Manusia Berencana, Tuhan Penentunya
Oleh Erry Yulia Siahaan
Umur? Hanya Tuhan yang mengetahui. Kita bisa menyusun sejuta agenda, untuk hari-hari di depan kita. Tetapi, ketika Tuhan katakan “berhenti”, kita pun berhenti.
Seorang teman sudah merencanakan perayaan hari lahirnya yang ke-72, Juni ini. Sekaligus merayakan hari ulang tahun pernikahannya yang ke-48, ulang tahun isterinya yang ke-74, dan ulang tahun tiga cucunya, semua pada bulan yang sama.
Dia dan isteri sudah mulai bisik-bisik mengenai rencana itu ke beberapa pengurus gereja. Mungkin, supaya rencana mereka tidak bentrok dengan agenda gereja.
Minggu (23 April 2023), kami masih bertemu dalam ibadah. Seperti biasa, dia datang bersama isteri. Ke gereja berboncengan dengan motor.
Kami tergabung dalam paduan suara lanjut usia (lansia). Teman itu masuk dalam bass (sering disebut suara empat), isterinya sopran (suara satu). Hari itu, lansia tidak bertugas koor. Walaupun tidak bertugas, khusus untuk lansia, sudah ada jejeran kursi yang disediakan. Agak ke depan, lebih dekat ke mimbar. Jadi, lansia selalu bisa duduk bersama.
Dia dan isteri masih berbaur hari itu. Mereka memang pasangan yang serasi dan rajin ke gereja. Selalu terlihat bersama.
Usai ibadah, dia dan isteri pergi ke arisan keluarga. Sampai malam. Mereka diantar dengan mobil. Karena motor masih di gereja, mereka minta diantarkan sampai gereja saja. Teman itu pun pulang dengan motor.
Esok pagi, sekitar pukul tujuh, isterinya membangunkannya. Seperti biasa, kopi dan roti sudah disiapkan untuk sarapan suaminya. Sementara untuk sang isteri, oatmeal.
Di kamar, sang isteri melihatnya kaku. Kedua tangannya terbuka, di kiri kanan telinga, dengan telapak tangan menghadap ke depan. Matanya terbuka. Wajahnya damai. Sang isteri yang tadinya mengira suaminya masih tidur, lama-lama menjadi curiga. Apalagi melihat posisinya tetap sedemikian rupa, tidak berubah.
Dia membangunkan suaminya. Pertama, dengan panggilan biasa. Kemudian, makin keras. Sampai akhirnya dia menepuk-nepuk pipi suaminya, yang tidak juga sadar.
Seorang dokter dekat rumah dipanggil.
“Sudah ‘tidak ada’, Bu,” kata dokter kepada isterinya, yang langsung lemas, seakan tidak percaya bahwa suaminya telah tiada.
Sama tidak percayanya dengan teman-teman lansia dan jemaat lain yang masih bertegur-sapa hari Minggu di gereja. Juga kerabat dan handai-taulan yang bertemu di arisan keluarga. Terutama yang mengantarnya pulang sampai gereja.
Tubuhnya belum kaku. Simpulannya, dia baru saja meninggal.
Begitulah. Rencana bulan Juni tinggal kenangan. Perayaan ulangtahun pernikahan emas dua tahun lagi, sirna. Juga rencana bulan Agustus, di mana suami-isteri itu akan menjadi orangtua angkat untuk pernikahan adat anak saudaranya.
Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Salomo dalam Kitab Amsal pasal 16 ayat 9 mengingatkan, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.” Suatu petuah yang tegas, bahwa sehebat apapun manusia, tidak ada yang bisa melawan kehendak Tuhan.
Di atas kertas, yang tua “pergi” lebih dulu. Yang sakit-sakitan juga begitu. Semua itu hanyalah kalkulasi manusia. Kehendak dan rencana Tuhan, tidak terjangkau akal. Mengagumkan.
Teman itu meninggalkan empat anak, tiga laki-laki dan satu perempuan, beserta tujuh cucu. Dia dibaringkan di peti jenazah berwarna putih, dengan kedua tangan diluruskan di samping badan, pertanda “saur matua” – istilah Batak untuk orang yang secara adat dinilai paling berbahagia karena semua anaknya telah menikah (juga mempunyai cucu) dan dapat dimaknai bahwa almarhum tidak lagi memiliki beban.
Dia meninggal hari Senin (24 April 2023) dan dikuburkan Rabu sore. Banyak yang mengantarnya sampai ke peristirahatan terakhir. Tidak ada rumor di sana-sini seperti biasa terjadi jika ada yang “pergi”. Terkesan, dia begitu dicintai. Hujan sangat deras mengguyur rumah duka. Para tamu bertahan hingga jenazah berangkat ke makam, lalu dikuburkan.
Dua pendeta hadir dalam prosesi akhir di persemayaman. Mengingatkan lagi kepada jemaat dan yang melayat, Pdt. Dr. T. Hutahaean dan Pdt. M Nainggolan menggarisbawahi pesan dalam Alkitab, bahwa hidup ini adalah sebuah ziarah.
Selama di dunia, kita tinggal di kemah-kemah, yang suatu saat (harus) dibongkar. Kita akan menempati rumah yang sudah disediakan oleh Allah. Rumah abadi. Rumah damai.
“Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia,” kata pendeta mengutip 2 Korintus 5 ayat 1.
Semua yang ada di dunia adalah fana. Ke rumah duka bisa menjadi pengingat bagi kita, tentang siapa kita dan akan ke mana kita.
Pulang dari rumah duka bisa menjadikan kita lebih bijaksana. Menghitung hari-hari kita, seberapa dalam dan banyak kita meninggalkan jejak di bumi ini dengan hal-hal bermakna.
“Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama,” kata Hutahaean.
Perkataan itu mengingatkan semua yang hadir. Khususnya isteri, anak-anak, dan cucu-cucu almarhum, tentang bagaimana kita sebaiknya mengartikan hidup dan menjadi lebih berhikmat menjalaninya. ***