Milenial identik dengan sesuatu yang “bombastis, menegangkan, menggebu-gebu dan pada akhirnya tenggelam bak kapal Titanik dalam cerita fantasi.
Fantasi atau visualisasi adalah gaya hidup generasi milenial. Salah satu fantasi yang cenderung diintip milenial adalah “kebaharuan atau novelty.”
Terkait dengan slogan YPTD dalam menyambut tonggak sejarah berdirinya dengan mengusung tema,”Masukan dan Saran Berupaya Meningkatkan Peran YPTD Untuk Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Literasi Indonesia,” saya selaku sebagai penulis milenial ingin memberikan secuil inspirasi sekaligus masukan.
Untuk itu, izinkan saya untuk mengutip salah satu pepatah klasik dari bahasa Latin yang berbunyi,” Verba volant, scipta manen,” yang berarti; “kata-kata hanya melayang/hilang/lenyap/menguap; tetapi tulisan tetap tinggal/dekat/abadi.”
Pepatah klasik tersebut memiliki ikatan emosional dengan semangat Pak Haji Thamrin Dahlan selaku pendiri, pemilik “Penerbitan Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan,” di bawah payung “Buku adalah mahkota seorang penulis.”
Buku Sebagai Mahkota Penulis
Slogan ini bukan hanya ungkapan filosofi semata. Melainkan ada semangat, harapan dan cita-cita dari Pak Thamrin Dahlan untuk terus mencerahkan/menggairahkan wajah literasi Indonesia yang layu, loyo, lemas jika saya berkaca dari “PISA: Programme for Internasional Student Assesment,” tahun 2018 yang menempatkan Indonesia di rangking 72 dari 78 negara (Sumber: Kompas.com).
Berangkat dari keprihatinan tersebut, saya pun mulai tancap gas untuk ikut menyumbangkan ide dari sudut pandang milenial. Akan tetapi, sebelum bergabung dengan YPTD, saya mengalami semacam kekacauan pikiran yakni; antara gengsi dan loyalitas.
Menulis Karena Gengsi
Gengsi adalah penyebab utama semua orang untuk memulai satu langkah menuju tangga yang keseribu. Setelah melalui perenungan yang lama dan mendalam akan kehadiran saya (sense of being) dalam pusaran/lingkaran literasi, saya pun menemukan percikan inspirasi bahwasannya kehadiran saya bukan karena gengsi. Melainkan kecintaan saya akan dunia kepenulisan.
“Saya menulis karena saya ada.” Itulah filosofi awal saya bergabung dengan penerbitan YPTD. Akan tetapi, muncul lagi keresahan dalam diriku yakni; “jembatan atau perantara.”
Perantara adalah sosok yang membawa saya untuk mengenali YPTD. Dan sosok yang berjasa dalam kehadiran saya di YPTD adalah Kompasianer Susy Harywan.
Ya, saya biasa memanggilnya dengan sebutan bung Susy. Mengingat kami memiliki “background” atau latar belakang pendidikan Imam Katolik di Seminari. Jadi, antar saya dan dia sudah ada satu frekuensi “anekdot” atau kisah jenaka/lucu nan inspiratif dalam setiap sapaan.
“Bung Susy, saya ingin menerbitkan kumpulan artikel pilihan saya dari Kompasiana. Tapi, saya masih bingung untuk memilih penerbitan yang mana!” Kataku.
“Fred, kamu kirim saja tulisan kamu di penerbitan Kompasianer Thamrin Dahlan.” Balasnya.
“Nama penerbitannya apa ya?
“Kamu cari saja di mbak google dengan mengetikkan “YPTD.”
“Baiklah bung.”
Saya pun berselancar bersama mbak google dan mataku ditautkan dengan penerbitan YPTD. Syukurlah, sembari saya mulai mengibas bara api/semangat dalam diriku. Karena saya sudah menemukan tambatan hati.
Akhirnya, setelah melalui proses yang tak lama, buku saya “Jejak Aksara” hadir menyapa pembaca tanah air. Di situlah saya memahami arti “Buku adalah mahkota seorang penulis.”
Loyalitas
Di awal “lead” atau paragraf pembuka tulisan ini, saya sudah mengatakan bahwasannya milenial identik dengan sesuatu yang bombastis, menegangkan, menggebu-gebu dan pada akhirnya hanyut bersama kisah romantis Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet dalam kisah tenggelamnya kapal Titanik.
Analogi atau pendekatan ini hanyalah jembatan untuk menuju mentalitas kesetiaan (loyalitas). Menulis adalah panggilan jiwa. Namun, apalah daya, jika sebagai jiwa muda yang memiliki segudang impian dan harapan akan masa depan yang belum pasti, tentunya kesetiaanku diuji dengan bejibun hal.
Bukti empirik bisa ditelusuri dengan partisipasi saya di rumah YPTD ini. Di mana saya sudah bergabung di platform online ini sejak bulan Januari 2021. Tapi, kuantitas tulisanku masih sangat sedikit. Apalagi berbicara soal “kualitas.”
Namun, dari pengalaman jatuh dan bangun untuk membangun citra diri (personal branding) bersama YPTD, saya semakin tahu dan sadar untuk terus meningkatkan kualitas dan kuantitas tulisan saja.
Harapan dan Masukan
Masukan
Tampilan wajah YPTD sudah ramah terhadap mesin pencari google. Untuk itu, saya mengharapkan Pak Thamrin Dahlan dan tim untuk membuatkan fanpage (halaman facebook) yang bisa membagikan artikel penulis setiap di posting seperti halaman facebook Kompasiana.
Selain itu, tolong di buatkan akun instagram dan Twitter. Tujuan kehadiran akun media sosial YPTD adalah memudahkan pembaca dalam persahabatan.
Jika berkenan, apakah penggunaan bahasa populer (bahasa keseharian) bisa dimasukan ke dalam artikel? Jika iya, terima kasih. Dan jika tidak, mohon maaf.
Harapan
Sebagai penulis milenial, saya sangat bersyukur bisa berada di sini untuk menajamkan rasa keberadaan (sense of being), rasa empati dan simpati (sense of empaty & simpaty), rasa memiliki (sense of belonging), rasa kemanusiaan (sense of human interest), rasa cinta akan kehidupan (sense of life).
Saya pun bangga dengan YPTD karena selalu berorientasi pada ketiga fungsi Media Massa yakni; YPTD sudah memberikan informasi kepada pembaca, YPTD sebagai sarana pendidikan bagi khalayak dan YPTD selalu mempengaruhi wajah literasi Indoensia. Inilah magnetik rumah produksi YPTD di mata milenial
Terakhir. Saya akan terus berjalan di dalam tembok YPTD hingga ajal menjemputku. Biarkan karya-karyaku tinggal menetap dalam hati setiap orang. Karena hidup itu hanya sementara dan seni abadi (Vita Brevis, Ars Longa).
Selamat menyambut hari bersejarah YPTD yang pertama. Majulah literasi Indonesiaku bersama YPTD.
Penulis adalah generasi kampung Haumeni, Timor Tengah Utara, NTT
Saat ini sedang menempuh pendidikan di Program Studi Broadcasting Universitas Dian Nusantara Jakarta.