Karena Lupa Saya Menulis

Gaya Hidup51 Dilihat
Dokumen pribadi

Segala sesuatu yang kita lihat, sentuh, rasakan, cium dan dengar dalam setiap hari itu akan berlalu tanpa kita sadari. Menyadari akan kodrat kita sebagai makhluk pelupa, saya selalu memilih untuk menulis sebagai tabungan cerita untuk hari tua.

 

Tujuan saya menulis hanya satu yakni; saya tidak mau sejarah dan dunia melupakan jejak langkah kakiku.

 

Karena apa yang saat ini saya rasakan belum tentu esok dan lusa saya akan kembali merasakan hal yang serupa.

 

Menulis bukan hanya sebatas tarian jari-jemari di atas keyboard Laptop sobatku. Karena dalam menulis, kita akan melibatkan semua kelima panca indera kita.

 

Pengalaman inderawi ini mengingatkan saya akan perkataan filsuf kontroversial yang dikaitkan dengan NAZI yakni; Martin Heidegger bahwa “ketika badai salju turun membasahi bumi Eropa, di situlah saat yang tepat untuk berfilsafat.”

 

Menulis Itu Bagian Dari Filsafat

Ketika saya dan Anda memasuki ranah patah hati, gegara si doi (pacar) memutuskan untuk “Ghosting” atau “pemberi harapan palsu (php). Di situlah saat yang tepat bagi saya dan Anda untuk bertanya.

 

Pertanyaan pertama yang saya ajukan kepada diri saya sendiri adalah apakah saya sudah memaknai patah hati sebagai bagian dari filsafat?

 

Oh tentu saja. Karena saya tidak akan membiarkan sayapku ikut patah bersama sastrawan dan filsuf besar Timur Tengah, khususnya dari Lebanon yakni; Kahlil Gibran yang merasakan patah hati terberat dalam hidupnya. Gegara wanita yang ia cintai, baik dari Prancis, Lebanon maupun Mesir memilih untuk menikahi Pendeta dengan alasan perdamain.

 

Sakit, tentu saja sakit sobatku. Akan tetapi, melalui pengalaman demikian, saya belajar dari kahlil Gibran untuk menulis.

 

Karena menulis adalah sarana terbaik untuk meluapkan perasaan-perasaan sesat di dalam dadaku. Begitu pun dengan Anda.

 

Menulis Sebagai Sarana “Story Telling

Sobatku, pernahkah Anda memiliki segudang ide di dalam benak pikiranmu tapi anda merasa tak pandai untuk mengungkapkannya?

 

Jika pernah, saya pun pernah berada dalam fase tersebut. Lantas, apa yang saya lakukan? Saya masuk ke dalam diri saya dan bercerita bebas dalam catatan harianku.

 

Gila! Itulah kata sifat yang Anda berikan kepadaku. Tidak masalah sobatku. Karena dari gila saya berani untuk menulis bebas.

 

Menulis sebagai sarana “story telling” sudah menjadi hal biasa dalam kehidupan saat ini. Apalagi kehadiran media sosial yang masif merasuki psikologi setiap orang.

 

Oh iya. Saya lupa sobatku. Anda pasti penasaran untuk mengetahui cara dan teknik untuk story telling di media sosial kan?

 

Jangan khawatir! Karena saya selalu ada untukmu. Ah, lebay! Baiklah, sobatku. Cara untuk melakukan story telling di abad 21 ini adalah anda bisa membuat status di akun media sosialmu.

Kelihatannya sederhana tapi masih menjadi misteri yang serba sulit bagi mereka yang memiliki kepribadian “introvert” atau rendah diri seperti saya.

 

Menulis Sebagai Terapi Bagi Karakter Introvert

Sebagai pengidap karakter introvert, saya selalu memilih untuk bercerita di catatan harianku. Bukan hanya itu saja, di laman akun media sosialku, ada bejibun hal positif yang saya bagiakn demi pengembangan diri menuju yang lebih baik.

 

Soft skill ini sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Jangan sampai, rasa minder menghambat kreativitas kita.

 

Cara lain yang tidak kalah menarik untuk melakukan story telling adalah ngeblog. Dengan kemudahan teknologi saat ini, saya dan Anda bebas berkarya di di dalam blog pribadi kita.

 

Selain itu, saya sarankan untuk gabung bersama komunitas penulis. Karena di dalamnya, kita akan menemukan talentan tersembunyi dari setiap penulis.

 

Merry Riana berkata,” dengan siapa Anda bergaul, Anda akan menjadi seperti mereka.” Saya mengamini motivasi dari Miss Merry ini.

 

Karena ini kisah nyata dan ketika saya kaitkan dengan pengalaman hidupku, memang benar. Saya seperti sekarang karena saya banyak bergabung bersama grup penulis. Baik yang berada di Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD), Kompasianer Penulis Berbalas (KPB), Penulis Freelance maupun grup Jurnalis. Baik yang berada di daerah saya (Timor – NTT) maupun di kancah nasional.

 

Saya menjalani proses itu dengan bergembira. Karena setiap perjumpaan ada harapan akan sesuatu yang lebih baik dan bersinar di hari esok dan lusa.

 

Sobatku, saya bukan tipikal penulis yang sok tahu dan menggurui ya! Karena apa yang saya ungkapkan dalam artikel ini adalah pengalaman hidup saya di tanah rantau. Terutama dalam meningkatkan softskill dan hardskill dalam bidang literasi.

 

Inilah manfaat menulis sebagai sarana story telling dalam versiku. Lalu, bagaimana dengan versimu?

 

Terakhir, sebagai perantau, saya semakin kaya akan pengalaman dalam aspek apa pun. Saya bersyukur bahwasannya setiap perjumpaan dengan rekan atau siapa pun, saya tidak membangun benteng untuk mempertahankan cara lamaku.

 

Karena ketika saya dan Anda mencoba untuk membatasi diri dengan orang yang berbeda dari kita, baik dari segi kepercayaan, ideologi, suku, bahasa dan rasa itu hanya akan mengerdilkan semangat kita menuju fase kehancuran.

 

Lihat saja, banyak orang hebat di republik ini. Tapi, etika dan moralnya tak mencerminkan tingkat intelektualitasnya. Akar dari persoalan ini adalah mereka tidak menulis. Ya, dengan tidak menulis, mereka pun tidak merefleksikan betapa kaya dan uniknya kehidupan di tengah budaya lain.

 

Sobatku, kerena menulis saya tidak lupa setiap peristiwa yang saya lalui dalam pengembaraanku di tanah rantau.

 

Akhirnya, menulis sebagai bagian dari filsafat dan menulis sebagai sarana story telling akan selalu hidup dan membakar semnagtaku untuk berkarya dua ribu tahun lagi.

 

Salam YPTD

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan