Arkais
Oleh: Erry Yulia Siahaan
Ia seperti ada dan tiada. Berdiam di antara dulu dan kini kala. Mencari tempat di joreng-joreng buku siapa saja. Namun ia pasrah ketika tidak disuka. Ia berlonjak saat dicinta. “Siapakah aku,” pikirnya. “Hanya diksi yang dimakan jaman. Disimpan. Menjadi pajangan. Entah kapan aku kembali dimanjakan.”
Saku ia tersenyum di himpitan jari Arnas, Alam, dan sedikit saja lagi. Sebab, lebih banyak yang tak mengerti ketimbang memahami. Hikayat sangat mengenal dirinya. Namun, hikayat telah tiada. Zaman seakan menelannya lumat-lumat. Nyaris tenggelam di serbuan gelombang yang tiba, pergi, dan tiba lagi entah sampai kapan berhenti.
Ia unik, antik, dan klasik. Cantik. Bertebaran kata-kata cinta untuknya, namun terhitung jari yang datang meminang. Cawak pipinya kentara, saat tahu namanya telah mengisi daftar antre berbagai kreasi. Ia setia menanti dirinya dinamai. Kembali dalam pangkuan literasi. Bumi pertiwi. ***