Literasi Koran Pembungkus

Terbaru53 Dilihat

A. Membaca Koran Terbalik
Meja bulat diteras rumah menjadi tempat favoritku untuk membentangkan koran usai dibaca ayah. Tidak satupun yang berani membaca koran sebelum dibaca ayah, bahkan untuk sekadar membuka lipatannya. Sedemikian berwibawanya orang tua dimata kami, tetap menjaga sikap walau tidak terlihat. Perlahan kubuka koran tersebut, kubaca dengan suara sekuat-kuatnya, hingga menarik perhatian anak-anak SD yang sedang berangkat ke sekolah. Ketika itu aku belum sekolah (lantas, darimana ilmunya bisa membaca?). Setelah anak-anak sekolah tadi semakin menjauh, barulah emak menegurku sambil tertawa-tawa:” Koran yang kau baca itu terbalik”. Aku jadi malu. Ketahuan deh, maksud hati mau pamer kepada anak sekolah, ternyata gagal total.

Sebagai anak yang dibesarkan ditengah keluarga setingkat dengan kesebelasan plus 4 pemain cadangan, maka aku selalu kesepian ketika abang dan kakakku berangkat sekolah. Malam hari ketika belajar, aku dekati mereka, ingin tahu apa saja yang dipelajari di sekolah, namun mereka selalu mengacuhkanku. Aku tidak boleh terlalu dekat, hanya bisa melihat dari balik punggung ayah yang sedang mengawasi mereka belajar sembari membaca. Aku tidak sabar lagi, aku harus sekolah, tungkai dan lenganku sudah panjang. Dimasa itu, seorang anak diperbolehkan masuk SD kelas 1 ketika tangan kanan sudah dapat memegang telinga sebelah kiri, atau sebaliknya.

Keesokan harinya, aku menghadap ayah. Untuk berbicara dengan ayah harus berterus terang, tidak boleh berbelit-belit. Kuutarakanlah keinginan untuk bersekolah, ayah tertegun. Usiaku baru 5 tahun, pada umumnya yang diterima masuk SD sekitar usia 6-7 tahun disamping syarat tangan harus mampu memegang telinga tadi. Karena alasan yang diberikan ayah sangat masuk akal, maka aku mencoba mengajukan win-win solution. Akhirnya aku diberi kesempatan belajar di kelas 1 SD dengan status “anak bawang”.

Status anak bawang berubah, ketika nilai-nilaiku tidak kalah dengan murid kelas 1 yang sebenarnya. Guru kelas mulai berpikir untuk mempertimbangkan bahwa aku bisa diterima di kelas 1 walau dengan usia belum cukup. Akhirnya aku resmi menjadi murid kelas 1 SD, dan status anak bawang lepas. Sejak SD, aku mempunyai kebiasaan duduk dibangku paling depan. Menurutku, akan berbeda tingkat keseriusan belajar ketika duduk dibangku depan. Namun kelak di SMP, aku tidak diperbolehkan duduk dibangku depan, karena tubuhku tergolong tinggi (diantara teman-temanku yang kurang tinggi).

B. Literasi Kertas Koran Pembungkus
Aku, generasi X, melewati masa kecil dengan kondisi yang sangat jauh berbeda dengan generasi milenial, bahkan generasi Z. Di tahun 1974, pada usia 6 tahun aku sudah lancar membaca. Bahan bacaan selain koran dan buku dari sekolah, hampir tidak ada. Rasa ingin tahuku terhadap apa saja membuatku selalu haus akan bacaan, maka buku-buku paket kadang kubaca berulang-ulang. Ketika itu kami belum mempunyai Televisi (TV) sebagai sarana hiburan. Faktanya, setelah perangkat ajaib yang mampu berbicara itu kami miliki, tetap saja tidak bisa menonton acara TV setiap hari. Ayah memberi jadwal bagi kami, hanya boleh menonton TV dihari sabtu atau hari libur lainnya.

Untuk mengalihkan keinginanku membaca, kadang aku menghitung tetesan air hujan yang jatuh diteras depan sampai timbul rasa jenuh. Itu juga hanya bisa kulakukan ketika hujan turun. Selain itu, setiap pergi ke pancuran dibelakang rumah, aku menghitung butiran kopi dipohon. Jalan setapak menuju kesana dipenuhi tanaman kopi dengan buahnya yang memerah, maka aku bisa berhenti bermenit-menit. Setelah tersadar bahwa aku telah menghabiskan waktu sia-sia, segera aku berlari menuruni jalan setapak. Barangkali kebiasaanku ini juga yang selalu membuatku terjebak di zona “The Power of Kepepet”, seringkali mengerjakan sesuatu disaat injury time.

Berbagai kebutuhan rumahtangga kami dapatkan dari warung sederhana milik tetangga yang jaraknya 500 meter (jarak antara rumah dikampung sangat jauh, sebanding dengan jumlah penduduk ketika itu). Kalau aku diberi tugas membeli sesuatu ke warung, misalnya sabun cuci (disebut sabun balok ketika itu karena belum ada sabun cair), atau apa saja kebutuhan kami, maka kertas pembungkus selalu kumanfaatkan. Sabun cuci kulepas dari koran pembungkus, dan sobekan koran tersebut kubaca sambil berjalan. Sungguh mengasyikkan ketika menemukan pembungkus memuat berita yang berbeda dengan koran yang kami miliki, the real literasi koran pembungkus.

Sedemikian gilanya hobiku membaca, hingga suatu ketika aku disuruh momong ponakan yang masih bayi, kugendong dengan jarik dan kusodorkan botol berisi susu formula (sufor). Namun apa yang terjadi? Siponakan malah menjerit-jerit karena botol mengarah kehidungnya. Semua disebabkan karena aku menggendongnya sembari membaca buku cerita yang menyedot habis perhatianku. Bersyukurnya, berpuluh tahun kemudian aku mampu mengasuh anak dengan baik, hingga tidak pernah terjadi botol sufor salah tempat.

Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.
Tantangan menulis 40 hari Bersama Yayasan Pustaka Thamrin Dahlan (YPTD)
Karena Menulis Aku Ada (KMAA)ke-3

Tinggalkan Balasan

1 komentar