Bahagianya Aku Bisa Bersekolah

Humaniora0 Dilihat

 

1964

Usiaku sudah menjelang 9 tahun. An, panggilan sehari-hari Fitrizal adik sepupuku 8 tahun lebih, karena perbedaan usia kami hanya 6 bulan. Teman-teman seusiaku yang lain sedang bergembira dan saling berceloteh, bahwa mereka akan masuk sekolah di Sekolah Dasar Hilir Lama, satu-satunya sekolah yang ada dekat kampung kami. Bersama orang tuanya masing-masing, mereka ikut diajak mendaftar di sana.

Aku hanya terdiam mendengar ocehan mereka, ketika ada yang bertanya, apakah aku juga akan bersekolah, aku hanya diam atau menggelengkan kepala sambil tertunduk, sambil berkata, “tidak tahu”. Tapi dalam hati aku berkata, bila seandainya umi masih hidup tentulah aku juga akan bersekolah, sama seperti mereka. Tapi kini umi sudah tidak ada, menyusul ayah yang sudah meninggal duluan. Dalam keadaan yatim piatu, aku tak tahu kepada siapa aku harus menyatakan keinginanku untuk bersekolah, seperti teman-temanku yang lain itu.

Tapi Tuhan rupanya mendengarkan keinginanku untuk bersekolah. Etek-ku, ibunya An, mendaftarkan anaknya sekolah di Sekolah Dasar Hilir Lama. Nampaknya beliau juga prihatin melihat keadaanku yang juga sudah memasuki usia sekolah, bersamaan dengan anaknya, aku juga didaftarkan. Aku sangat bahagia saat itu, aku akan bersekolah sama seperti teman-teman yang lain di kampungku, Ladang Darek.

Menunggu hari pertama masuk sekolah rasanya sangat lama, aku sudah tak sabar ingin segera duduk di bangku kelas satu yang sempat aku lihat sewaktu kami mendaftar dulu. Aku sudah tidak sabar berangkat ke sekolah berbarengan dengan teman-teman sekampung lainnya. Seperti yang selama ini kulihat ketika mereka yang lebih tua dariku berangkat ke sekolah dan melewati jalan di samping rumah kami.  Mereka berjalan berombongan dengan pakaian seragam putihnya, alangkah gagahnya mereka itu, tak lama lagi aku pun akan seperti mereka!

Hari yang dinanti itu akhirnya tiba juga. Pagi-pagi aku dan Fitrizal sudah bangun, kami berkejaran pergi ke Luak Gadang, sumur yang terletak di pinggir tebing dekat sawah. Sambil berlompatan kegirangan kami berteriak, ”sekolah…., sekolah…., aku mau sekolah!” Teriakan itu baru berhenti setelah kami sampai di sumur dan berebutan mandi, mandi memakai sabun cuci cap tombak, bukan sabun mandi, karena hanya itulah yang ada. Bila biasanya aku dan Fitrizal mandi sering lama karena asyik bermain gelembung sabun, maka pagi itu kami mandi buru-buru, seakan kami sudah terlambat bangun untuk pergi ke sekolah. Padahal hari masih sangat pagi, dimana embun masih belum sepenuhnya menguap pergi, dan matahari masih bersembunyi di balik bukit barisan.

Selesai mandi, sambil memegang baju kotor bekas pakai sebelumnya, serta ember kecil tempat peralatan mandi. Kembali kami berlarian pulang, tapi tidak lagi sambil berteriak-teriak seperti tadi. Kami berlarian pulang dengan tangan ditekuk di depan dada, sambil mendekap pakaian kotor yang kami pakai tadi. Gigi kami gemeletuk kedinginan, dinginnya udara pagi ditambah lagi dinginnya air yang menyiram tubuh kami, sedang kami tak memakai baju sehelai benang pun!

Sampai di rumah, kami dipakaikan baju dan celana baru berwarna putih oleh etekku. Rasa bangga pelan menyelinap di hatiku, aku akan bersekolah bersama-sama teman sepermaiananku di kampung. Setelah pakaian kami rapi, etekku juga sudah menyiapkan sarapan. Selesai sarapan nasi yang hanya dalam tempo beberapa menit ludes oleh kami, kami turun ke halaman, lalu berdiri di jalan menunggu teman-teman yang akan lewat.

Sementara kami menunggu, matahari mulai menyembul dari balik bukit barisan. Cahayanya menerobos di sela-sela daun dan pohon-pohon kayu yang tumbuh subur dan menjulang tinggi. Embun semakin menipis dan berangsur hilang. Rasa hangat mulai menyentuh kulit kami. Satu persatu aku mulai melihat teman-teman bermunculan di Simpang Labuah, simpang empat yang membelah kampung kami Ladang Darek menjadi empat bagian.

Semakin lama anak-anak yang berjalan ke arah kami semakin banyak, mereka semuanya memakai baju putih. Tidak semuanya memakai baju baru, kecuali teman-teman seusiaku yang baru masuk kelas satu. Di antara teman-teman yang baru masuk sekolah, hanya satu orang yang diantar oleh orang tuanya. Sementara yang lain termasuk aku dan sepupuku Fitrizal, tidak ada yang mengantar. Karena kami semua telah hafal letak sekolah kami, begitu juga suasana kampung yang sepi serta rasa kekeluargaan yang erat, membuat orang tua tidak cemas melepas kami ke sekolah, walau tidak diantar, orang tua yakin anak-anaknya akan selamat pulang pergi.

Aku dan Fitrizal membiarkan rombongan pertama melewati kami, karena mereka adalah murid-murid yang kelasnya di atas kami. Aku dan sepupuku Fitrizal baru berjalan setelah beberapa orang teman seusia kami yang sama-sama baru masuk kelas satu melewati kami. Kami semua bergembira karena akan memasuki dunia baru yang belum pernah kami alami sebelumnya, dunia sekolah. Celoteh kami lebih ramai dibanding mereka yang kelasnya lebih tinggi dari kami. Ada juga yang bertanya tentang cita-cita kami, semuanya menyebutkan cita-citanya, kecuali aku. Karena aku tidak tahu, seperti apa cita-citaku.

Perjalanan satu kilometer menuju sekolah rasanya cepat sekali, rasanya masih banyak yang akan kami obrolkan, tapi tiba-tiba kami sudah sampai di sekolah. Memasuki halaman sekolah kami yang luas, teman-teman berlarian dan berkejaran ke sana kemari. Melepaskan semua kegembiraan yang sepertinya tak pernah habis. Tapi semuanya segera terhenti ketika lonceng tanda masuk sekolah dibunyikan.

Semua murid berbaris dengan rapi, kecuali kami murid kelas satu, yang tidak tahu harus berbuat apa. Tapi hal itu tak berlangsung lama. Karena dengan segera salah seorang guru memanggil semua murid-murid kelas satu. Kami diajar berbaris seperti anak-anak yang kelasnya di atas kami, tidak mudah menyusun barisan kami, karena semuanya belum benar-benar bisa diatur. Tapi guru kami itu, yang kemudian kami ketahui bernama ibu Basiar, dengan sabar mengatur kami. Beliau mengatakan bahwa kita semua akan mengikuti upacara bendera, yang bagi kami adalah sesuatu yang baru dan belum dimengerti.

Selesai upacara yang bagi kami seperti siksaan di bawah matahari pagi itu, akhirnya kami berbaris masuk ke kelas masing-masing. Sampai di dalam kelas, kami berebutan mencari tempat duduk. Suasana itu membuat ruangan kelas begitu berisik, semua berteriak ingin duduk di tempat yang diinginkannya. Ada yang berebut tempat ingin duduk di depan, atau berebut duduk dengan teman pilihan masing-masing, ada yang maunya dengan si A dan tidak mau dengan si B.  Tapi suara ibu Basiar menghentikan semua keliaran itu, semua diam, walau masih ada yang bertengkar tentang teman semejanya. Kericuhan itu baru benar-benar berhenti setelah ibu Basiar mengatur kami, dan itu tak boleh lagi dilanggar untuk hari-hari selanjutnya. Aku sendiri berhasil mendapatkan tempat duduk di baris ketiga di deretan tengah, berdua dengan sepupuku.

Acara selanjutnya adalah, ibu Basiar membagikan kepada kami batu tulis seperti papan tipis berwarna hitam, yang besarnya sebesar buku tulis. Masing-masing kami mendapatkan satu batu tulis, berikut batu yang ukurannya lebih besar dari lidi untuk menulisnya. Teman-teman yang senang mendapatkan batu tulis itu langsung memakainya. Ada yang melukis gambar, ada juga yang hanya sekadar corat-coret melihat keajaiban yang ditimbulkan batu tulis itu. Hal ini kembali membuat kelas menjadi berisik, hingga batu tulis ini selesai dibagikan dan ibu Basiar kembali memberikan komando.

Pelajaran pertama kami hari itu adalah berhitung, membuat angka 1 sampai 10, bagi yang pernah masuk taman kanak-kanak sebelumnya, hal itu tidak terlalu sulit, seperti sepupuku Fitrizal. Tapi bagiku dan teman-teman lain yang tak cukup beruntung untuk mendapatkan pendidikan awal itu, pelajaran itu cukup menyiksa.

Jam 10 kami pulang sekolah, sebaliknya kelas yang baru saja kami tempati, dipakai oleh anak kelas dua. Pulang sekolah kami masing-masing membawa batu tulis dengan perasaan bangga, karena sejak itu kami adalah anak sekolah…***

***Cuplikan Novel Seorang Balita Di Tengah Pergolakan PRRI

Tinggalkan Balasan