Menulis untuk Belajar Menulis.

Literasi, Terbaru9 Dilihat

Ada yang berkata bahwa salah satu rezeki adalah terhubung dengan orang-orang baik. Pandangan ini saya amini dengan takzim.

Sekira 5 hari menjelang peringatan hari guru,  melalui pesan berantai di grup-grup WhatsApp yang saya ikuti, saya mendapati beberapa informasi tawaran pelatihan yang tentu saja dibagikan oleh orang-orang baik dalam grup. Jenis pelatihan pun bermacam-macam. Salah satunya adalah pelatihan Menulis BLOG yang diselenggarakan oleh Literasi Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia (PP IGI)  Bekerja sama dengan Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD) dan Guru Ahli. Karena keinginan belajar menulis, saya memutuskan untuk mengikuti kegiatan bertajuk Road Blog to Book Atribute tersebut.

Ternyata, pilihan tidak salah. Saya mendapati orang-orang baik yang senang berbagi dan memotivasi. Jika biasanya masuk grup pelatihan grup masih terkunci saat kegiatan belum dimulai, kali ini langsung ramai. Bahkan beberapa diantara anggota grup sudah mulai berbagi tulisan yang tentu saja tujuannya untuk memantik semangat anggota grup yang lain. Saya berada di grup yang tepat pikirku. Bukankah fungsi komunitas salah satunya adalah untuk merawat semangat.

Terus, mengapa harus belajar menulis? Bukankah kita sudah memiliki profesi tersendiri? Meskipun ada yang sengaja mengambil jalan sunyi sebagai penulis, menulis tak hanya sekadar profesi. Menulis merupakan kerja keabadian.” … jika umurmu tak sepanjang umur dunia, sambunglah dengan tulisan.” Demikian pesan dari Penulis tersohor yang pernah dimiliki Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Pandangan ini senada dengan peribahasa latin yang sangat populer, “Verba Polant, Scripta Manent.” Kurang lebih maknanya adalah, yang terucap berlalu dibawa angin, yang tertulis abadi.

Kita mungkin tidak se zaman dengan Tan Teng Kie. Karena ia hidup di abad ke-18, ia juga bukan wartawan yang dikenal dengan kuli tinta itu. Dikabarkan dia orang biasa seperti kita, pedagang yang senang dan gemar menulis. Menulis kejadian-kejadian yang ada disekelilingnya. Pun, ia hidup di era belum ada internet termasuk media sosial. Akan tetapi, ceritanya tetap sampai kepada kita melalui karyanya Syair Jalan Kereta Api, Syair dari hal datangnja Poetra Makoeta Keradjaan Roes di Betawi, dan Syair Kembang, yang dengan itu namanya tetap awet meski setelah lintasan waktu yang panjang berlalu bahkan sudah dalam hitungan abad.

Kita mungkin berpikir bahwa impian keabadian terlalu muluk, maka kita bisa menengok pesan Hernowo. Penulis 24 Buku dalam 4 Tahun dan pencetak Buku-buku Best-seller itu dalam salah satu bukunya Mengikat Makna Update mengemukakan bahwa,”…menulis sebagai salah satu modus untuk melakukan refleksi (bertafakur dan berpikir secara mendalam, hati-hati, dan sistemis).”

Menuliskan sesuatu tentu saja menuangkan apa yang kita pikirkan atau refleksi kita atas sesuatu. Apakah itu yang kita tulis terkait dengan diri kita sendiri, sesuatu yang di luar diri kita, hubungan diri kita sendiri dengan di luar diri kita atau pandangan dan sikap kita terhadap apa yang terjadi di luar kita, semuanya tentu saja tidak hanya dipikirkan secara sembarangan.

Secara sederhana bisa kita katakan bahwa, pada saat kita menulis, kita menyadari sepenuhnya bahwa apa yang kita tulis terekam dengan jelas dan berpeluang dibaca oleh semua orang lintas profesi.

Lantas, apakah menulis hanya kerjaan wartawan dan para akademisi yang harus dikaitkan dengan dunia ilmiah? Tentu saja tidak. Apa yang dilakukan Tan Teng Kie di atas sudah cukup jadi jawaban.

Namun demikian, kalaupun menulis harus dikaitkan dengan dunia ilmiah, kata Hernowo kita tetap dapat melakukan dengan lebih ke “sikap” ilmiah. Sikap ilmiah yang dimaksud berupa kesungguhan, bertanggungjawab, jujur, memegang etika, kelogisan, dan semacamnya.

Akhirnya, saya hanya hendak mengatakan bahwa, jika sekiranya pandangan Hernowo bahwa menulis sebagai  modus untuk melakukan refleksi masih terlalu muluk, apalagi dengan embel-embel  bertafakur, berpikir secara mendalam, sistemis dan hati-hati, maka tulisan yang hadir dihadapan pembaca ini lahir tak lebih dari sekadar upaya merawat semangat belajar menulis. Karena, seperti kata Hamka, “dengan menulis, aku menjadi tuan atas diriku sendiri.”

Bahkan Tuhan pun bersumpah demi Pena. “Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan, (Al-Qalam (52):1)”

#YPTD-IGI

Tinggalkan Balasan