Redundant 1: Tak Ada yang Serba Pasti
Oleh Erry Yulia Siahaan
“Ma, apa artinya redundant,” tanya Kefas, anak saya, pagi ini. Kefas baru saja mendapatkan notifikasi yang menggunakan istilah ini dari jejaring online-nya. Puji Tuhan, saya langsung punya jawabannya. Saya sangat mengenal istilah ini. Saya sering terpapar olehnya, dalam keseharian saya sebagai guru bahasa, peminat linguistik, sekaligus pembelajar.
Sebagian orang mungkin kurang lazim mendengarnya. Mereka yang cukup baik nilai ujian bahasa (khususnya bahasa Inggris dan bahasa Indonesia), belum tentu paham. Contohnya, Kefas yang tergolong skillful dalam berbahasa Inggris.
Lagi, sebagaimana saya singgung dalam tulisan pengantar kemarin (“KMAC”dalam KMAC), pengalaman “dari kata turun ke narasi” terjadi hari ini. Kata redundant seperti langsung menggeliat dalam wacana berbahasa saya. Saya belum bisa berbuat banyak tadi pagi untuk proses pemaknaan lebih dalam, usai menjawab pertanyaan tersebut, karena harus segera ke gereja seperti yang sudah saya niatkan. Barulah malam ini saya tuntaskan pencarian saya.
Puji Tuhan. Sekali lagi, tidak ada yang namanya kebetulan. Dalam khotbah hari ini, Pendeta Ligat U. Simbolon membahas konten Mazmur 119 ayat 1-8 dari Alkitab, yang banyak mengandung apa yang disebut sebagai redundancy (kata bentukan nomina dari redundant). Demikian pula halnya dengan lirik lagu yang dibawakan oleh dua paduan suara hari ini, yakni Koor Lanjut Usia (yang membawakan lagu Sampai Masa Tuamu) dan Koor Debora (Dung Sonang Rohangku, yang artinya bahagia hatiku). Keduanya mengandung unsur kebahasaan yang tergolong redundant. (Baca tulisan berikutnya: Redundant 2: Narasi Kebahagiaan)
Tidak Diperlukan
Secara umum, dalam kebahasaan, redundant berkonotasi kurang baik, dalam artian sebenarnya tidak diperlukan, bersifat pengulangan makna, dan dapat dipangkas untuk menciptakan efisiensi bahasa. Hal ini biasanya mendapat sidikan ketat di bidang tertentu, seperti jurnalistik. Begitu editor atau korektor (yang jeli) menemukan gejala redundansi, pemangkasan sudah pasti terjadi.
Redundant, yang menurut jejak sejarahnya konon sudah dikenal sejak 1594, termasuk kelas adjektiva atau kata sifat. Redundancy adalah kata bentukan yang termasuk nomina atau kata benda.
Menurut kamus Oxford, redundant terdefinisi sebagai “not or no longer needed or useful; superfluous” dan bersinonim dengan unnecessary (tidak penting), not required, inessential, unessential, needless, unneeded, uncalled for, dispensable, disposable, expendable, unwanted, useless, dan masih banyak lagi. Terlihat, bahwa arti redundant berkonotasi kurang baik, jika tidak mau disebut negatif.
Redundant (British) juga diartikan sebagai “(of a person) no longer employed because there is no more work available” yang artinya “(seseorang) tidak lagi bekerja karena tidak ada lagi pekerjaan yang tersedia”. (Wah, saya jadi teringat prahara dunia kerja saat pandemi Covid-19.) Padanan katanya menurut versi ini adalah sacked, dismissed, laid off, discharged, unemployed, idle, jobless, out of work, out of a job, disemployed. Sekali lagi, makna konotatifnya kurang menyenangkan.
Definisi senada bisa kita temukan pada berbagai sumber, termasuk kamus online (misalnya Merriam Webster dan Cambridge), publikasi akademik (contohnya University of Houston, Victoria), serta berbagai situs pribadi dan lembaga. Sayangnya, istilah ini belum saya lihat ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tetapi, dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah formal, kata redundansi sudah cukup dikenal dan sering dipakai dalam linguistik modern. Konotasinya mirip dengan yang saya jelaskan sebelumnya, yakni kurang baik.
Jadi Beban
Dalam banyak bidang, redundansi dinilai mengganggu dan perlu diatasi atau ditiadakan, sebab sifatnya adalah penambahan tetapi tidak menambah kebermaknaan. Misalnya dalam bidang pendataan atau penyimpanan data dalam dunia pemrograman, ekonomi/bisnis, hukum, kepenulisan, dan lain-lain. Dalam dunia pemrograman, adanya data yang bersifat pengulangan malah menjadi beban buat server dan bisa memperlambat pemrosesan data. Dalam dunia ekonomi, adanya beberapa orang untuk bidang keahlian yang sama dan slot yang terbatas bisa dianggap sebagai porsi berlebih dan pemborosan dana. Dalam bidang hukum, penggunaan kata yang tidak diperlukan bisa membuat pemaknaan hukum menjadi kurang tegas, selain tidak efisien. Dalam bidang kepenulisan, kata-kata yang tidak diperlukan akan bertentangan dengan prinsip ekonomi kata dan kurang memenuhi kriteria akademik buat sebuah esai misalnya (sehingga bisa mengurangi skor ujian).
Contoh-contoh praktis adanya redundansi dalam bahasa Indonesia dapat kita temukan pada “hari Sabtu”, “bulan Agustus”, “sangat banyak sekali”, “warna putih”, “agar supaya semangat”, dan sebagainya. Kata “hari” pada “hari Sabtu”, “bulan” pada “bulan Agustus”, kata “sangat” atau kata “sekali” pada “sangat banyak sekali”, kata “warna” pada “warna putih”, kata “agar” atau “supaya” pada “agar supaya semangat” merupakan contoh-contoh kata yang tidak diperlukan dan bisa dihilangkan tanpa harus mengorbankan ketersampaian informasi atau tanpa mengalami distorsi makna sepenuhnya. Sehingga, deretan kata di atas cukup ditulis sebagai “Sabtu”, “Agustus”, “sangat sekali” atau “banyak sekali”, “putih”, “agar semangat” atau “supaya semangat”.
Bisa Asyik
Ternyata, redundansi tidak selamanya merupakan pelanggaran idealisme secara mentah-mentah. Tidak selamanya berkonotasi jelek atau negatif. Kalau dicermati, dalam konteks khusus, malah bikin asyik. Redundansi kadang diperlukan, bahkan sangat diperlukan, kendati dia akhirnya tidak digunakan sama sekali. Kok, bisa?
Dalam dunia teknik permesinan, misalnya, redundansi dinilai perlu. Sebuah situs bernama kamalogis_teknikfisika menuliskan, pada sistem kontrol, makna kata redundansi tidak jauh berbeda, ditandai dengan terdapatnya penggunaan dari dua atau lebih alat identik tanpa adanya penambahan fungsi. Misalnya pada teknologi Pair and Spare. Nah, di sini redundansi akan bekerja apabila salah satu sisi dari sistem terkait mengalami kegagalan. Kegagalan yang terjadi akan bisa segera digantikan dengan adanya redundansi, sehingga kegagalan sistem kontrol tidak sampai menyebabkan proses berhenti.
“Redundansi memiliki peran yang sangat penting ketika bersangkutan dengan ketiga jenis proses berikut, yaitu continuous process, irreversible process, dan extended restart time,” kata penulis situs kamalogis tersebut mengutip Niazi (2020). Continuous process merujuk pada proses yang (harus) dilakukan terus menerus. Jika proses berhenti, ini akan berdampak pada proses lain yang terkait, sehingga redundansi memegang peranan penting. Pada industri farmasi, misalnya, terdapat proses pencucian/pensterilan sebelum pengisian. Jika mesin pencucian terputus di antara siklusnya, sistem redundansi mengambil alih dan proses pencucian dimulai lagi dari awal.
Pada irreversible process, terjadi proses yang tidak dapat dibalikkan, atau tidak dapat diubah atau dihentikan di tengah sebelum selesai. Pada industri kimia, setelah produk selesai dibuat maka harus sesegera mungkin diisi ke dalam wadah yang diinginkan. Jika tidak, sifat kimianya akan berubah dan kehilangan manfaat.
Pada proses extended restart time, yaitu proses yang membutuhkan waktu lama untuk mulai ulang atau restart, beberapa industri tidak berkemampuan untuk melakukan restart sistem ini, karena ini bukanlah tugas kecil dan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk sistem bisa beroperasi penuh, bahkan hingga satu bulan. Contohnya, pada industri besi dan baja menggunakan tungku. Tungku diatur pada suhu tinggi yang konstan, di mana dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai suhu tersebut. Jika terjadi kegagalan pada sistem, suhu akan menurun dan diperlukan waktu yang lama untuk kembali stabil.
Pentingnya redundansi juga dirasakan pada bidang aerospace, di mana keselamatan pesawat dan penumpang sangat dipengaruhi oleh ada atau tiadanya redundansi. Bahwa redundansi ini akhirnya tidak dipakai sampai akhirnya pesawat masuk kandang alias harus afkir karena usia dan kondisi, itu masalah lain. Bahwa perlu biaya besar untuk redundansi, itu juga hal lain. Tapi, ada hal-hal yang tidak bisa dinilai dengan hanya mengukur besarnya biaya, misalnya keselamatan nyawa atau keberlangsungan investasi dalam jumlah jauh lebih mahal, sehingga perdebatan mengenai pentingnya redundansi di sini tidak perlu lagi ada.
Benang merah dari narasi di atas adalah tidak semua hal bisa dipandang sebagai hitam-putih dalam kehidupan ini, bahkan dalam bidang keilmuan sekalipun. Di dunia ini, tidak ada yang serba pasti. Itu sebabnya, arogansi tidak pernah layak mendapat tempat di manapun dan kapanpun. Belajar mencari dan memaknai, mendengar dan menarik esensi, jauh lebih baik ketimbang bersikukuh pada prinsip diri yang belum tentu pasti atau berisi. Bukankah esensi hidup ini adalah untuk berinteraksi dan saling mengisi? ***
Terima kasih Bu Erry, ulasan yang sangat bermanfaat.
Namun, kerena kebiasaan kita dalam penulisan yg terbiasa menggunakan kata-kata berlebihan (seakan sebagai penegasan) terasa agak kuraang pas (aneh) jika tidak dilengkapi dengan kata “redundant” tsb.
Semoga selanjutnya kita bisa membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa (apadahal kurang tepat) … hehehehee
Terima kasih juga, Ibu. Sudah mampir dan memberikan komentar.
Ya, semoga.
Semangat dan salam literasi.