Oleh. Hariyanto
Saya mengenal puisi 2.0 ini di pertengahan tahun 2021. Sebelumnya tidak tahu sama sekali. Hanya berbekal ajakan menulis antologi puisi dengan ciri khusus jumlah kata yang minim dan bertemakan : kematian. (mengingat kematian). Seram kedengarannya, tetapi ini kita diajak merenung tentang diri kita sambil mengingatkan bahwa kita akan kembali pada-Nya. Deadline pengumpulan naskah tinggal 3 hari saja, saya pun mencoba menuliskannya.
Alhamdulillah dalam waktu sekitar 2 bulan buku pun terbit dengan judul Di Ujung Jalan dengan sampul hitam pekat……
Sekitar September akhir saya dimasukkan oleh kurator naskah dalam satu grup khusus membahas Puisi 2.0 bersama pengagasnya Endang Kasupardi. Di dalam grup kita dipacu untuk bisa berkarya setiap hari. Targetnya 3 bulan harus bisa menghasilkan sejumlah karya puisi 2.0 dan bisa diterbitkan sebagai buku solo di tahun 2022. Secara tidak langsung anggota grup yang kurang dari 20 peserta terpacu menulisnya. Saya sendiri dengan jatuh bangun menulis dan menulis. ( terakhir Januari 2022 ini saya sudah mengumpulkan 200 lebih puisi 2.0 dan saya siapkan untuk calon buku solo saya).
Puisi 2.0 yang mensyaratkan tidak lebih dari 20 kata ini begitu ringkas. Bentuknya sederhana karena hanya melihat satu obyek untuk satu judul puisi…..motto PUISI 2.0 adalah
- SATU PUISI
- SATU OBYEK
- SATU SUDUT PANDANG
Puisi 2.0 ini digagas oleh Dr. Endang Kasupardi saat menyelesaikan studi S3 di UPI 2010.
Puisi ini lahir sebagai antisipasi jawaban atas perkembangan zaman yang serba cepat dan digital dengan tingkat kesibukan orang yang luar biasa. Dengan kondisi ini ke depan tidak ada lagi waktu untuk menulis atau membaca dan menikmati puisi yang panjang. Bagamana caranya dalam waktu terbatas orang masih sempat menikmati puisi, maka solusinya harus dibuat puisi yang hemat kata tapi bermakna. Atas dasar itulah lahir puisi yang hanya maksimal 20 kata tapi bermakna.
Isi puisi adalah tentang obyek benda nyata, yang ditulis dengan fokus. Penulisan fokus ini membuat seseorang menjadi lebih “teliti” agar tidak salah menjadi menggambarkan dirinya sendiri. Boleh menggambarkan sikapnya terhadap benda tersebut, namun biasanya ada di akhir baitnya. Itu pun dapat dibenarkan karena menyangkut aspek “rasa” Dengan perbandingan 60 : 40 rasio penggambaran obyek dengan logika dan ilmiah sebanyak 60 % dan 40 % aspek rasa.
Fokus pada obyek tertentu tentu membuat puisi seperti kelihatan “sederhana” baik dalam kata dan bahasanya, dan juga isinya. Namun puisi sederhana ini yang diibaratkan sebuah tesis ini adalah abstraknya; harus tetap mampu menggambarkan obyek atau peristiwa menyeluruh. Sehingga kata dan bahasa sederhana harus diberi kelebihan dengan memunculkan majas, atau diksi dan rima. Tidak lupa pada pemenggalan kalimat secara tepat. Dengan cara itulah puisi kecil dan sederhana ini menjadi lebih bernilai, berbobot dan “berjiwa.”
Malam ini saya ingin menunjukkan puisi saya yang sudah dimuat di buku Antologi di Ujung Jalan. Harapannya agar dapat dijadikan contoh pembaca agar bisa menulis lebih baik lagi. Karena saya merasa puisi itu menjadi lebih enak dinikmati antara lain jika banyak diksi serta majas di dalamnya. Dipadukan dengan irama maupun birama ( kayak lagu saja hehehe). Dan puisi ini masih terasa minim akan hal itu.
Ada 6 puisi yang saya tulis dalam buku antologi Puisi 2.0 Di UJUNG JALAN.
Semua saya tulis berdasarkan fakta, dan inilah kisahnya. Selamat menikmati.
- KELABU KAMPUNGKU
Oleh : Hariyanto
Sejak pagi awan kelabu di kampungku
Menyusup di remang kabut
Dinginnya melebihi hari kemarin
Bunyi kentong bertalu
Berita kematian 5 kali hari ini
Blitar, 29 September 2021
Catatan : Puisi ini menggambarkan situasi Pandemi Covid di kampung saya waktu itu (September 2021) yang sedang pada puncaknya. Dalam satu hari saya dapati 3 orang meninggal dunia. Sungguh peristiwa langka yang belum pernah saya alami sebelumnya.
- PAMIT
Oleh Hariyanto
Sore kemarin kita masih bercanda
Di sela azan mahrib
Menanti jamaah lainnya
Sore ini mengapa engkau pamit
Bersama Corona
merenggut segalanya.
Blitar, 29 September 2021
Catatan : Puisi ini menggambarkan sahabat saya satu jamaah di masjid Kampung. Hampir setiap hari kami bertemu. Setidaknya waktu magrib sehari sebelumnya beliau masih berjalan bersama dan sempat berdialog saat azan terdenga di sepanjang jalan menuju masjid. Esoknya beliau sudah diangkut ambulan untuk opname sebelum akhirnya meninggalkan kami.
- JAMAAH ALAM KUBUR
Oleh : Hariyanto
Aku terkesima
Ketika terdengar suara dzikir
Bergemuruh di sela bambu
Di antara setapak jalan
Alam pemakaman
Aku terkesiap
Ada suaramu disana.
Blitar, 29 September 2021
Catatan : Puisi ini adalah gambaran seiring banyaknya jamaah yasin tahlil di Kampung meninggal dunia. Tentunya mereka bertemu di alama kubur sedang berdzikir pula.
- PANDEMI
Oleh; Hariyanto
Pandemi Covid 19
Menggoyang sendi hidup
Rontokkan pegangan
Kasih sayang
Himpitan hidup
Membelenggu emosi
Engkau pun buta
Mencabut nyawa begitu mudahnya
Blitar, 29 September 2021
- KETIKA LUPA
Oleh; Hariyanto
Deru derap langkah siang hari
Menabur debu sesak hati
Kebut raih harta hari ini
Tangan kokohnya membalik malam
Melubangi kuburnya.
Blitar, 21 September 2021
- SENYUMMU
Oleh : Hariyanto
Senyummu tak pernah kulupa
Seolah menyapa daa papa
Dalam bahagia
Nyanyian bunga seroja
Kidung terakhir
Yang mama masukkan ke jiwa
Blitar, 29 September 2021
Catatan : Puisi ke 6 ini menceritakan kematian isteri tetangga yang sempat bernyayi bersama sbelum akhirnya meninggal dunia. Bukan karena Covid namun meninggal di saat pandemi Covid.
Sekian dan semoga bermanfaat.
SALAM LITERASI
Blitar, 27 Januari 2022
Hariyanto