Pelukis Jeihan Sukmantoro sudah meninggal 29 November 2019 . Tetapi para pecinta seni tetap akan mengenangnya sebagai salah satu maestro lukis Indonesia. Lukisannya yang terkenal dengan mata hitam dan goresan liris simpel namun ternyata oleh kolekter dan pengamat seni rupa lukisannya mendapatkan tempat khusus dalam khasanah lukis Indonesia juga dunia.
Jeihan yang kelahiran Candi ,Ampel, Boyolali 26 September 1938 tetapi belajar dan akhirnya tinggal di Bandung. Ia sempat kuliah di FSRD ITB tetapi tidak pernah diselesaikannya karena sifatnya yang cenderung pemberontak. dikenal dengan pelukis dengan latar belakang mempunyai kelainan psikis. Ia pernah mengalami yang namanya Near Death Eksperience. Dengan begitu mungkin cocok dengan sifat seniman yang bebas dan tidak mau diatur.
Pergaulannya dengan alam khayalan dan kekhususan dirinya mengantarnya menjadi seorang seniman dengan ciri khas yang jarang dimiliki orang lain. Ia sering menggambarkan lukisan dengan rasa kesunyian. Liris dan kadang menyayat lewat goresan kanvasnya. Orang yang melihat lukisannya cenderung menilai sebagai pelukis figuratif. Pengamat, kurator dan dosen ISI Mikke Susanto mengistilahkan “mata hitamnya sering dinisbatkan sebagai simbol ikonik dengan beragam arti. Bahkan bagi Jeihan ia mendapatkan sebuah visi bahwa mata hitamnya bagi dia adalah sebuah realitas masa depan.” (Wikipedia)
Saya di tahun 1998 pernah berkata pada diri sendiri untuk sering menulis tentang seni rupa dan ruang lingkupnya, kebetulan sebagai lulusan seni rupa yang “lumayan jarang melukis.” Tetapi lebih sibuk menulis merasa berhutang ilmu. Tidak seperti teman- teman yang rutin melukis dan sering pameran saya termasuk jarang. Meskipun demikian karya sketsa saya sejak lulus kuliah sebetulnya lumayan banyak, namun baru sebatas di koleksi secara pribadi.
Ada beberapa lukisan terjual dan tersebar di rumah, di tempat saudara, dan kolektor. Sayangnya saya memang bukan pencatat yang rapih terhadap karya sketsa dan lukis. Untungnya sekarang mulai giat melukis lagi, namun masih belum menemukan ciri khas seni lukis. Meskipun dalam bidang sketsa saya lebih condong membuat semacam ilustrasi khayalan, dekat dengan surealisme.
Ketika saya membaca buku dari Jeihan Sukmantoro (kebetulan bukunya masih tertumpuk di kardus, setelah pindahan rumah). Yang saya ingat Jeihan Sukmantoro adalah pelukis antik. Untuk memahami gaya lukisannya harus juga mencoba mengulik latar belakang sejarah masa lalunya.
Warna lukisannya kebanyakan sederhana. Wajah – wajah pucat dengan mata menghitam. Menaksir lukisannya seperti menaksir alam yang terbentang, jauh di kedalaman. Ketika mata terpejam, ada banyak pendaran warna, menembus mata. Visualisasi bayangan itu memunculkan banyak persepsi. Bagi saya lukisan Jeihan Sukmantoro seperti puisi, ia bisa dibahasakan sesuai hati nurani penikmatnya. Dari ketidakjelasan makna terkandung misteri yang amat dalam yang harus diselami dengan mata visual biasa, namun harus menyelami dengan memejamkan mata.
Lukisan seperti halnya S. Sudjojono mengatakan sebagai jiwa ketok (representasi dari jiwa pelukisnya), karya – karya lukisan seperti menyiratkan bahasa sendiri yang hanya bisa diselami oleh penikmat dengan pikiran wening bening, tidak tertipu oleh mata telanjang yang kadang salah persepsi.
Ini artikel pertama dari serentetan tulisan berikutnya yang berbicara tentang seni budaya, khususnya seni rupa. Masih bagian dari semangat saya untuk membuktikan, Karena menulis maka aku ada. Pembaca boleh setuju dan membantah semua opini saya tentang Jeihan.
Ada subyektifitas tiap orang dalam mengamati sebuah lukisan, maka mungkin saja bahasa saya saat ini saat mengamati lukisan lebih terbawa irama emosi, tetapi inilah sebagai penulis saya berusaha merayu untuk membuka dan browsing lukisan – lukisan Jeihan. Silahkan barangkali ada pembaca juga sangat menguasai bidang seni budaya, saya senang ada teman yang mau berbagi pengetahuan tentang seni budaya. Rangkaian tulisan yang membahas dunia seni termasuk nanti juga sekilas tentang lukisan saya baik yang di kanvas, kertas maupun di media digital.
Menulis, melukis, membuat sketsa apapun adalah kegiatan yang butuh kreatifitas dan imajinasi. Semuanya butuh konsentrasi dan dedikasi. Menulis butuh konsistensi untuk menjadi penulis yang diperhitungkan di jagad penulisan, demikian juga pelukis butuh eksistensi, luasnya wawasan untuk bisa menampilkan karya yang diminati penikmat dan kolektor karya seni.
Semakin sering melukis maka lukisannya akan semakin memiliki bobot khusus dan kedalaman, sama halnya dengan menulis, semakin sering menulis dan jam terbang semakin tinggi otomotatis juga semakin menampakkan kedalaman, Bukan sekadar menulis biasa tetapi menulis yang memberi pencerahan bagi pembacanya.