Kala itu senyumnya mulai mengembang. Muncul ide untuk torehkan karya bersama. Bersama siapa? Bukan bersama Bapak Ibu guru yang bergelimang uang. Namun, bersama siswa yang berada di tengah keterbatasan. Keterbatasan apa? Berbagai keterbatasan melanda mereka. Mulai dari finansial hingga dorongan mental.
Teringat bocah-bocah manis tersenyum lebar saat mereka mengumpulan karya. Karya sederhana buah kerja ikhlas dan tuntas. Tak ada karya asal-asalan. Semua buah karwa harus telah melalui swa-sunting. Setiap siswa harus punya kemauan dan semangat untuk mengedit hasil karya sendiri. Setelah edit karya sendiri lanjutkan tahap kedua. Edit karya antarteman. Semua siswa harus merasakan enaknya jadi editor. Bekal pelajaran Bahasa Indonesia materi menyunting bisa diterapkan. Barulah edit tahap ketiga dilakukan salah satu siswa yang telah dibimbing guru mewakili sekolah mengikuti lomba menulis cerpen di tingkat kabupaten.
Adakah hasilnya? Kini, dua buah naskah kumpulan cerpen siap diluncurkan. Bu Guru mulai berpikir bagaimana cara cari sponsor untuk penerbitan. Itung punya itung, saat menerbitkan buku di sebuah penerbit ada biaya cetak sekitar satu jutaan Tepatnya satu juta lima pulu ribu rupiah. Dari mana uang segitu didapatkan? Saat disampaikan kepada para para siswa mereka sontak menjawab.
“Bu Guru ….” Maksud mereka yang membayar biaya cetak bu guru saja.
“Dasar anak-anak maunya enaknya saja,” sungut Bu Guru dalam sebuah senyuman. Mereka enggan untuk mengiur sebagai pembayaran biaya cetak. Meski demikian, satu dua siswa tak berkebaratan membayar iuran.
Bu Guru mulai memutar otak. Bagaimana caranya? Nah, ini masalahnya. Apakah akan merogoh kantong bu guru sendiri ataukah cari sponsor pihak ketiga. Semoga ada solusi yang tak memberatkan semua.