Sebagai anak kedua dari 7 bersaudara, aku masih ragu, akankah mampu mengecap bangku kuliah kelak. You knowlah bagaimana beratnya perjuangan seorang ayah yang guru SD didampingi seorang ibu rumah tangga biasa. Pada masa itu belum ada Tunjangan Profesi Guru (TPG), sehingga hanya mengandalkan gaji yang didapat ayah.
Tahun pertama aku duduk dibangku SMA, aku sangat menyukai guru bahasa Inggris, karena selain cantik, performa beliau sangat menarik dan smart. Ditambah lagi ketika melihat penyiar TV berbicara casciscus dengan bahasa Inggris yang sangat fasih. Seolah-olah aku tersihir, dan berulangkali halu, bahwa akulah sang penyiar TV tersebut.
Ketika mata pelajaran bahasa Inggris berlangsung dikelas, aku sangat fokus, dan mengikuti dengan seksama penjelasan guru. Demikian halnya ketika ada tugas, maka aku selalu tampil prima, terbaik dan tercepat. Di kelas 3 SMA, terjadi pergantian guru yang mengampu bahasa Inggris.
Ternyata, Mister Neng (sebenarnya beliau marga Nainggolan, namun kusebut saja Mister Neng) juga piawai memainkan gitar, yang membuatku semakin menyukai pelajaran tersebut. (Tentang Mister Neng, dibagian akhir ada penggalan kisah tersendiri, sabar ya netizen).
Tanpa terasa, usai juga masa belajarku di SMA, kini aku berada di persimpangan jalan.
Diluar dugaan, Mister Neng sangat antusias bertanya tentang cita-citaku setamat SMA. Saat kujawab apa adanya, bahwa aku akan merantau ke Batam, beliau beri saran yang mampu membuatku termotivasi.
Tak disangka, beliau berkunjung kerumah, bicara panjang lebar dengan kedua orangtuaku, dan akhirnya mereka luluh, tepat disaat injury time pendaftaran di salah satu perguruan tinggi. Akhirnya, aku tercatat sebagai mahasiswa jurusan pendidikan bahasa Inggris, dikampus bergengsi kota Pematangsiantar. Namun, baru hari pertama menjalani perkuliahan, semangatku down.
Dosen pertama yang mengisi mata kuliah saat itu, sangat menarik perhatian mahasiswa baru di kelasku. Berlomba-lomba para mahasiswa merespon beberapa kuis yang dilontarkan oleh sang dosen, sedemikian antusiasnya kawan-kawan sekelasku merespon, hingga aku merasa down sebab tidak mampu seperti mereka.
Usai mata kuliah tersebut, aku kembali ke tempat kost. Kukemas seluruh pakaian dan peralatan yang bahkan belum semuanya keluar dari tas besarku. Dengan berurai airmata, kutinggalkan kota Siantar, kampus dan bahasa Inggris, jurusan yang menjadi impianku selama ini.
Setiba dirumah, kedua orang tuaku tidak begitu terkejut dengan keputusanku, mereka malah menertawakan aku yang pulang dengan wajah sembab. Esok paginya, ayahku, yang hanya seorang guru SD kampung-kampung, menenteng tas besar yang kemarin kubawa dari Siantar.
Hanya kalimat sederhana yang ayah sampaikan, “ayolah balik ke Siantar, anggap saja semalam kau raun-raun Kanopan Siantar, ayah antar ya”. Kupandangi lekat-lekat wajah ayahku, tidak ada keraguan disana. Seketika semangatku bangkit kembali, tak ingin mengecewakan kedua orang tuaku.Ditambah lagi dorongan semangat dari Mister Neng, guruku yang selalu memberi perhatian.
Tanpa terasa, 8 semester sudah kulalui. Aku lulus dengan Indeks Prestasi sangat memuaskan. Setelah wisuda tahun 2002, aku memulai karir sebagai guru honorer, dan juga mengakhiri masa kesendirianku tepat di 22-02-2002. Siapakah lelaki yang telah menjadi pendampingku hingga kini, masih rahasia, aku ghosting hingga diakhir tulisan.
Kemudian, tahun 2004 aku tercatat sebagai guru honorer daerah (Honda), hingga akhirnya tahun 2006 lulus CPNS disebuah SMA negeri. Kini, aku meniti karir di SMA Negeri 1 Kualuh Selatan, sembari membuka les privat sore harinya dirumah.
Untuk mahir berbahasa Inggris cukup dengan mengikuti les secara intensif selama 3 bulan, dengan kesungguhan, akan mampu berbahasa Inggris secara aktif. Jujur, saat ini aku sudah berada di zona nyaman, karena mata pelajaran yang kuampu sesuai dengan passionku dari awal. Beda dengan edaku (ipar), yang mengaku telah tersesat di belantara pendidikan.
Andai aku bertahan tidak mau melanjutkan kuliah, maka kupastikan kisahku ini tidak akan pernah anda tahu. Maka, jangan sekali-kali ambil keputusan ketika kecewa, sebab bisa berakibat fatal.
Mister Neng, salah satu sosok yang memberiku motivasi dan semangat untuk tetap melanjutkan kuliah di Siantar, bahkan kampusnya berdekatan dengan rumah mertuaku (kelak). Akhirnya aku menikah dengan lelaki itu, Mister Neng, guru bahasa Inggrisku di kelas 3 SMA. Selama 4 tahun lebih beliau menanti dengan sabar, hingga perkuliahanku tuntas. Aku, Jenny yang semasa SMA merupakan siswa pemalu, bahkan tidak menduga perhatian beliau kepadaku ternyata merupakan perhatian plus.
Bahasa Inggris telah menyatukan cita dan cintaku, walau beliau tidak menyatakan dengan bunga seperti pepatah “Say it with flower”. Namun, perhatian beliau lewat motivasi, serta nasehat bernas lainnya, membuatku mampu bangkit dari keterpurukan. Semoga kisahku ini mampu memberi warna bagi dunia literasi, terutama bagi anak muda yang baru usai ujian, agar mampu menemukan passionnya dengan tepat. Selamat berjuang anak muda, generasi zilenial. Salam literasi dari bumi Kualuh basimpul kuat babontuk elok.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk eda Jenny Pasaribu.
Wow.. amazing. Part of the interesting story. God bless you forever.