LESTARIKAN ILMU DENGAN MENULIS DAN MENGAMALKANNYA

Sumber gambar dari pixabay.com

Menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Menulis biasa dilakukan pada media kertas dengan menggunakan alat-alat seperti pena atau pensil. Wikipedia.

Menurut Umar bin Khaththab, sebagaimana dikutip oleh al-Muttaqi al-Hindi dalam Kanzul Ummal, faktor yang membuat manusia ingat atau lupa adalah, karena dalam akal manusia terdapat thakha’ah (awan) sebagaimana awan yang menyelimuti rembulan. Ketika thakha’ah tersebut menyelimuti akal, maka manusia menjadi lupa, dan ketika thakha’ah tersebut hilang, maka manusia akan kembali mengingat apa yang mereka lupakan.

Menurut az-Zamakhsyari dalam Qawa’idnya, melestarikan ilmu dengan cara menulis hukumnya adalah fardlu kifayah bagi orang-orang yang diberi anugerah kemampuan memahami dan mengkaji. Karena jika tradisi menulis ditinggalkan, maka ilmu pengetahuan tersebut akan diabaikan oleh manusia.

Sebagaimana diriwayatkan Imam Hakim dalam al-Mustadrak: Dari Abdullah bin Amr bin Ash berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Ikatlah ilmu ini!” Aku kemudian bertanya, “Apakah pengikatnya?” Beliau menjawab, “Yaitu dengan cara menuliskannya”.

Tafsir surat Al-Alaq yaitu agar kita mencatat ilmu agar tidak mudah lupa, yaitu membaca dari tulisan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Kita katakan, iya. Lupa ada obatnya –dengan karunia dari Allah- yaitu yang ditulisnya. Karenanya Allah memberi karunia kepada hamba-Nya dengan surat Al-Alaq. Yaitu “iqra ‘” kemudian “mengajar dengan perantara pena.”

Tradisi menulis terus berkembang pesat pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah, ditandai dengan timbulnya beberapa upaya penerjemahan ilmu pengetahuan dari bahasa Yunani, Cina, Sanskerta, dan Persia ke dalam bahasa Arab dengan dukungan Harun ar-Rasyid dan dilanjutkan pada masa al-Makmun. Al-makmun bahkan mendirikan Baitul Hikmah yang menjadi perpustakaan sekaligus lembaga penerjemahan, sehingga menjadikan Baghdad selaku pusat peradaban dunia pada saat itu.

Berkat semangat tradisi menulis, penerbitan serta hadirnya sebagian perpustakaan, banyak karya para ilmuan dari tiap abad dengan berbagai macam disiplin keilmuan, masih dapat kita nikmati hingga saat ini.

Ketika suatu generasi telah berlalu, maka generasi berikutnya akan sangat memerlukan catatan dan penjelasan dari generasi sebelumnya. Ilmu pengetahuan generasi yang telah lalu diharapkan dapat melenyapkan kebodohan generasi pada saat ini.

Apabila generasi terdahulu sudah menanam, dan saat ini buahnya sudah dapat kita rasakan, hingga sekarang saatnya untuk kita buat menanam, supaya buahnya dapat dirasakan generasi mendatang.

Dan di zaman sekarang di mana sarana tulis-menulis dan kemudahan copy-paste serta sarana sosial media internet, maka mencatat dan menyalin cukup mudah, karenanya ada ungkapan,

“ikatlah ilmu dengan mengamalkannya”

Ilmu lebih layak diikat dengan amal karena ilmu yang telah diikat dikitab-kitab telah banyak dilupakan. Apalagi di zaman ini kita sangat butuh terhadap amal, contoh akhlak mulia bagi masyarakat.

Kelak akan tiba waktu dimana hanya tinggal nama yang tersisa, namun tulisan kita tetap dikenang serta dapat memberi manfaat bagi mereka yang membaca dan mengamalkannya. Jangan menunda, mulailah untuk menulis! Selamat merangkai kata.

 

Referensi

https://bincangsyariah.com/kalam/urgensi-tradisi-menulis-dalam-islam/

https://muslim.or.id/27761-catatlah-ilmu-ketika-di-majelis-ilmu.html

 

 

Menulis di Blog Jadi Buku

Salam berbagi, belajar, memotivasi dan menginspirasi

Juni Marlinda Rambe

Blog https://rambejunimarlinda85.blogspot.com

NPA PGRI : 02.18.02.0810

Tinggalkan Balasan