“Tahes, Sam?”
“Umak gak ngalup a?”
Bagi mayoritas orang Malang, kalimat seperti di atas bukan lagi hal yang asing. Hampir semua orang Malang setidaknya tahu maksud dari kalimat di atas.
Kalimat yang pertama di atas bermaksud menanyakan kabar apakah seseorang yang diajak bicara dalam keadaan sehat atau tidak. “Tahes” memiliki arti sehat, sementara “Sam” bermakna mas yang berarti sapaan untuk orang lelaki utamanya di daerah Jawa.
Begitu pula untuk kalimat kedua. “Umak” bermakna kamu yang menunjukkan arti orang kedua yang diajak berbicara, “ngalup” berarti pulang, dan “a” adalah salah satu ciri khas kalimat pertanyaan dalam bahasa Jawa yang bisa diartikan apakah.
Jika pembaca menyadari, maka beberapa contoh kata di atas berasal dari huruf-huruf yang letaknya dibalik dari asal katanya. Namun, ternyata tidak sesederhana itu. Inilah salah satu ciri khas dari Malang yaitu kepemilikannya atas Boso Walikan. Boso Walikan sendiri secara sederhana dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai Bahasa Balikan.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai bentuk Boso Walikan Malang atau bisa juga dikatakan sebagai bahasa Slang Malang, ternyata bahasa ini memiliki sejarah yang sangat membanggakan.
Dikutip dari berbagai sumber terutama dalam buku Malang Tempo Doeloe, bahwa Boso Walikan mulai digunakan oleh para pejuang Malang dalam kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK) pada masa Agresi Militer Belanda II pada tahun 1949 dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada saat itu diceritakan bahwa Belanda banyak menyusupkan mata-mata di antara kelompok pejuang kota Malang untuk mencari data sisa-sisa laskar Mayor Hamid Rusdi yang gugur pada 8 Maret 1949. Mata-mata yang sudah dipastikan mengerti bahasa Jawa gaya Jawa Timuran, maka para pejuang menyusun rencana khusus agar bahasanya tidak dikenali oleh sekutu Belanda. Akhirnya dicetuskanlah Boso Walikan sebagai bahasa sandi yang dianggap mampu menjaga kerasahasian dan juga untuk mengenali identitas seseorang apakah dia kawan atau lawan.
Lalu, siapa sebenarnya pencetus awal adanya Boso Walikan Malang?
Menurut Drs. Dwi Cahyono M.Hum, seorang Arkeolog dalam wawancaranya pada Documentary Movie NENDES KOMBET mengatakan bahwa siapa pencetus Boso Walikan ini memang sulit jika harus menyebutkan nama karena Boso Walikan bisa disebut sebagai suatu karya komunitas. Menurut beliau, pencetus Boso Walikan ini cenderung anonim, sehingga jika kemudian ada yang menyebut tokoh A ataupun tokoh B, maka akurasinya masih perlu untuk dipertanyakan.
Sampai saat ini, Boso Walikan Malang masih digunakan dan menjadi identitas Arek Malang (Arema) atau orang-orang Malang. Boso Walikan Malang lebih banyak digunakan atau berkembang di komunitas-komunitas tertentu di Malang Raya terutama pada anak-anak muda.
Untuk orang-orang Malang pada umumnya, Boso Walikan yang seringkali muncul adalah umak (kamu), ayas (saya), tahes (sehat), nakam (makan), ojob (bojo/ pacar), kipa (apik), ibar (rabi/ nikah), kodew (wedok/ perempuan), ngalup (pulang), kadit kane (tidak enak), oskab (bakso), nuwun (suwun/ terima kasih), dan lain-lain.
Perlu diketahui pula bahwa Boso Walikan Malang ini memang biasanya muncul dalam bentuk kosakata yang hurufnya dibalik. Namun, tidak semua kata yang dibalik akan menjadi bagian dari Boso Walikan Malang. Ternyata itu adalah satu pemahaman yang salah. Jadi, apabila ada seseorang datang dari luar Malang, kemudian tiba-tiba ia berbicara dengan orang Malang dengan menggunakan kosakata yang dibalik, perkataannya tidak berarti akan langsung dipahami. Justru hal seperti itu malah dapat menimbulkan kesalahpahaman, karena pada dasarnya orang Malang tidak membalik semua kosakatanya–hanya pada kosakata yang sudah umum dan telah disepakati.
Beberapa pembalikan dalam kosakata Boso Walikan Malang adalah dengan membalikkan posisi huruf secara keseluruhan, seperti mobil menjadi libom, bahaya menjadi ayahab, mas menjadi sam, pecel (makanan khas jawa) menjadi lecep, dan lain-lain. Selain itu, ada juga kosakata yang dalam pembalikannya posisi dua huruf konsonan yang bergandengan tidak berubah, seperti semangat menjadi tangames, ngerti menjadi itreng, sandal menjadi landas, tembok menjadi kombet, dan lain-lain.
Bahkan ada beberapa kosakata dalam Boso Walikan Malang yang tidak berasal dari kata yang dibalik. Akan tetapi, ia muncul dari kesepakatan bersama orang-orang Malang yang tentunya mudah diucapkan dan dianggap memiliki nilai keindahan bahasa yang pas. Misalnya rokok menjadi oker, polisi menjadi silup, kerja menjadi idrek, orang menjadi genaro dan lain-lain.
Boso Walikan Malang diyakini mampu menciptakan perasaan satu jiwa dalam hati Orang-orang Malang yang memiliki Ongis Nade atau Singo Edan sebagai simbol dari klub sepak bola “Arema” ini.
Itulah salah satu khasanah budaya lokal yang dimiliki oleh orang-orang Malang yang sampai saat ini masih eksis dan sangat dibanggakan.
Sumber :
YouTube NENDES KOMBET (Documentary Movie)
Prayogi, Icuk. Proses Pembentukan Slang Malang. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Volume 1 No. 1 Januari 2013. FPBS UPGRIS: Semarang.
Ditulis oleh : Firda Fatimah
Ulasan menarik nan apik berkenaan dengan budaya bahasa di Malang.