Masyarakat Indonesia terutama Jawa pasti mengenal sosok Nyai Roro Kidul. Perempuan cantik mitos dan legenda Jawa yang sangat erat hubungannya dengan Kerajaan Mataram. Dari Raja pertama Mataram sampai Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX ada keterikatan dan dipercaya bahwa Nyai adalah istri “tidak nampak” dari raja – raja Mataram.
Nyai Roro adalah penguasa Kerajaan Pantai Selatan. Laut luas di selatan Jawa. Ombaknya yang besar terutama di seputar pantai baik di Pelabuhan Ratu maupun Pantai Parang Tritis. Bajunya identik dengan warna hijau seperti yang dilukiskan Basuki Abdullah dan menjadi koleksi Istana.
Saya sempat melihat dan cukup lama memandangi lukisan Nyai Roro Kidul, sosok ratu yang selalu menemani orang Jawa saat bicara tentang dunia lain, dunia yang tidak nampak namun dipercaya ada. Di Yogyakarta sendiri dulu ketika masih tinggal dan belajar banyak cerita tentang Nyai Roro Kidul.
Ada keterikatan mistis antara pantai Selatan Jawa Keraton dan Gunung Merapi. Ketiga tempat itu selalu berhubungan saat muncul fenomena alam seperti gempa bumi dan juga Tsunami yang hadir tahun 2006 lalu. Bagi orang Jawa bencana alam seperti Tsunami dan Meletusnya Merapi seperti tanda yang mengingatkan manusia pada sangkan paraning dumadi.
Kalau manusia lupa nanti salah gedaden menjadi bencana besar yang membuat banyak korban, duka cita dan penyesalan. Peristiwa Tsunami yang mengerikan itu dipercaya karena orang – orang Jawa mulai lupa pada alam yang memberinya kelimpahan, mulai masuk budaya yang merusak harmoni alam alam semesta dan semua makhluk ciptaan alam baik yang nyata maupun tidak nyata. Maka ada sebagian manusia yang peduli dengan budaya mengusulkan ada upacara ruwatan, merti bumi, menghormati bumi yang memberi kelimpahan dengan memberikan sesajen dan doa- doa.
Sebetulnya bagi orang modern tradisi, mitos itu dianggap kontra produktif, namun sebenarnya tradisi, upacara itu bagi sebagian orang yang percaya adalah cara agar manusia tidak kemaruk atau istilahnya rakus. Membabat alam , merusak ekosistem dan terlalu berpikiran maju hingga lupa bahwa manusia bagaimanapun modern dan cerdasnya tetap tidak ada apa- apanya dibanding kekuasaan alam dan Sang Pencipta. Maka ketika ada bencana seperti gunung meletus dan tsunami, manusia ibarat debu, mudah berhamburan dan hancur oleh dahsyatnya efek bencana.
Nyai Roro Kidul dalam mitos Jawa itu adalah simbol dari keterikatan budaya, antara manusia dan alam semesta. Ada jagat besar ada jagat kecil ada jagat halus ada jagat nyata. Mungkin dalam ilmu agama sosok Nyai Roro Kidul jelas- jelas mushrik, namun dalam kebudayaan Jawa sosok itu sangat melegenda.
Nyai Roro Kidul dalam dongeng sering naik kencana dengan kuda – kuda putihnya menuju ke keraton dan bisa langsung ke Kerajaan Jin Di pucuk Merapi. Bisa dibayangkan bila bencana muncul dari dahsyatnya Tsunami yang berasal dari pantai dan samudera ditambah dengan tebaran awan panas dari guguran lava Merapi. Maka Yogyakarta dan sekitarnya pasti hampir dipastikan mirip seperti kiamat.
Pengalaman dulu ketika ada gempa bumi yang diikuti dengan Tsunami, semalam sebelum gempa saya berada di keramaian Malioboro. Pulang malam balik ke Magelang, pagi hari ketika masih nyenyak tidur tiba – tiba ada keributan di luar, seperti ada goyangan hebat, hingga akhirnya bisa keluar, sebelum keluar saya merasa heran melihat bak kamar mandi bisa muncrat- muncrat airnya keluar.
Ternyata itu adalah efek gempa, coba kalau saya masih berada di Yogyakarta pasti akan panik lagi, sebab Di Sekitar Bantul, Klaten dan pusat hempasan Tsunami yang mengalur dari Bantul sampai Kalasan dan Klaten sangat dahsyat. Seperti tanah bergelombang atau dalam istilah Jawa kaya gabah diinteri(untuk mengistilahkan betapa tanah seperti melompat- lombat seperti padi yang sedang ditapeni atau sedang dibersihkan dengan tampah.
Saya sendiri akhirnya malah ke Babadan tempat pos pengamatan Merapi. Saya pikir Merapi karena beberapa hari sebelumnya Merapi juga menampakkan tanda- tanda aktif. Sontak komunikasi baik televisi, listrik sempat berhenti. Yang di Yogyakarta ingin lari menuju ke arah Magelang, pokoknya panik.
Nah mitos yang berkembang adalah dengan isu kemarahan Nyai Roro Kidul, yang mulai tidak nyaman dengan kepemimpinan Hamengkubuwono ke X yang memutuskan tidak lagi mempunyai hubungan Khusus dengan Nyai Roro Kidul.
Saya sendiri antara percaya dan tidak percaya. Percaya bahwa mitos itu ada dan menghormatinya, sedangkan tidak percaya karena saya tidak mempunyai kemampuan sebagaimana orang indigo atau orang yang dianugerahi indera keenam yang bisa merasakan keterhubungan metafisis manusia dan jin dari dunia lain.
Namun saya menghormati budaya sebagai upaya untuk mengerem keinginan manusia yang rakus dan ingin menguasai alam semesta, semesta alam semesta mempunyai hukum sendiri untuk memberi peringatan pada manusia untuk tidak rakus merusak alam. Maka tradisi bagaimanapun dilestarikan untuk membuat manusia tetap sadar keterhubungan serta harmoninya manusia dan alam semesta.
Lukisan Nyai Roro Kidul yang penuh mistis, semoga menjadi pengingat akan kekayaan budaya bangsa. Adat ketimuran adat Indonesia yang kaya perlu dilestarikan, bukan sebagai sesembahan, melainkan penghormatan pada sejarah dan kendali jiwa manusia untuk tidak terlalu rakus menguasai alam. Sebab di atas langit masih ada langit. Begitulah interpretasi saya tentang Nyai Roro Kidul, tradisi dan mitos yang muncul di Indonesia. Salam budaya.