Mengenang Aroma Lebaran

Poster ucapan Idul Fitri. (Sumber ilustrasi: Masagipedia)

Mengenang Aroma Lebaran

Oleh Erry Yulia Siahaan

Bunyi petasan berulangkali membentur udara, terbawa angin sampai ke rumah. Dari kiri, kanan, depan, belakang. Bergantian.

Lia tidak keluar rumah. Dia cukup memutar ingatan mengenai pemandangan yang dilihatnya tahun lalu atau sebelumnya, tentang percikan benda yang meletus-letus itu dari kejauhan. Kadang, dia melihatnya dari luar pintu di lantai satu. Kala lain, dari loteng.

Sambil mendengarkan lagu-lagu rohani di kanal YouTube, Lia sibuk mengetikkan ucapan “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah” kepada teman-teman yang merayakan. Utamanya, melalui WhatsApp (WA).

Iseng, Lia mampir di status WA adik perempuan bungsunya, Sertian.

“Waduh ada bunyi petasan , tiba-tiba meledak, ributlah doggyku mengonggong…” Begitu tulis Sertian.

Lia bisa membayangkan, bagaimana heboh dan riuhnya suasana rumah Sertian hingga dia memunculkan status seperti itu. Anjing piaraannya masih ada sekitar 20-an ekor. Sebagian di lantai dua, sebagian lagi di bawah. Jika ada tamu atau suara yang asing, mereka langsung menanggapi dengan gonggongan. Apalagi jika datangnya tiba-tiba dan keras pula.

Terkenang

Lia jadi terkenang aroma lebaran masa kecilnya. Memori muncul bersaingan dengan bunyi petasan dan takbir di luar rumahnya.

Dulu, malam-malam seperti ini, Lia dan teman-teman perempuan biasanya berkumpul di luar rumah, ngobrol, gembira, sambil sesekali meletupkan petasan atau menonton yang lebih tua meledakkan mercon bumbung, petasan yang pakai bambu berlubang, seperti meriam. Lia dan teman-teman ngeriung, membicarakan pakaian yang akan mereka pakai besoknya, pas hari-H Idul Fitri, serta mau melakukan apa dan bagaimana bersama keluarga.

Lia biasanya mendengarkan baik-baik, kadang nimbrung percakapan. Disimaknya, bahwa ada yang sehabis bersalam-salaman bakal pergi ke Kuningan, Bandung, atau kota lain, untuk bertemu nenek-kakek dan kerabat mereka. Rata-rata, pagi hari mereka akan bersalam-salaman dulu di perumahan, barulah berangkat ke luar rumah atau ke luar kota.

Lia dan teman-teman juga membicarakan rencana besok akan berkumpul di mana sebelum berkeliling dari rumah ke rumah.

Pada hari pertama lebaran, biasanya pagi-pagi ketika sholat Ied selesai, Lia dan anak-anak kecil yang lain berkumpul di tempat yang disepakati. Mereka sudah mandi, wangi, keluar rumah dengan baju lebaran masing-masing. Setiap ada teman yang baru muncul, yang sudah menunggu memperhatikan apa yang menarik dari pakaian yang dikenakan oleh anak itu, juga sepatunya, kemudian memberikan komentar dan tertawa cekikian.

Beberapa kali, setiap lebaran, Lia mendapatkan pakaian baru buatan kakaknya yang bisa menjahit. Bahannya biasa saja. Tapi, dengan kemahiran menjahit serta kecerdasan memilih dan menggunakan renda atau bisban, juga pemilihan warna yang tepat dan serasi, baju itu bisa menjadi begitu cantik, tak kalah bagus dari busana teman-temannya. Untuk Lia, perhatian dari kakaknya hingga membuatkannya baju baru, sudah membuatnya senang. Bahwa baju itu indah, itu tambahan.

Setelah anggota komplit, Lia dan teman-teman segera bergerak, berbondong-bondong dari rumah ke rumah di kompleks. Rata-rata mereka cuma datang bersalaman. Di satu dua rumah, mereka makan ketupat dan rendang, atau kue-kue kering dan kacang.

Beberapa ibu atau bapak ada yang memberikan uang kepada setiap anak yang datang ke rumahnya. Misalnya, di rumah Pak Haji yang terkenal ramah dan anak-anaknya teman bermain Lia. Tidak besar, tapi cukup membuat senang Lia dan teman-teman. Setelah itu, biasanya mereka berkumpul lagi untuk menjumlahkan uang masing-masing dan saling membandingkan, barulah bubar.

Seingat Lia, tidak ada kiriman makanan ke rumah-rumah seperti yang terjadi belakangan ini. Makanan dinikmati saat silaturahmi.

Orangtua Lia dan tetangga yang beragama nonmuslim ikut berkeliling, tidak lama setelah anak-anak pada keluar rumah. Jadi, adakalanya Lia bertemu dengan bapak-ibunya yang sedang keluar dari satu rumah dan masuk ke rumah lain.

Di perumahan itu ada sekitar 60 rumah. Kecil-kecil dan saling berhimpitan. Mereka berbaris dalam empat barisan panjang. Di paling luar kiri, barisan itu terdiri dari 18 rumah, memanjang tidak terpotong, lurus dari pangkal batas kompleks hingga ujung yang bertembok melintang. Rumah-rumah itu menghadap ke barat.

Pada barisan paling kanan, menghadap ke timur, ada enam rumah, berjejer mulai dari pangkal batas kompleks. Pada kavling selebihnya, berturut-turut ada sekolah Taman Kanak-Kanak Purwajaya, tempat Lia, adik-adik, dan teman-teman sepermainannya bersekolah. Disusul lahan kosong di pinggir kali kecil, yang beberapa tahun kemudian menjadi lapangan dan masjid. Lapangan itu merupakan area serbaguna untuk berbagai acara. Dari peringatan tujuhbelas agustusan, aneka pertandingan, dan sebagainya.

Jadi, rumah di kiri berhadapan dengan yang di kanan. Sedangkan dua baris di tengah, masing-masing terdiri dari 18 rumah, tiap deret saling membelakangi. Setiap enam rumah terpotong oleh dua jalan melintang, sehingga membentuk semacam tiga blok. Tiap blok terdiri dari duabelas rumah, di mana enam rumah menghadap ke barisan lurus yang di kiri, enam lainnya menghadap ke barisan lurus di kanan atau sekolah, lapangan, dan masjid. Jadi, saling bertolak-belakang.

Pada tradisi berkeliling saat lebaran, semua rumah dijalani oleh umat nonmuslim, termasuk orangtua Lia.

Kunjungan balasan akan dilakukan oleh warga muslim pada saat Natal. Giliran mereka yang berkunjung ke rumah orangtua Lia dan tetangga yang merayakan Natal. Beberapa tetangga bisa berjam-jam ngobrol dalam suasana gembira.

Seiring berjalannya waktu, kebiasaan itu berkurang. Sebagian orangtua yang segenerasi ayah-ibu Lia sudah meninggal. Ada yang sudah berpindah rumah dan entah bagaimana kabarnya. Rumah mereka dijual dan pemilik baru kurang terbiasa mengikuti tradisi itu. Sekarang ini, yang tinggal di kompleks itu adalah anak-anak dan/atau cucu-cucu dari generasi ayah-ibu Lia, serta pendatang baru.

Kebiasaan bersilaturahmi dari rumah ke rumah, nyaris hilang. Kini, penghuni perumahan itu biasanya bersalamam pada saat bertemu di sekitar tempat sholat Ied. Bersalaman dengan berkeliling kompleks nyaris tidak terlihat lagi. Kehangatan silaturahmi antartetangga ada pula yang dinyatakan dengan berkiriman makanan pada malam takbiran, meskipun tidak semua. Rumah masa kecil Lia masih mendapatkan kiriman makanan sampai sekarang.

Di Perumahan Besar

Sementara Lia sendiri kini sudah pindah rumah. Lia dan keluarga tinggal di perumahan yang lumayan besar. Sudah hampir 20 tahun Lia tinggal di residensi itu di mana tradisi Lebaran masa kecilnya tidak dijumpainya sejak Lia bermukim di sana.  Silaturahmi dari rumah ke rumah praktis tidak terlihat sejak Lia tinggal di sana.

Rumah-rumah relatif lebih besar daripada rumah masa kecil Lia. Tiap rumah ada pagarnya. Berbeda dengan rumah masa kecil Lia, yang rata-rata tidak berpagar.

Pada hari-H, yang bersholat Ied cukup banyak. Masjid besar di dekat gerbang kompleks tidak muat menampung umat, yang tidak hanya warga kompleks tetapi juga penduduk kampung sekitar. Sehingga, masjid tidak bisa menampung semuanya. Banyak yang menjalankan ibadah di halaman masjid atau di jalan masuk kompleks.

Usai sholat, mereka bersalaman. Setelah itu, mereka kembali ke rumah masing-masing untuk berkumpul dengan keluarga dan/atau melakukan agenda di luar rumah sesuai dengan apa yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.

Lia sendiri biasanya bersama keluarga bersilaturahmi ke rumah sepupu dari suaminya yang seorang hajjah di Bogor. Mereka berkumpul dengan saudara yang lain, baik dari keluarga suami yang mayoritas Kristen maupun dari keluarga sepupu sebagai tuan rumah yang mayoritas muslim. Tahun lalu, Lia dan keluarga tidak berlebaran ke sana. Lia dan anak-anak mendampingi suami Lia yang sakit serius.

Sedangkan di kompleks, Lia dan para tetangga biasanya berkumpul bersama pada acara halal bihalal beberapa waktu sesudah lebaran. Ini tradisi setiap tahun (kecuali saat pandemi Covid).

Begitulah, tradisi yang berbeda ini membentuk memori yang baru buat Lia dan anak-anaknya. Memori Lebaran pada masa kecil anak-anak Lia tersebut akan terbawa sampai tahun-tahun ke depan dalam kehidupan mereka, yang mungkin pula suatu saat ketika muncul sebagai kenangan akan bertemu dengan fakta yang berbeda.

Zaman berubah dan memiliki warnanya sendiri.

***

Tinggalkan Balasan