KMAC H-39 Redundant 34: Belajar

Redundant 34: Belajar

Oleh Erry Yulia Siahaan
Bocah menangis di pekuburan, sedih dan kesepian. (Sumber: Dreamstime)

Seperti lagu. Demikianlah hidup.

Satu tema bisa hadir dalam beragam judul. Bermacam tempo. Berjuta lirik. Bahkan, satu judul yang sama bisa lahir dalam lagu-lagu berbeda warna, dengan tempo yang tidak sama.

Lagu “Silence Is Golden” adalah contohnya. “Silence Is Golden” bisa dari versi The Tremeloes, bisa dari The Beths.

Meskipun judul lagunya sama dan kedua penyanyinya (The Tremeloes dan The Beths) sama-sama grup band ber-genre rock, setting kedua lagu “Silence Is Golden” itu berbeda satu sama lain.

The Tremeloes adalah grup band dari Amerika yang lahir pada era 1960an, sedangkan The Beths dari Selandia baru yang lahir pada 2014. The Tremeloes merupakan grup band berpersonel empat orang dan semuanya lelaki, sedangkan The Beths adalah grup band yang berpersonel lebih banyak dan terdiri dari perempuan dan laki-laki. Lirik dan pemaknaannya juga berbeda.

Hidup adalah proses belajar dengan berjuta-juta tema. Seperti apa temanya, judulnya, liriknya, bahkan temponya, ia adalah maklumat Tuhan Yang Maha Kuasa. Bersandar pada Tuhan membawa ketenteraman. Belajar mengenal Tuhan dan menerima pengajaran berdasarkan Firman-Nya akan memberikan kekuatan dan penghiburan. Kekuatan dari Tuhan akan memampukan kita untuk menangkap setiap nada, beat, dan kata sebagai suatu anugerah.

(Sumber: Unsplash)

Tinggal Nama

Semalam, saya kembali ke rumah duka. Lagi, seorang anak muda meninggal dunia. Baru dua dekade usianya. Rupawan parasnya. Tidak ada kata pamit sebelumnya. Minggu siang meninggalkan rumah, sore diberitakan sudah tinggal nama.

Sebuah kecelakaan tunggal merenggut nyawanya. Entah bagaimana persisnya, motor yang dikendarainya menyenggol trotoar. Dia terkapar. Langsung terdiam.

Dua hari sebelumnya, ibu kandungnya cedera. Mengalami kecelakaan. Goresan di dekat pelipisnya masih terlihat, sedikit mencuri pandang dari salah satu sudut perban yang menutupinya. Berkendara motor, dia ingin menghindari diri dari orang lain yang jatuh. Tetapi, dia yang malah tertimpa dan terluka.

Itu kesekian kali, ibu itu mengalami kecelakaan. Dia juga sedang sakit. Kencingnya berdarah. Ginjalnya bermasalah.

Dua hari lalu, keluarga itu berencana mulai pindah rumah. Barang-barang sudah banyak yang dikemas. Seorang teman tinggal di samping rumahnya. Menjelang siang, dia membawakannya makanan, karena dia mengetahui ibu itu baru mengalami kecelakaan. Kami semua tergabung dalam keluarga oikumene di perumahan.

Minggu sore, ketika kami masih berkumpul dalam pertemuan Parsahutaon (istilah Batak untuk perkumpulan satu lingkungan), teman itu memberi kabar bahwa anak muda itu sudah tiada. Dia seakan tidak percaya. Karena, hari itu dia masih bertemu dengannya. Berbincang-bincang dengannya saat mengantarkan makanan.

Ayah anak muda itu juga seperti bermimpi. Baru sehari dia berangkat ke luar negeri. Dia akhirnya kembali ke Tanah Air, setelah mendengar anak sulungnya telah pergi.

Kisah ini seperti sebuah lagu bertempo cepat, di mana kata-kata terartikulasi secara rapat dan sebentar saja lewat, dengan nada-nada yang tak terduga naik-turunnya, disusul kata-kata dan nada baru yang mungkin masih dinamis atau malah melambat.

(Sumber: Pinterest)

Belajar

Semalam, di rumah duka, “Ajar Kumengerti” menjadi lagu pertama dalam ibadah.

Ajarku mengerti segala rencana-Mu/Ajarku berserah hanya pada-Mu/Pimpinlah jalanku/Dalam terang Firman-Mu/Ajarku berharap hanya pada-Mu

Bapaku ajaib s’gala rancangan-Mu/Tuhanku, heran perbuatan-Mu/Engkau sanggup mengadakan/Segala yang ku perlukan/Menurut kehendak-Mu terjadilah

Pendeta membuka khotbah dengan kata-kata “kita belajar”. Maksudnya, kita belajar menerima dan mengimani apa yang dikatakan dalam Yesaya 55 ayat 8 sampai 9, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”

Ibu, ayah, adik, kakek, paman, tante, tetangga, teman dari anak muda itu diajak belajar untuk tidak mempertanyakan maklumat Tuhan. Sebab, sekalipun kita memiliki akal, kita tidak mampu memakainya untuk mengukur rencana Tuhan.

(Sumber: Dreamstime)

“Kemah” Dibongkar

Sedikitnya 10 nas dalam Alkitab disampaikan oleh pendeta dalam khotbahnya yang relatif singkat. Hanya dalam 6 menit, dia menggarisbawahi isi dalam nas-nas itu untuk menguatkan keluarga yang berduka, juga para pelayat.

Saya berasumsi, tentu ayat-ayat itu sudah sering didengar, dibaca, dan diketahui oleh jemaat, atau telah beberapa kali diperdengarkan kepada jemaat. Nas-nas itu digemakan kembali untuk mengingatkan, memberikan penguatan.

Pendeta menekankan beberapa poin, antara lain agar kita tidak gelisah dalam menghadapi permasalahan di dunia ini, termasuk kematian.

“Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia,” kata pendeta mengutip isi 2 Korintus 5 ayat 1.

Selama manusia hidup dalam “kemah”, ada masalah. Tekanan hidup, gempa bumi, peperangan, atau lainnya jangan sampai membuat kita gelisah. Dunia ini fana. Dunia ini akan lenyap, dalam kekuasaan si jahat. Amat berbeda dengan rumah yang sudah disediakan oleh Allah. Yang abadi dan indah. Yang bebas dari masalah.

Oleh sebab itu, kita diajak untuk belajar untuk melihat sesuatu yang tidak tampak dengan mata jasmani, tetapi bisa dilihat secara rohani, yaitu yang berasal dari Tuhan.

“Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah ke bumi di bawah; sebab langit lenyap seperti asap, bumi memburuk seperti pakaian yang sudah usang dan penduduknya akan mati seperti nyamuk; tetapi kelepasan yang Kuberikan akan tetap untuk selama-lamanya, dan keselamatan yang dari pada-Ku tidak akan berakhir,” demikian isi l Yesaya 51 ayat 6 yang menjadi pijakan apa yang dikatakan oleh pendeta.

Pengganti “kemah” adalah rumah abadi di rumah Allah. Di sana tidak ada kedukaan, kecemasan, ataupun masalah.

“Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya”, demikian Yesaya 11 ayat 6 menggambarkan dunia abadi nan indah dan damai.

“Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu,” kata Wahyu 21 ayat 4.

(Sumber: PNG Tree)

“Rock” atau “Mellow”

Pendarasan poin-poin penting itu seperti sebuah lagu bertempo cepat, yang tak kalah penting dan tak kalah berisinya dengan lagu bertempo sedang atau lambat yang sering saya dengar.

Intinya, ada pembelajaran di sana. Bahwa hidup ini hanyalah sementara. Tetapi, hidup adalah anugerah, karunia, dan tidak boleh disia-siakan.

Memang tidak mudah menjalaninya. Belajar adalah sebuah proses yang perenial. Berakar dari kata “ajar”, belajar di sini tidak cukup hanya dari membaca dan mendengarkan, atau melakukan aktivitas yang disebut “study” dalam bahasa Inggris. Tetapi, juga menghayati dan mengamalkannya hingga menjadi sebuah “keterampilan”, atau melakukan yang selaras dengan kata “learn”.

Tawa-tangis akan selalu ada selama manusia hidup dalam “kemah”. Suka-duka datang silih berganti, dalam irama yang mungkin cepat, mungkin juga sedang atau lambat. Dalam nada-nada yang mungkin datar, mungkin juga meninggi atau melandai. Dalam genre yang mungkin keras seperti rock, mungkin juga sendu seperti nada-nada mellow.

Satu tema yang sama bisa hadir dalam warna lagu yang berbeda. Tema kematian bisa tentang yang tua, yang muda, yang setengah baya, yang masih anak-anak, yang bayi, atau yang baru lahir. Bisa karena penyakit, kecelakaan, bencana alam, peperangan, dan sebagainya.

Tema kematian bisa ada di rumah si kaya atau si miskin. Tangisan kehilangan bisa meraung dari “kemah-kemah” yang sama, yang sedetik lalu mungkin baru saja menggemakan tawa kegirangan.

Tawa kebahagiaan bisa membahana dari sudut-sudut ramai kota, atau dari pojok-pojok kumuh yang dipandang sebelah mata. Silih bergantinya tidak terjadwal. Hati penuh syukur dan iman yang kuat menjadi alat untuk mengimbangi tempo dan fluktuasinya. Bahkan, untuk “ikut bernyanyi” bersamanya. ***

Tinggalkan Balasan