1. Perempuan Kurus Bertubuh Lemah
Usai sarapan ala kadarnya, aku dan kakakku bergegas, bergabung dengan teman-teman lainnya menunggu tumpangan ke Tigadolok, ibu kota Kecamatan tempat sekolah kami berada. Karena terbatasnya sarana transportasi, membuat kami harus memutar otak setiap harinya supaya tiba di sekolah tepat waktu. Jarak sejauh 10 KM dengan kondisi jalan yang masih sangat sederhana, juga memperlambat waktu tempuh.
Setiap pagi, kami berdiri di pinggir Jalan Lintas Sumatera ( Jalinsum ), menunggu bus besar seperti PMH atau Medan Raya yang berbaik hati mau mengangkut kami dengan ongkos Rp. 50 ( Lima puluh rupiah-tahun 1980 ). Kadangkala Pak supir yang baik hati memberi tumpangan gratis sembari berpesan: “ Bagus-bagus sekolah ya nak, kelak kalau jadi orang hebat jangan tangkap kami ya “, Ucapan Pak supir menjadi pemicu semangat untuk belajar dengan tekun.
Jika kedua bus tadi terlambat datang, maka kami berupaya melambaikan tangan kearah truk-truk besar. Tak sekali dua kali kami diberi tumpangan oleh Bapak-bapak supir truk tersebut, tentu saja mengikutkan salah seorang teman laki-laki untuk ikut bersama kami. Yang paling membuat kami senang adalah ketika kenek truk berpindah tempat duduk dari depan ke bagian belakang supir, demi memberi tempat duduk bagi kami. Semoga Allah membalas kebaikan bapak-bapak supir bus dan truk tersebut.
Kalau beruntung naik bus gratis atau truk, maka aku dan teman-teman mendapat kesempatan untuk jajan di kantin sekolah. Sangu untuk ongkos setiap hari diberi emak Rp. 100 ( Seratus rupiah ), sisa Rp. 50, kadang kubuat untuk jajan atau kusimpan dulu untuk beli mie so Mak Intan ( Rp.100/semangkok ). Nanti kalau dapat tumpangan gratis lagi barulah aku jajan mie so. Seingatku, sedari SMP aku mulai berlatih menahan lapar, bahkan haus, karena saking lamanya menunggu tumpangan untuk pulang ke rumah.
Biasanya kami menunggu tumpangan di Simpang Kawat, sebuah desa yang menjadi akses ke beberapa desa dan dusun ke daerah pedalaman. Pada saat menunggu seperti itulah kami juga berbaur dengan siswa SMP dari daerah lain, tujuannya sama, yakni pulang kerumah masing-masing. Naluriku untuk selalu ingin berkenalan dengan siapapun, terutama anak perempuan yang diatas jenjang pendidikanku, membuatku mengirimkan surat perkenalan pada salah seorang kakak berseragam SMA. Tak dinyana, kakak tersebut menyambut ulura persahabatan dariku, hingga kami sering saling tukar menukar surat, yang anehnya surat-surat tersebut kami pertukarkan langsung.
Kadangkala, ketika menunggu tumpangan seperti itu, beberapa anak lelaki berseragam SMP hilir mudik didepan kami. Belakangan baru kuketahui, bahwa mereka itu ingin tebar pesona, tentunya bukan kepadaku. Aku yang tidak memahami fenomena “ Cinta monyet “ pada masa itu, sama sekali tidak tertarik dengan lelakon murid SMP tersebut. Barangkali, perhatianku luput dari hal seperti itu karena memoriku sudah penuh dengan agenda harian yang harus kuikuti setiap hari.
Barangkali karena iba melihat kami belum mendapat tumpangan, sementara hari semakin terik, kadang-kadang ada abang-abang yang mau menyetop truk-truk dengan bagasi kosong. Kemudian kami berlomba, berebutan menaiki truk yang sedemikian tinggi buat kaki mungilku, karena untuk naik ke bagasi belakang harus memijak roda truk. Akhirnya, aku, si perempuan bertubuh lemah selalu menjadi yang terakhir berhasil naik ke bagasi, itupun dengan bantuan teman-teman, mereka menarik tanganku dari atas truk. Jika aku bertahan tidak mau menaiki truk tersebut, maka aku harus menunggu kedatangan bus penumpang yang tidak bisa dipastikan kapan munculnya.
2. Ketua Kelas Galak
Di masa SMP, ada ketentuan resmi dari pihak sekolah, bahwa yang menjadi ketua kelas dan wakil adalah peringkat satu dan dua. Maka, kelas 1 SMP, Meganti Simatupang menjadi ketua kelas, dan aku wakil ketua kelas, dua-duanya perempuan. Beberapa bulan dibangku SMP, Meganti sekeluarga pindah ke daerah Jawa, hingga otomatis akulah yang menjadi ketua kelas. Dari dulu hingga sekarang, ternyata sama saja, ketika guru tidak masuk, maka murid mencari celah untuk keluar dari kelas.
Ketua kelas diberi wewenang oleh wali kelas untuk “ memaksa “ murid tetap berada di kelas, bahkan dicatat namanya kalau cabut les, atau ribut, dan hal-hal lain yang membuat kelas tidak kondusif. Hingga, pada suatu hari, aku melihat serombongan murid laki-laki bermain voli di lapangan, padahal bukan jam pelajaran Olah Raga. Segera kudatangi mereka. Dengan suara nyaring melengking aku meminta mereka masuk kelas. Beberapa orang diantaranya cuek, tetap bermain voli, Tak sabar, kutendang kaki Demson Silitonga, tiba-tiba dia mengaduh, darah mengucur dari bagian depan kakinya. Aku terdiam, bingung tak tahu mau bilang apa. Kupandangi Demson, Sambil meringis dia berucap: “ Kau Chris, kau tendang pula bisulku, pecahlah “, katanya. Aku speechless. Kuikuti dia ke dalam kelas sambil mengucap syukur dalam hati, untunglah dia mengaku bisulnya yang kena tending, kalau tidak, bakalan dapat peringatan dari wali kelas. Sejak saat itu teman-teman memberiku sebutan Ketua Kelas galak. Semoga Demson memaafkanku.
Selama tiga tahun menjadi ketua kelas, tidak membuatku melakukan Ilmu Pendekatan ( IP ) terhadap guru-guru. Malah terkesan aku tidak begitu dekat dengan wali kelas, karena kuberharap semuanya berjalan biasa-biasa saja, apa adanya, tanpa kesan subjektif. Ditambah lagi karena kampungku barangkali yang terjauh dari seluruh murid, maka intensitas dengan guru sangat minim. Jika harus berlama-lama di sekolah, maka otomatis aku akan kesulitan mendapatkan tumpangan pulang ke rumah.
Barangkali, bekal sebagai ketua kelas di SMP inilah yang menjadi modal dasar bagiku kelak ketika terjun di dunia organisasi. Biasanya, aku menolak ketika dihunjuk sebagai bendahara, aku lebih memilih menjadi Ketua atau Sekretaris. Selain itu, ilmu yang didapat dibangku kuliah, dengan Program Studi Administrasi Perkantoran, ada beberapa mata kuliah seperti Manajemen, Organisasi, yang sangat membantu aktivitasku di berbagai organisasi.
Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.
Salam literasi .waah ceritanya asikm..hehe .masa ibru putih yang begitu terkesan .
Iya bu Yati, malah SMP yang lebih berkesan, sala kenal ibu