung. Mereka naik dokar milik Opa Tore. Dari silsilah keluarga beliau sebenarnya adalah kakek Reza. Umurnya sekitar setengah abad dan masih tahan hidup sendiri alias bujang.
Opa Tore dalam kesehariannya menjadi kusir dokar miliknya sendiri. Kuda penarik dokar yang cukup kekar diberi nama Elena. Si Elena ini sudah akrab dengan anak – anak yang sering ada di sekitarnya, sehingga kuda ini jinak. Bila namanya dipanggil, maka ia akan meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya.
Demikianlah pada suatu sore, dokar ini seperti biasa diparkir di samping kandang Elena. Saat itu Opa Tore sedang beristirahat di rumah. Beliau akan jalan lagi dengan dokar kesayangannya pada sore hari lepas waktu Ashar. Kesempatan emas ini digunakan lagi oleh bocah tengil yang tidak kenal lelah ini untuk mencoba pengalaman baru menjadi kusir dokar.
Mungkin kalau minta izin dengan sang pemilik pasti tidak diberi izin. Dengan kenekatan sang Reza, akhirnya kedua temannya ini menurut saja ketika diajak. Pada awalnya Rival memang menolak karena takut ketahuan. Karena Fari ikut dan terlihat no probelm, mau tidak mau Rival pun turut serta. Sepanjang jalan mereka tertawa. Rupanya Reza sudah sering melihat kakeknya itu bawa dokar. Kenyataannya si bocah tengil rada nekat ini bisa mengendalikan tali kekang kuda. Si Elena juga tenang – tenang saja berjalan cepat sambil sesekali berlari pelan bila dipecut sedikit.
Ingin juga merasakan bagaimana menjadi kusir dokar, akhirnya Rival dan Fari bergantian memegang tali kekang kuda. “Saya lagi Reza babawa,” pinta Fari. “Iyo gantian kamuorang nha? Habis kau, Rival lagi,” jawab Reza. Dengan lagak seorang yang sudah mahir, Reza tetap mengamati dan memberi petunjuk kepada kedua temannya itu. Teman – teman mereka yang melihat berteriak sambil tertawa. “He liat dorang Reza! bakasi jalan dokar Opa Tore. Pintar diorang” Begitulah teman – teman meneriaki mereka yang lewat bagaikan makhluk tanpa dosa di tengah kampung. Saat itu suasana kampung memang agak sepi sehingga hanya anak – anak saja yang banyak melihat mereka.
Seandainya ada orang tua yang melihat ini, tentu ceritanya akan berbeda lagi. Kemarahan karena cemas pasti akan dilontarkan pada mereka bertiga. Kenapa anak kecil dibiarkan membawa dokar tanpa ada orang tua yang menemani. Takut ketahuan dan sudah hampir waktu Ashar mereka bergegas kembali ke kandang Elena, dimana dokar ini memang biasa diparkir. Untung saja sore itu Opa Tore tidak melihat mereka. Bagaimana jadinya jika si Elena bisa bicara…? Gawat…pasti ketahuan.
Keterangan:
kamuorang (kalian)
diorang (mereka)
babawa (membawa)
Salam Literasi
Astuti, S.Pd, M.Pd.
SMPN 14 Palu Sulawesi Tengah