Ilustrasi Foto by Hensa
Malam itu Bayu Gandana hanya sempat sebentar memejamkan mata. Diantara sadar dan tidak sadar, Bayu mendengar suara-suara aneh yang berasal dari sebelah jendela kamar tidurnya.
Rumah kedai ini memang berbatasan langsung dengan pinggiran hutan yang mereka sebut Leuweung Hideung. Nama yang mengesankan hutan angker penuh dengan misteri dunia hitam dan segala sesuatu yang beraroma mistis hitam.
Suara-suara aneh itu berasal dari hutan tersebut. Bayu masih memperhatikan dengan seksama suara orang kesakitan atau suara teriakan orang minta tolong. Suara itu berganti-ganti lalu juga terdengar suara burung hantu dan lolongan serigala dari hutan itu. Satu suara lagi yang membuat Bayu terkejut adalah auman Si Raja Hutan. Sungguh benar hutan itu memang sangat angker, pikir Bayu.
Seperti diceritakan pemilik kedai ini bahwa Leuweung Hideung selain banyak dihuni binatang buas juga penuh dengan iblis dan mahluk halus. Penduduk desa tidak pernah berani melintasi hutan itu walaupun siang hari.
Hampir setiap bulan selalu saja ada korban. Biasanya korban-korban itu adalah para pendatang di desa itu yang kemudian melanjutkan perjalanan melintasi hutan itu.
Hari sudah hampir Fajar. Entah berapa lama Bayu tertidur ketika dia dikejutkan oleh suara ledakkan kecil yang berasal dari teras di depan rumah. Terdengar ada keributan kecil lalu Bayupun keluar menuju teras depan itu. Bayu melihat sudah ada Pak Tua dan Kakek itu bersama dua orang pembantu lelaki rumah ini.
“Ada orang yang mau berbuat jahat kepada salah satu yang ada di rumah ini!” Kata Kakek itu. Suaranya terdengar bergetar.
“Oh ya Kakek,” kata Bayu sambil menatap heran.
“Panggil namaku Ki Ulon” kata Kakek itu memperkenalkan namanya Ki Ulon.
“Maksud Ki Ulon siapa yang berbuat jahat?” Tanya Pak Tua pemilik kedai.
“Tentu saja orang dari luar rumah ini. Lihat dua buah kelapa utuh ini,” kata Ki Ulon sambil memperlihatkan dua butir kelapa yang masih utuh lalu dengan sekali pukul dua kelapa itu hancur berantakan.
Semua mata terbelalak ketika dari kelapa yang hancur itu keluar cairan merah seperti darah, paku kecil berkarat dan ratusan jarum hitam. Aroma bau busukpun menerpa hidung. Pak Tua dan orang-orang yang ada di situ ketakutan melihat kejadian itu.
Hanya Bayu yang tenang dalam diam. Dia tahu betul yang sedang terjadi. Kemudian Pak Tua menyuruh para pembantunya untuk membersihkan teras itu dari kotoran menjijikan itu.
“Anak muda siapa namamu?” Tanya Ki Ulon. Bayu menoleh ke arah Ki Ulon.
“Saya Bayu Gandana Ki,” jawab Bayu.
Ki Ulon tersenyum penuh arti. Baris gigi kakek tua ini nampak masih rapi padahal usianya ditaksir sudah hampir 80 tahunan. Bayu juga melihat Ki Ulon ini adalah orang yang bijaksana.
Auranya bisa dirasakan oleh batin Bayu bahwa Ki Ulon adalah dari kalangan golongan putih. Bayu juga menduga melihat gerakan tangan Ki Ulon saat memecahkan kedua kelapa itu, nampaknya kakek tua ini berasal dari Cirebon, sebuah daerah kekuasaan Sunan Gunung Jati.
Kejadian waktu Fajar itu mengakibatkan keakraban Bayu dan Ki Ulon semakin dekat. Mereka banyak mengobrol saat sarapan pagi itu.
“Siang ini saya akan melanjutkan perjalanan ke arah Selatan menuju Lebak” kata Ki Ulon.
“Saya sendiri menuju Timur Laut ke arah Desa Dalungserang,” kata Bayu.
“Saya dua pekan lalu ada di sana. Hati-hati nak sekarang ini sedang melanda wabah penyakit yang menular,” kata Ki Ulon.
“Oh benarkah Ki? Apakah sudah banyak korban?” Tanya Bayu merasa cemas.
“Iya ada orang-orang di desa yang meninggal akibat penyakit aneh itu. Tadinya hanya hewan-hewan yang mati,” kata ki Ulon.
“Apakah saya sebaiknya melintas di Leuweung Hideung ini Ki?” Tanya Bayu ingin tahu bagaimana pendapat Ki Ulon tentang Leuweung Hideung. Mendapat pertanyaan ini Ki Ulon tertawa terbahak-bahak.
“Nak Bayu pasti sudah tahu apa yang harus dilakukan di Hutan itu. Tak usahlah kau tanyakan kepadaku. Ambil jalan arah Utara dulu baru ke arah Timur Laut,” kata Ki Ulon.
Bayu benar-benar tercengang dengan jawaban Kakek berjanggut putih ini. Padahal Bayu benar-benar hanya ingin bertanya.
“Arah Utara berarti melintasi Leuweung Hideung?” Tanya Bayu.
“Benar anak muda. Kau harus melintasi Hutan itu seperti dua Penunggang Kuda yang kemarin itu!” kembali kata Ki Ulon sambil terkekeh.
“Setelah Hutan itu nanti akan ada desa yang masuk daerah Cilegon baru ambil arah Timur Laut sampai nanti tembus Jalan Pos,” kembali suara Ki Ulon menjelaskan arah yang paling dekat menuju desa Dalungserang. Jalan Pos adalah jalan Daendels yang menghubungkan Anyer – Panarukan.
“Anak muda berhati-hatilah di Utara khususnya desa-desa di Cilegon banyak sekali Jawara dengan aliran-aliran ilmu hitam. Mereka biasanya ikut orang-orang Belanda itu,” suara Ki Ulon kembali mengingatkan.
Bayu sebagai orang muda yang baru pertama kali turun dari Padepokan sangat berterima kasih atas wejangan Ki Ulon ini. Sebenarnya Bayu belum pernah melalui jalan arah Utara.
Biasanya pemuda ini mengambil jalan langsung arah Timur Laut sedikit ke Timur dan jalan ini adalah jalan menyeberang sebuah sungai. Setelah melewati sungai ini sudah ada hamparan sawah. Namun rute ini menambah jarak cukup jauh karena harus menuju ke arah Utara juga.
Bayu tidak tahu di Utara sudah menunggu wabah yang mematikan. Bahkan wabah ini sudah menjalar ke arah Timur menuju Dalungserang, desa dimana Bayu dilahirkan.
BERSAMBUNG
@hensa.
Ditunggu sambungan ceritanya