Mengapa tiga malam sekaligus dalam di judul atas digabung? maka pemirsa kolega sahabat pembaca tulisa Aa Dym di kanal YPTD ini pasti sudah bisa menebaknya yaitu karena baru sempat menuliskannya, ya memang bisa jadi ada benarnya. Namun ada alasan lain mengapa penulis menggabungkannya sekaligus, yaitu karena tiga malam berturut-turut tersebut program tarawih kelilingnya tidak berpindah-pindah yaitu berada pada lokasi masjid yang sama yaitu masjid paling dekat dari rumah sendiri yaitu Masjid Al-Ihsan Blok V RW.18 Vila Mutiara Gading 2 Tambun Utara Kabupaten Bekasi.
SEKILAS MASJID AL-IHSAN
Masjid yang didirikan oleh warga masyarakat Blok V – Vila Mutiara Gading 2 pada tanggal 28 Oktober 2007 (16 Syawal 1428 H) atas prakarsa tokoh masyarakat dan agama serta Seksi Rohani Islam RT selanjutnya melalui Panitia Pembangunan Masjid (PPM) Al-Ihsan alhamdulillah mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari semua pihak termasuk dari lembaga Asian Muslim Charity Foundation (AMCF) Jakarta sehingga dalam kurun waktu dua bulan masjid sudah bisa berdiri dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 19 Januari 2008 (10 Muharram 1429 H). Sebelum terpilihnya ketua DKM periode pertama, program pemakmurannya masih dilakukan oleh Panitia Pembangunan Masjid (PPM) Al-Ihsan yang disebut dengan PROGRAM TRIWULAN I 2008
Panitia Pembangunan Masjid (PPM) Al-Ihsan senantiasa terus berkembang dalam memakmurkan masjid Al-Ihsan, maka pada tanggal 20 Maret 2008 ( 12 Robiul Awal 1429 H. ) diadakan musyawarah kaum muslimin warga blok V dan pada tanggal itu pula dibentuklah organisasi Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al-Ihsan sebagai wadah untuk pemakmuran masjid Al-Ihsan ke depan dan selanjutnya melalui PROGRAM TRIWULAN II 2008 dan sampai saat pada suatu waktu masjid yang terletak di lingkungan RT.08 Blok V RW.XVIII Desa Karang Satria, Kecamatan Tambun Utara, Kab. Bekasi telah masuk PROGRAM TRIWULAN IV 2008 dengan VISI : MENJADI MASJID YANG MAKMUR DALAM IBADAH, DAKWAH DAN MU’AMALAH serta mempunyai tiga MISI utama yaitu :
- Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT bagi setipa warganya
- Menjadi unsur perekat dan pemersatu umat islam khususnya dan warga umumnya
- Bekerjasama dengan lembaga lain untuk meningkatkan kesejahteraan umat/warga
Sehingga jika ada yang bertanya Hari Ulang Tahun (HUT) Berdirinya Masjid Al-Ihsan Blok V – Vila Mutiara Gading 2 itu kapan, maka jawabannya adalah tanggal 28 Oktober 2007 bertepatan dengan 16 Syawal 1428 H. hal ini berdasarkan hari dimana diadakan peletakan batu pertama pembangunan masjid. Peresmian masjidnya sebagai tempat dan pusat ibadah dilaksanakan pada tanggal 19 Januari 2008 (10 Muharram 1429). Sedangkan jika ditanya kapan Hari Lahirnya DKM Al-Ihsan, maka jawabannya adalah pada tanggal 20 Maret 2008 (12 Robiul Awwal 1429), berdasarkan hari pelaksanaan pemilihan DKM atau Musyawara Besar (MUBES) Masjid Al-Ihsan yang diadakan pada tanggal tersebut di atas.
Sampai saat ini masjid Al-Ihsan sudah mengadakan Musyawarah Besar (MUBES) sebanyak empat kali (2008, 2011, 2014, 2017 dan 2020) dan satu kali Musyawarah Besar Luar Biasa (BUBES LB) pada tahun 2014. Tradisi Musyawarah Besar DKM Masjid Al-Ihsan selalu dipelihara dari waktu ke waktu, karena selain tempat dan sarana untuk memilih ketua DKM baru, juga menjadi ajang evaluasi dan sekaligus juga pertanggung-jawaban atau proyeksi masa depan masjid dan DKM Al-Ihsan itu sendiri. Sehingga dengan program kerja dan musyawarah besar atau musyawarah lainnya cita-cita besar para pendiri masjid benar-benar bisa direalisasikan secara bertahap dan berkelanjutan.
Berikut ini foto para ketua DKM Al-Ihsan dari waktu ke waktu:
1. Ust. Dimyat Aa Dym (2008-2011)
2. Ust. Yusuf Rahman (2011-2014, 2014-2017)
3. Ust. Hasanuddin (2017-2020)
4. Ust. Fachrudin Fahmi (2020-2023)
MALAM KE-18
Malam itu saya menjadi Imam sebagai badal dari imam pada malam itu yakni bapak ketua DKM yang kebetulan sedang berhalangan hadir. Bersyukur bisa menjadi imam meskipun badal karena sebelumnya saya juga berhalangan hadir dan akhirnya dibadalkan kepada ketua DKM periode kedua, bapak Ust. Yusuf Rahman.
MALAM KE-19
Kalau malam ini saya menjadi imam sebagai tukaran dengan imam yang membadalkan saya ketika beberapa hari sebelumnya saya tidak bisa hadir atau berhalangan menjadi imam. Pengalaman menarik adalah ketika saya bertanya kepada makmum terkait kecepatan dalam membaca Al-Qur’an di setiap rakaat shalat tarawih, setelah bilal membaca dzikir atau wiridnya setiap dua rakaat, pas giliran dua rakaat kedua lalu saya bertanya kepada jamaah: “Jama’aaah. !!! …Hai…… jamaaah, Alhamdu……Lillah. Apakah bacaan saya tadi kecepatan atau kelambatan atau kurang cepat?”. Lalu ada jamaah bapak-bapak (ikhwan) yang menjawab sambik berucap “Pass….” ucapnya. Lalu saya kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama kepada jamaah ibu-ibu/wanita atau akhwatnya, lalu jamaah akhwat juga ada yang menjawab “Pass……”. Alhamdulillah saya pun bahagia mendengar jawaban spontan dari jamaah.
Mungkin atau pasti jarang sekali imam yang bertanya demikian kepada jamaah, karena sang imam tentu sudah punya standar atau ukurannya dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an dalam shalat ketika ia bertugas sebagai imam shalat. Akan tetapi tidak ada salahnya sang Imam bertanya seperti di atas, karena bertanya bukan di dalam shalat. Kalau bertanya saat sedang shalat tentu akan batal shalatnya. Maksudnya tanpa bertanya pun seorang imam harus mengenal situasi dan kondisi jamaahnya. Sebagaimana juga kisah teladan dari Rosulullah ketika beliau menjadi imam shalat di masjidnya. Kisahnya diceritakan kembali oleh website PW Muhammadiyah Jawa Timur berikut ini:
Rosulullah SAW melaksanakan shalat dengan memperhatikan kemaslahatan makmum, dalam arti pertengahan, tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek. Yang demikian ini dalam rangka menjaga keadaan jamaah agar tetap tenang rileks dalam pelaksanaan shalat.
Di antara dalil yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ مِنْهُمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ
“Jika salah seorang di antara kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah ia melaksanakan secara ringan, karena di antara mereka ada yang sakit, lemah, dan usia tua. Dan jika ia shalat sendiri, maka berlama-lamalah sekehandaknya.” (HR, al-Bukhari, nomor 703).
Perlu diingat, bahwa makna “sederhana” adalah relatif, dalam arti bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu ukuran panjang dan pendek tetap mengacu pada as-sunah, bukan mengacu bukan pada keinginan imam ataupun makmum. Mengingat ada riwayat bahwasanya Rasulullah memimpin shalat dengan durasi cukup panjang bahkan sangat panjang.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمْ الصَّلَاةَ فَقَرَأَ بِهِمْ الْبَقَرَةَ قَالَ فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلَاةً خَفِيفَةً فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا وَنَسْقِي بِنَوَاضِحِنَا وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَتَجَوَّزْتُ فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ثَلَاثًا اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَنَحْوَهَا
Dari Jabir Bin Abdillah ra, sesungguhnya Mu’adz bin Jabal ra, selalu shalat bersama Rasulullah SAW, kemudian ia mendatangi kaumnya untuk memimpin shalat, dengan membaca surah Albaqarah. Maka salah seorang makmum memisahkan diri lalu shalat sendirian dengan lebih cepat (lalu pergi). Ketika berita itu sampai kepada Mu’adz ia berkata: ‘Orang itu adalah orang munafiq.’ Ketika orang tersebut mengetahui perkataan Mu’adz, ia datang mengadu kepada Rasulullah SAW, dan berkata: Ya Rasulullah, kami adalah orang yang bekerja dengan kedua tangan kami dan menyiram tanaman dengan hewan ternak kami, sedang tadi malam Mu’adz mengimami kami dengan membaca surah Albaqarah, kemudian saya memisahkan diri, lalu ia mengklaim bahwa saya adalah seorang munafiq! Kemudian Nabi SAW, bersabda: Hai Mu’adz, apakah engkau hendak membuat kericuhan (tiga kali). Seharusnya engkau (cukup) membaca Wasy-Syamsi wa dhuhaha dan Sabbikhisma raabbikal a’laa atau semacamnya” (HR, al-Bukhari dan Muslim).
Dari kisah ini para fuqaha banyak mengambil pelajaran khususnya bagi orang yang akan menjadi imam shalat, ia harus memperhatikan keadaan jamaah. Jika mereka orang-orang awam, atau di antara mereka terdapat para pekerja maka sebaiknya ia memperingkas shalat agar tidak memberatkan yang bisa berakibat mereka keluar memisahkan diri dari shalat berjamaah.
Sedang jika mereka adalah orang-orang yang bisa mengikutinya seperti para penuntut ilmu dan semacamnya maka boleh baginya untuk memanjangkan shalat. Dan ukuran shalat ringkas menurut riwayat di atas adalah yang bacaannya adalah surah Asy-Syams, Al-‘laa, dan yang semacamnya.
MALAM KE-20
Malam ini saya berperan sebagai makmum shalat isya dan tarawih, karena pada malam ini adalah malam Ahad biasanya ketua DKM dan panitia Ramadhan memberikan jadwal kepada penceramah dari luar masjid Al-Ihsan. Alhamdulillah pada malam itu bertepatan dengan jadwal Ust. H. Wahid Hasyim dari masjid yang berlainan bloknya di Vila Mutiara Gading 2 yakni masjid Raya Syekh Abdul Qodir. Sebelum beliau mempimpin shalat tarawih, dalam Qultumnya beliau menjelaskan tahapan-tahapan malam Ramadhan mulai dari sepuluh hari pertama yaitu Rahmah, sepuluh hari kedua yaitu Maghfiroh dan sepuluh hari ketiga yaitu Idzqum minannar atau terbebasnya manusia dari api neraka.
Semoga ibadah tarawih yang merupakai bagian dari rangkaian ibadah yang maraton selama sebulan penuh di bulan Ramadhan menjadi sarana bagi kita menerpa diri, mendidik jiwa menuju insan yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.
Wallahu a’lam.