PJJ Di Mata Siswa
Oleh: Khoirul Anwar
“Pas hari pertama PJJ saya kesulitan belajar, selain kuota sedikit, jaringan jelek, rasa malas sering muncul saat belajar online. Akhirnya materi dari guru tidak masuk ke otak, hanya lewat saja. Setiap hari nge-zoom, saya kasihan kepada orang tua saya yang setiap hari harus membeli kuota “. Itu sebagian kecil keluhan, kisah dan cerita PJJ dari siswa suatu sekolah di Jakarta Barat. Masih banyak lagi curhatan dan keluhan siswa berkenaan dengan Pembelajaran Jarak Jauh ( PJJ ) ini.
Berikut akan penulis sajikan beberapa pandangan siswa mengenai PJJ, yang tentunya hanya khusus dari sudut pandang siswa secara murni dan alamiah.
1. PJJ awalnya dianggap menyenangkan
Diberlakukannya sistem Pembelajaran Jarak Jauh ( PJJ ) atau belajar online ini menurut kebanyakan siswa pada awalnya dianggap sesuatu yang menyenangkan. Siswa mengira dan beranggapan bahwa PJJ ini sekolah yang menjadi santai, bebas, tidak banyak tugas, tidak ada pengawasan guru, mengerjakan soal/tugas di rumah yang bebas waktu dan tempatnya, pakaian yang dipakai juga serba bebas. Itu beberapa pemikiran siswa di awal berlakunya PJJ. Tetapi lama kelamaan PJJ tidak seperti yang mereka ( siswa ) bayangkan dan inginkan.
2. PJJ membuat siswa sulit belajar
Hampir sebagian besar kalau boleh diprosentasekan sekitar 70 – 80 persen siswa mengalami kesulitan belajar dengan model PJJ. Keluhan dan curhatan hampir merata untuk semua jenjang pendidikan. Paling banyak terjadi pada level pendidikan dasar ( SD/MI ). Kesulitan belajar disini adalah dikarenakan siswa sulit mengerti penjelasan guru melalui media virtual, mungkin ini faktor kebiasaan tatap muka, atau sugesti dari para siswa saat PJJ. Kesulitan berikutnya adalah susahnya bertanya kepada guru secara langsung, ini terjadi karena beberapa guru mungkin kurang mengerti penggunaan media IT, sehingga komunikasi sulit terjalin dengan baik, sehingga siswa dengan terpaksa beralih bertanya kepada orang tua atau ke Google.
3. PJJ dianggap “sekolah hanya mengerjakan tugas dari guru”.
PJJ dianggap bahwa mereka hanya mengerjakan tugas-tugas dari guru dan harus dikerjakan demi mendapat nilai. Bagi siswa yang penting mengerjakan tugas selesai, tidak penting mengerti atau tidak materi tersebut. Mengerti/memahami materi pelajaran menjadi nomor sekian buat siswa. Nilai yang tinggi atau bagus itu sekarang yang dikejar siswa saat PJJ ini. Seharusnya PJJ bukan itu tujuan akhirnya, tapi itulah kenyataan yang dirasakan dan dialami siswa saat PJJ.
4. PJJ dianggap membosankan dan membebani siswa
Beberapa siswa berkomentar bahwa mereka merasa bosan dengan adanya sistem PJJ ini. Hal ini wajar karena mereka sudah satu tahun lebih belajar di rumah tanpa bisa bertemu langsung dan berinteraksi raga dengan teman-teman sekolahnya. Keadaan dan kejenuhan ini hampir dialami oleh sebagian besar siswa. Disatu sisi mereka harus mengamankan dirinya dari penularan virus covid-19 yang sangat berbahaya. Di sisi lain mereka dipaksa belajar di rumah dengan banyak tugas dan tagihan dari sekolah ( guru ). Dua posisi yang keduanya tidak mengenakkan bagi siswa tersebut membuat perasaan dan hati siswa menjadi merasa terbebani dengan adanya PJJ ini. Seandainya PJJ ini berlaku pada situasi yang normal mungkin berbeda ceritanya. Kalau situasi normal, setelah PJJ siswa masih bisa keluar rumah dengan bebas untuk berinteraksi dengan teman sepermainannya. Mereka tidak takut akan ketularan penyakit/virus.
5. PJJ menjadikan anak “bersahabat” dengan gadget
Setiap detik dan setiap hari ( dari pukul 06.30 – 12.00 ) siswa memegang dan memainkan HP/Gadget nya. Hal itu tidak bisa ditolak atau dielakkan, karena sistem PJJ ini mengharuskan anak lebih banyak waktunya dengan HP/gadget. Minimal 5-7 jam per hari anak dipaksa harus membuka dan menggunakan HP/Gadget itu. Baik untuk belajar ( mencari jawaban lewat Google, mencari rumus atau video pembelajaran dll ), atau mungkin bermain game ( jika PJJ selesai /jika ortu tidak mengawasi atau ortu tidak ada di rumah ). Hal ini berarti secara tidak sadar kita telah menjadikan HP/Gadget sebaai sahabat baru buat anak-anak kita. Kalau orang tua mengawasi, mungkin anak masih bisa di rem/dikontrol penggunaan HP tadi. Namun bagaimana dengan keadaan jika orang tua tidak bisa mengawasi karena keduanya bekerja demi menutupi kebtuhan ekonomi keluarga. Atau orang tua yang kurang paham dengan teknologi IT sehingga anak bisa mengelabuhi , atau model orang tua yang tidak peduli/cuek dengan keadaan belajar anaknya. Kondisi ini yang banyak terjadi di lingkungan sekitar kita.
6. PJJ menjadikan anak menurun tingkat/derajad kesopanan/kepedulian sosialnya
Sistem PJJ memaksa anak tidak bertemu tatap muka dengan para guru. Siswa belajar di rumah yang biasanya aturan rumah lumayan longgar. Jika di sekolah anak dipaksa untuk disiplin dan taat aturan sekolah, apapun keadaan, pangkat dan kedudukan orang tuannya. Jam 06.30 mereka sudah harus ada di sekolah, jika terlambat ada sanksi menunggu. Mereka harus menggunakan seragam sekolah sesuai aturan dan hari, membawa buku, izin ke guru jika mau ke toilet, rambut harus rapi, bersalaman tiap ketemu guru di gerbang sekolah maupun di kelas, memberi salam, dan berdoa. Masih banyak lagi aturan dan tata krama kesopanan sosial yang dijalankan dan harus ditaati oleh anak jika sekolah tatap muka langsung. Semua itu tidak ada saat berlangsungnya PJJ. Ini yang membuat menurunyya tingkat kesopanan sosial anak.
Semoga beberapa pandangan siswa tersebut bisa menjadi renungan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam sistem PJJ ini, agar menjadi pelajaran untuk perbaikan kedepan. Semoga pemerintah dan masyarakat makin sadar bahwa siswa juga manusia biasa yang harus dihormati keberadaannya dan hak-haknya demi terpenuhinya akan ilmu yang dibutuhkan demi masa depan mereka. Kerjasama yang sinergis antara pemerintah, sekolah dan masyarakat semoga terjalin dengan baik, demi terwujudnya harapan dan cita-cita negara kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga, Bravo Indonesia.
Tangerang Selatan, 17 Juli 2021