KESEPIAN MELANDA KETIKA BUAH HATI MANDIRI
Oleh: Sri Sugiastuti
Bu Kanjeng merasa ragu dengan tulisan yang disajikan di bawah ini. Apakah ini bagian dari efek virus yang dibawa saat Kopdar RVL perdana di Yogyakarta tanggal 21-23 Oktober 2022. Mengapa semangat menulisnya selalu on, dan terus mendesak untuk menulis dan menulis. Walaupun di mata pengamat Literasi sekelas Pak Blantik Literasi mungkin masih dianggap recehan atau ecek- recek, ia tak peduli.
Selama masih ada Bunda Telly D yang menjadi sumber inspirasi untuk menulis, insyaallah Bu Kanjeng akan memulung ide- ide yang berserak dalam benaknya. Seperti rangkaian aksara yang ditata semampunya karena pada intinya ia suka belajar dari universitas kehidupan.
Ritual malam Jumat Bu Kanjeng dan Pak Kanjeng kali ini berbeda dengan ritual saat mereka di usia produktif. Dimana begitu banyak beban kehidupan yang bertumpuk dan datang silih berganti. Usai makan malam selalu ada diskusi untuk mencari solusi. Empat anak sebagai amanah dari Allah dan orangtua yang jompo plus kepedulian dengan tetangga ikut mewarnai kehidupan mahligai keluarganya. Alhamdulillah semua sudah dilalui dengan cumlaude. Walaupun ada riak- riak kecil yang mengalun syahdu.
Mata Bu Kanjeng terpejam, tetapi pikirannya berkelana entah kemana. Sementara Pak Kanjeng sudah mendekur indah sebagai backsound suara hati Bu Kanjeng yang punya kebiasaan merefleksi apa yang sudah terjadi.
Hmm , Bu Kanjeng merenungkan, sekaligus menerawang jauh, hingga akhirnya ia harus menepis kekosongan rumahnya yang sudah berjalan 4 tahun. Berdamai dengan hati saat, buah hatinya mentas. Lakon sang anaj berjuang mencari jatidirinya, campur tangan sang ibu menerangi jalan hidup sang anak, menari indah di alam pikirnya.
Bagaimana sang anak setelah lulus berburu pekerjaan, ketemu jodoh lalu menikah. Apakah Bu Kanjeng berlapang dada menghadapi kenyataan ini? “Ohh tidak. ”
Alam bawah sadarnya berkata lain, saat Bu Kanjeng dan Pak Kanjeng usai berkunjung ke rumah calon besan, meminang perempuan yang menjadi pilihan anaknya Bu Kanjeng berusaha tegar.
“Aku ra po po,”
“Bohonglah. Ayo ngaku!” Perang batin pun bergejolak. Hal ini membuatnya meriang dan akhirnya tumbang. Ia harus dirawat di RS Kasih Ibu. Diagnosa dokter, karena tipus dan asam lambung.
“How come? Kok bisa Bu Kanjeng yang super ndableg terkena asam lambung dan tipus?” Tiba-tiba, tubuhnya demam, mulut terasa pahit, kepala pusing, selera makan hilang.Tentu saja Pak Kanjeng ketir-ketir. Solusi terbaik dirawat dan dipantau intensif di RS.
Sementara Bu Kanjeng menerima semua itu sebagai rezeki nomor wahid. Ia pun sempat membayangkan bahwa ajalnya segera tiba. Sudah cukupkah bekal yang dibawa. Bagaimana ia khawatir menunggu hasil medical check up lengkap. Bermasalahkah organ jantung, ginjal dan juga pankreasnya. Bu Kanjeng teringat nasib temannya yang tak sempat menikmati masa purnanya karena Allah telah memanggilnya.
Tiga hari di RS mengistirahatkan jiwa dan raganya. Menghitung tiap detik yang dilalui beriringan dengan irama batinnya bahwa ia harus mensyukuri nikmat Allah yang ada di depan mata. Tidak boleh berandai-andai. Terpenting bagaimana besok hasil lab baik-baik saja dan ia pulang ke rumah. Alhamdulillah semua sesuai dengan diharapkan. Walaupun ada sedikit warning karena ada beberapa hasil lab yang
datanya perlu diwaspadai.
Perenungan malam itu membuat Bu Kanjeng lebih hati-hati lagi tak ingin berada lama-lama di RS. Ia harus membersihkan penyakit yang ada di hatinya. Bagaimana ia harus berpikiran positif dan berprasangka baik kepada Allh karena sejatinya. Sang anak sudah menemukan jodohnya.
Kini Bu Kanjeng rela melepas sekaligus menguatkan dan juga mengingatkan pada si buah hati bahwa ada tanggung jawab yang lebih besar karena sudah berani menjadi pemimpin keluarga sekaligus dia juga harus bisa mendampingi orang tuanya yang sudah menjelang senja.
Bu Kanjeng berhasil membuat sang anak mandiri dan hidup di pulau kecil bagian dari Maluku utara. Tetapi hatinya kesepian. Dipupusnya rasa galau yang berkepanjangan.
Ada 2 ayat yang menjadi pengingatnya. Bukankah anak bisa sebagai fitnah seperti yang
dipahami dari dua ayat Al-Qur’an, yakni QS. Al-Anfal/8: 28, dan QS. Al-Taghabun/64:15
“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.”
Melalui kedua ayat ini,.Bu Kanjeng terhibur sekaligus waspada. Dijabarkan dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa seorang anak adalah ujian. Jika demikian, maka kedudukan anak sebagai ujian akan berpengaruh pada kedua orang tuanya, jika kedua orang tua berhasil menjaga hak-haknya, maka akan mendapatkan pahala yang agung dari Allah.
Bu Kanjeng masih ingat apa yang disampaikan Pak Ustadz saat duduk manis di taman surga.
“Sebaliknya, jika orang tua gagal menjaganya, maka orang tua akan terjerumus pada dosa.”
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kedudukan anak sebagai cobaan menuntut seorang mukmin agar dapat berlaku adil, dan tidak berlebihan.
Maksudnya cinta dan kasih sayang terhadap anak jangan sampai mengakibatkan kehilangan kendali, dan akhirnya melanggar ketentuan yang telah ditetapkan Allah.
Selain itu, seorang mukmin diharapkan mampu untuk tetap mendekatkan diri kepada Allah dan menjaga buah hati agar terhindar dari siksa api neraka.
Rasa rindu dan kesepian itu dengan mudah diobati dengan terkoneksinya wifi plus Cukupnya pulsa data yang ada di masing- masing gadgetnya. Ya begitulah bila menjadi Oma di era digital.
Alhamdulillah Bu Kanjeng berhasil self healing dengan merenungkan apa yang sudah dilakoni. Dan bagaimana ia menatap masa depan usianya sudah senja.
Sementara dipandangi wajah Pak Kanjeng yang tidur di sisinya. Wajahnya yang teduh yang selama ini dengan sabar mengajarkan bagaimana menghadapi badai mau pun panas terik kehidupan yang sudah mereka lakoni bersama.
Surakarta Hadiningrat 10 Februari 2023