Redundant 18: Kesetiaan
Oleh Erry Yulia Siahaan
Hari ini, Tuhan mengingatkan saya tentang kesetiaan. Lewat rangkaian kegiatan dari pagi hingga sore, bahkan malam, saya dipertemukan dengan satu demi satu hal-hal yang terkait dengan kesetiaan.
Nats dalam ibadah pagi ini adalah tentang iman dan kesetiaan.[1] Firman dan renungan dalam kegiatan tim doa syafaat juga mengenai iman dan kesetiaan. Lagu-lagu pujian, baik dalam acara doa syafaat maupun dalam latihan koor sesudahnya, juga tentang kesetiaan. Nats dalam sermon [2] untuk para lanjut usia (lansia), juga mengenai kesetiaan.[3]
Galau
Sebenarnya sudah jelas, apa yang akan dan idealnya saya tuliskan. Yakni, kesetiaan. Malam ini, ketika mulai duduk di depan laptop dan hendak memulai menulis, jelas sekali Tuhan berbicara melalui ingatan saya, “tulislah mengenai ‘kesetiaan’”.
Hati saya sempat galau, ragu, bagaimana saya akan menuliskannya, tanpa harus menyinggung kesetiaan dari segi agama. Saya harus berhati-hati. Agama adalah perihal yang peka. Saya seperti mengalami kesulitan ketika hendak memulainya.
Saya kemudian mencoba mencari alternatif. Saya membuka daftar di folder khusus dalam laptop saya. Daftar itu berisi kumpulan topik yang menarik bagi saya, berdasarkan pertemuan saya dengan banyak hal, yang saya yakini bukan suatu kebetulan. Belakangan ini, saya memang rajin menuliskan topik dari pertemuan demi pertemuan dalam sebuah daftar khusus, lengkap dengan tanggal kejadian, bahkan tak jarang dilengkapi jam terjadinya. Maksud saya, supaya tidak lupa.
Di tengah pencarian itu, saya seperti diingatkan, bukankah sudah ada niatan untuk menuliskan hal-hal yang membuat saya selama ini terkagum-kagum akan bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup saya. Dalam keseharian saya. Dari hal-hal yang sederhana, yang mungkin buat orang lain bukan apa-apa, tetapi bagi saya itu sesuatu yang berharga. Hal-hal yang menguatkan bahwa tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Perjumpaan dengan Tuhan adalah sesuatu yang indah dan patut disyukuri, dalam segala bentuknya.
“Tuhan, Tolong”
Sampai situ, saya berhenti sejenak dari pencarian saya. Saya bilang, “Tuhan, tolong pimpin saya. Saya bisa kehabisan ide, tetapi Engkau tidak.”
Saya kemudian diingatkan dengan kejadian tadi sore. Sepulang dari kegiatan tim doa, latihan koor, dan sermon di gereja, saya berkesempatan ngobrol-ngobrol dengan para ibu lansia. Di antaranya adalah seorang ibu yang akan berusia genap 85 tahun pada 1 Juli ini. Banyak yang memanggilnya, “Ompung” (panggilan untuk nenek atau oma dalam bahasa Batak). Memang pantas. Selain sudah tua, Ompung sudah memiliki 17 cucu dan 9 buyut.
Dari hasil martarombo (penelusuran silsilah dalam budaya Batak) ketika pertama kali berkenalan awal Februari lalu, saya tahu, bagaimanapun saya memang harus memanggilnya Ompung. Sebab, dari marga Siahaan yang satu rumpun (catatan: Siahaan ada beberapa rumpun), saya adalah generasi ke-15, sedangkan Ompung generasi ke13. Jadi, kami berjarak dua generasi.
Ompung dan Mbak
Saat ngobrol itu, saya mengira, Ompung menunggu jemputan. Memang, sejauh yang saya amati, Ompung selalu dijemput oleh pembantunya. Tapi, hari ini ternyata tidak.
“Saya pulang sendiri,” kata Ompung. “Ayo, ikut ke rumah yuk. Biar tahu rumah saya.”
Tidak berpikir dua kali, saya langsung berdiri mengikuti langkah Ompung.
Kami berjalan kaki. Dibantu menyeberang dulu oleh petugas keamanan, dan jalan sebentar sampai di depan sebuah gang, setelah itu melanjutkan perjalanan sampai rumah Ompung.
Saya dipersilakan mampir. Dalam perbincangan dengan Ompung di rumahnya, saya semakin terpana pada bagaimana Allah bekerja dalam hidup saya. Sekali lagi, tidak ada yang namanya kebetulan.
Ompung bercerita betapa semasa pandemi Covid-19, Ompung selalu rindu ke gereja. Ompung bersemangat sekali untuk mengikuti ibadah di gereja, setelah kegiatan tatap muka dimulai. Ompung tidak pernah absen, sekalipun anak-cucu sering memintanya untuk ibadah dari rumah saja, pakai live streaming, seperti semasa pandemi. Alasan mereka, Ompung sudah tua. Apalagi, Ompung selalu jalan kaki ke gereja.
“Menangis saya kalau tidak ke gereja,” kata Ompung. “Dari dulu saya tidak pernah absen ke gereja.”
Luar biasa, pikir saya. Sungguh setia.
Tidak sampai di situ saya terpana. Ternyata pembantu yang suka menjemput Ompung, sebut saja Mbak, sudah bekerja selama 45 tahun di rumah Ompung. Sejak putri bungsu Ompung berusia tiga minggu. Mbak pernah menikah, tetapi bercerai, dan selanjutnya tetap bekerja di rumah Ompung. Menemani Ompung yang sudah sejak 1998 ditinggal mati oleh suami tercinta.
Rencana Tuhan
Sepulang dari rumah Ompung, saya diliputi sukacita. Pertemuan saya dengan kesetiaan berlangsung dari pagi hingga sore, bahkan hingga malam, ketika saya mengetuk tuts-tuts keyboard di laptop saya, setelah Tuhan membimbing saya untuk mengambil keputusan buat menuliskan kisah ini.
Yakni, tulisan yang topiknya sebenarnya tidak dimulai tadi pagi, tetapi telah Tuhan tetapkan ketika Ompung pada Jumat lalu membisikkan ke telinga saya, “jangan menikah lagi, ya.” Ompung mengatakan itu ketika tahu bahwa saya baru saja ditinggal oleh suami. Sempat heran juga mengapa Ompung berkata demikian. Seperti biasa, saya akan bertanya-tanya untuk sesuatu yang nyantol di hati dan pikiran saya. Termasuk kata-kata Ompung itu. Pasti, itu juga bukan suatu kebetulan. Dan, hari ini, Tuhan memberikan saya jawaban. Soal kesetiaan.
Bagaimana saya tidak bertambah heran pada kemurahan-Nya dan patut setia kepada Dia, yang tidak pernah gagal atas rencana-Nya. Saya percaya, saya ada karena Tuhan mau saya ada. Tuhan punya rencana yang baik buat saya. Saya percaya, tidak terbatas kuasa-Nya.
Ini mengingatkan saya pada nats yang saya tuliskan pada lembaran awal skripsi saya, yaitu Mazmur 139 ayat 13 sampai 16, yang berkata: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya.”
Doa saya menutup tulisan ini: “Tuhan, aku percaya, kasih dan kuasa-Mu tidak terbatas dan tetap untuk selama-lamanya. Berikanlah aku kekuatan untuk tetap setia. Berikanlah aku iman yang terus bertumbuh, sehingga aku boleh mengalami kuasa dan mujizat-Mu dalam hidupku. Tolonglah aku, Tuhan, untuk dapat hidup sebagai saksi-Mu, tentang betapa baik dan dahsyat Engkau. Berilah aku hikmat, ya Allah, agar aku mengerti Firman-Mu, dan kokohkanlah kakiku untuk berjalan dalam tuntunan-Mu, sesuai dengan rencana-Mu. Amin.” ***
[1] Mazmur 85 ayat 8: “Perlihatkanlah kepada kami kasih setia-Mu, ya TUHAN, dan berikanlah kepada kami keselamatan dari pada-Mu!”
[2] Sermon adalah pertemuan khusus yang diisi dengan pembacaan Firman dan refleksi oleh pendeta.
[3] Nats dan renungan dalam sermon diagendakan oleh gereja. Sedangkan Firman dalam ibadah pagi rutin saya bersumber dari link di luar gereja saya. Firman, renungan, dan lagu pujian dalam kegiatan tim doa syafaat juga bukan dari agenda gereja, tetapi disediakan oleh ketua tim. Lagu paduan suara dipilih oleh pelatih. Bahwa ada pertemuan di antara semua itu, bukanlah kebetulan.