Motivasi Menulis Tumbuh Dari Kebiasaan Membaca Majalah di Rumah Tetangga

Literasi68 Dilihat
Membaca dan menulis. Sumber; Pexels.com
Latar belakang keluarga kita tak menjadi masalah untuk menjadi seorang penulis

Terlahir dari keluarga yang minim pendidikan, tidak serta – merta menjadi alasan bagi saya untuk berhenti bermimpi. Apalagi bermimpi tentang masa depan saya.

Profesi penulis tak pernah terbayangkan dalam kehidupan saya. Karena sedari kecil, keluarga tak pernah mengedukasi atau mengarahkan saya untuk membaca dan menulis. Keseharian saya hanya berada di antara padang sabana untuk menggembalakan hewan peliharaan orangtua.

Tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga yang tidak sehat secara ekonomi, menyebabkan kekacauan (chaos)  psikologis dalam kehidupan saya. Salah satu masalah yang saya alami adalah mental inferior.

Mental inferior dalam segala aspek kehidupan. Seiring dengan mesin kordoba waktu, saya memberontak. Meminjam istilah Filsuf Albert Camus, “Aku memberontak, karena aku ada.”

Saya memberontak, karena saya tidak mau masa depan  hanya berada di kampung pedalaman Haumeni. So, saya memberanikan diri untuk meninggalkan rumah. Lalu menginap di rumah tetangga. Tujuannya adalah saya bisa membaca majalah anak-anak dan buku-buku yang lain dari tetangga.

Membaca buku majalah dari tetangga adalah kado terindah dalam kehidupan saya. Karena saya bebas berakselerasi dengan dunia imajinasi yang dikemas dalam diksi-diksi kerinduan sang penulis.

 

Membaca buku apa saja. Yang terpenting rasa dahaga dalam diri saya terobati. Kebiasaan membaca buku dari rumah tetangga, memantik adrenalin saya untuk terus bermimpi menjadi penulis.

Cita-cita menjadi penulis tumbuh dari kebiasaan membaca buku. Di mana, saya tidak mau hanya melahap apa yang ditulis oleh orang lain. Tapi, minimal suatu saat orang lain juga bisa membaca karya-karya saya.

Pencarian akan jati diri untuk menjadi seorang penulis semakin kuat dalam diri saya. Namun, tantangan untuk menjadi seorang penulis juga sulit. Karena fasilitas bahan bacaan yang tidak memadai di rumah. Maklum kampung saya berada di pelosok perbatasan RI – Timor Leste. Jadi, akses untuk mendapatkan bahan bacaan sangat sulit.

 

Hemat saya, kebiasaan membaca buku dari rumah tetangga, menjadi kunci awal bagi saya untuk memilih merantau. Tujuan saya merantau adalah banyak waktu untuk belajar menulis dan membaca dari orang lain yang berbeda latar belakang apapun. Karena dengan ikut mencicipi kehidupan di tengah budaya sesama akan membawa pola pikir baru dalam hidupku.

 

So, tahun 2014 saya merantau ke Malang, Jawa Timur. Selama 5 tahun hidup di dalam Biara Katolik. Saya banyak membaca buku dan belajar menulis jurnal harian (Diary). Kebiasaan membaca buku dan menulis semakin menguatkan tekad saya untuk menjadi seorang penulis.

Mengulik aksara dalam kemasan tema, bingkai dan diksi membawa kesenagan bagi saya. Ya, saya merasakan itu sebagai panggilan jiwa. Jiwa yang selalu haus akan membaca dan menulis. Karena saya tidak mau mengalami nasib serupa orangtua di kampung halaman yang tidak pernah memiliki banyak waktu untuk membaca dan menulis. Ya, karena tiadanya fasilitas bahan bacaan yang memadai dari Pemerintah setempat dalam memberdayakan Sumber Daya Manusia di daerah Perbatasan. Khususnya budaya literasi membaca dan menulis.

 

Apapun kondisi kita, membaca dan menulis adalah tanggung jawab bersama dalam memajukan literasi Indonesia.

Di akhir diksi-diksi kerinduan ini, saya hanya mau mengucapkan terima kasih kepada Pak Thamrin yang telah memberikan ruang bagi saya untuk terus belajar membaca dan menulis di Platform ini.

 

Salam literasi

 

Tinggalkan Balasan

2 komentar