Masyarakat Samin: Jujur dan  Nyedulur

Masyarakat Samin
naviri.org

 

“Lur  arep  ning  ndi ?” Lur (  saudara) mau  ke mana ?

“Mengarep”, artinya  ke depan, atau  berjalan  maju.

Itulah  ciri khas  percakapan  masyarakat  Samin, mereka  tidak  menjawab  pada  tujuan mereka  pergi karena  kalau  mereka  singgah  di suatu  tempat, berarti “dia“  yang  ditanya itu  tidak  terbuka alias  bohong.  Masyarakat Samin  jujur apa adanya.

Orang  Blora  yang  tinggal  di  kota  pada  umumnya  sangat  menghormati  orang  Samin. Kadang  orang  memandang  rendah  orang  Samin, menganggap  bodoh, tolol, dungu,  dan  sebagainya kepada  orang  Samin.

Padahal  orang  Samin  adalah  orang  yang  jujur, apa  adanya,  dan  menganggap  semua  orang sedulur (saudara). Mereka  orang  yang  suka  damai  dan tidak  mau  berurusan  dengan  urusan  orang.  Jika  dimintai  tolong  mereka  akan  menolong  dengan  penuh  kerelaan dan  ketulusan hati.

Sebagai  orang Blora, di dalam  keluarga kami  diajarkan  untuk  menghormati  siapa  saja  terlebih  orang  Samin. Kami  mempunyai  langganan  arang dan  aneka  hasil  bumi  dari  orang  Samin. Mereka  biasa  berjualan arang, daun  jati, hasil  palawija dan  dijual  di  kota. Untuk  menjual  dagangannya  mereka  berjalan  berkilo–kilo meter.

Maklum,  daerah  Samin ada  di desa  pedalaman  Kelopo Duwur, atau  Jejeruk, dan  daerah  pedalaman  hutan  jati  Blora.

Bagaimana  Mengenali  Orang  Samin

Biasanya  mereka  berbahasa Jawa  Ngoko, orangnya  sederhana dan  apa  adanya. Jika  memanggil memakaai  sebutan  Lur=sedulur (saudara)  dan  itu  tidak  dibuat-buat. Orang  yang  telah  terbiasa  akan  tahu  itu  orang  Samin  atau  bukan.

Mereka  sangat  jujur, jika  berjualan  arang kalau  arangnya  dari kayu mahoni, atau  pohon petai  china (mlanding)  ya  pasti  asli, maka  orang  Blora  termasuk  keluarga  saya  senang membeli bahkan  berlangganan  dengan  orang  Samin, karena kualitas  dagangannya  terjamin.

Mereka  orang  yang  tahu  bersyukur, sesuatu  yang  baik  yang  diterimanya  akan  diingat  dan  dibalasnya. Contoh, kalau  kami  beli  dagangan  orang  Samin, kami  tahu  bahwa  mereka  berjalan  sangat  jauh  dari  desanya  mungkin  berkisar 20-25 km, kami  biasanya  membuatkan  kopi  atau  teh  serta  memberi  sarapan  pagi.

Aduh,  betapa  gembira  tanggapan  mereka, spontan  memuji  “Sing  Gawe  Urip alias  Sang  Pemberi  Hidup, Tuhan Yang  Mahakasih akan  memberi  rejeki dan  memberi  berkah  sedulur”, katanya.  Mereka  menganggap  kami  saudara.

Tak  jarang  kami  memberi  lebih, uang  dari apa  yang  ditawarkan  karena  kami  tahu bahwa  mereka  tulus, jujur,  apa adanya, dan  tak  pernah  bohong. Saking  polosnya  hasil  kerjanya  membakar  arang   dihargai  secukupnya  untuk  beli  bahan  makan, tidak  lebih.

Mereka  amat  sederhana  dalam berpikir  dan  bertindak, hidupnya  dipasrahkan  pada  Hyang  Murbeng  Jagad. Maka  kami  sebagai  orang  yang  tinggal  di kota juga  tahu  diri  dan  menghargai  mereka.

Kami percaya  dengan  berbagi  rejeki  pada  orang  Samin, nanti  akan  mendatangkan  rejeki  yang  melimpah.

Bahkan keluarga  kami  sering  mengumpulkan  pakaian  pantas  pakai dan  barang-barang  yang  masih  baik dan  memberikan  kepada  mereka.

Sungguh  mereka sangat  berterima  kasih. Kami  tidak  ingin  dibalas atas  pemberian  kami, tetapi  orang  Samin  selalu  membalas  budi  dengan  mengirimkan  hasil  panen dan  apa  saja  yang  dimilikinya. Mereka  siap  berbagi, tidak  rakus  dan menganggap  saudara pada  semua  orang.

Orang  Samin  Sakti

Konon  cerita  buyut  dan  nenekku  orang  Samin  sangat  Sakti (punya  kemampuan  lebih). Pernah  di zaman  penjajahan  Jepang  ada  pertemuan  di  Cepu dan  mengajak  tokoh  Samin. Si  tokoh  itu  bilang:  “Lungo  disik  Lur  mengko  tak  susul” (Pergi  dulu  saudara  nanti  saya  menyusul). Eeee  orang yang  lain  pergi naik  kendaraan ke  Cepu, tak  tahunya si   tokoh  Samin  sudah  datang  duluan.

Ketika  ditanya, naik  apa?  Dia  jawab,  “Jalan  kaki dan  itu  sungguh  tidak  mungkin secepat  itu.“

Beredar  cerita  sewaktu  saya  kecil, ada  dalang yang  diminta  orang  Samin  untuk main  di desanya  dalam  rangka “sedekah  bumi” atau  biasa  disebut  tegah  desa atau  “sedekah  desa“. Dalang  itu  sempat  berpikir, kalau  saya  tidak  dibayar tidak  jadi  soal, tetapi kalau  niaga (penabuh  gamelan)  tidak  dibayaar  ya  kasihan.  Namun  sang  dalang  tidak  berani  menolak.

Akhirnya  pergilah  dalang  serta  para  niaga  itu di  salah  satu  daerah  orang  Samin. Mereka  heran, makanan  melimpah  ruah  seperti  air  mengalir, tak  tahu  darimana  asalnya.

Setelah  pertunjukkan  selesai dalang  dan  para  niaga  memang  tidak  dibayar, mereka  dibekali  makanan yang  tempatnya dibuat  dari  janur  kuning, seperti  umumnya  kalau  orang  punya  hajatan  di desa di masa  lampau.

Lalu  di tengahnya  diberi  besek (tempat  yang  terbuat  dari  bamboo)  dan  dipenuhi  aneka  makanan. Penatua  Samin  berpesan, “Tolong  makanan  ini  dibawa  pulang  ya  jangan  dibuka  di tengah  jalan ya, bukanya  di rumah  saja.

Bagi  mereka  yang  taat  membuka  makanan hingga  di rumah, melihat hal  yang  tak  terduga  di antara  besek dan  tempat  penyangga  yang  terbuat  dari  janur  itu di bawahnya  ternyata  ada  emasnya.

Bagi  yang  tidak  taat benda  itu  tetap  menjadi  kunyit. Percaya  tidak  percaya  itu  yang  terjadi. Maka  orang  tidak  pernah  sembarangan  dengan  orang  Samin. Karena  mereka  itu  digdaya/sakti, punya  ilmu  kanuragan  lebih.

Hal-hal  yang  Lucu yang  Terjadi  pada  Orang  Samin

Pernah    sewaktu saya SMP  melihat  persidangan orang  Samin penjual  arang  yang  dituduh  oleh  pihak  Perhutani mencuri  kayu.

Orang  Samin  itu  didesak  untuk  mengaku. Karena  dia  tidak  melakukan ya  dia  bersikeras  tidak  mengakui. Katanya  dalam  Bahasa  Jawa, “Aku  nggawe  areng  nggango kayu  soko  tanduranku  dewe, kowe  koq ngarani  sing  ora  becik. ” (saya  membuat  arang  dengan  kayu  dari  pohon  saya  sendiri  kok  kamu menganggap  saya  tidak  benar).

Rupanya  rumah  orang  Samin  itu  di pinggir  hutan, dan  ada  sebagian  kayu yang  terambil milik  Perhutani. Jawaban  dia  :”Sing  nggawe  urip  wae  ora  nglarang-aku  kok  kowe nglarang-nglarang  opo  kuasamu?“ (yang  memberi  hidup  saja  tidak melarang  saya  kok kamu  melarang  saya, apa  kekuasaanmu?)

:”Ini  menyalahi  aturan  negara, kamu  mencuri“.

“Mana  yang  namanya  negara?  Suruh  kesini?  Wong  semua  ini  diciptakan  Tuhan  untuk  kesejahteraan  umatnya  kok kamu  nuduh  saya  mencuri, kualat  lho  kamu”. Sambil  dia  tunduk  sujud  mencium  tanah.

Akhirnya  persidangan  itu  tak  terselesaikan, karena  memang  orang  Samin  itu  tidak bersalah, tetapi  salah  satu  dari  penuntut  itu  meninggal, entah  kebetulan  atau  tidak, orang  bilang, “Orang  Samin  kalau  disakiti  hatinya  itu  malati/orang  seperti  kena  kutukan.

Saya  pernah  sewaktu  praktek  magang  sebagai  calon  guru bertugas  di daerah  orang  Samin.

Nah,  kalau  di sekolah  sepeda  tidak  usah  dikunci, tak   bakalan  hilang, kalau  dikunci, mereka  jadi  tersinggung.

Rumah  orang  Samin  juga  tidak  pernah  ditutup, mereka  juga  tidak  pernah  kecurian, karena  kalau  ada  yang  mencuri  mereka  tidak  akan  selamat. Sewaktu  saya  selesai  magang, ya  ampun  tak  terkira  saya  mendapat  bingkisan  aneka  buah  dan  palawija  dari masyarakat  sekitar.

Kesan  saya  mereka  sungguh  hidup damai, mencintai  alam, mereka  membiarkan  buah  hingga  matang,  dan  tidak  memetiknya, tetapi   percaya  menjadi  haknya  kalau  buah  itu  jatuh  sendiri, berarti  Sang  Murbeng  Jagad, mengizinkan  mereka  untuk  memakannya.

Mereka orang  sederhana yang  tahu batas, tahu  berkata  cukup memperlakukan  alam  dengan  bijak  dan  bersahaja, mereka  berbagi  apa  yang  mereka  miliki rukun  dengan  tetangga dan  bersaudara, serta  percaya  pada  orang  lain.

Tentu  mereka  tidak  suka  pada  penguasa  yang  sewenang-wenang. Apalagi  di  zaman   Belanda  dan  Jepang yang  meminta  mereka  membayar  pajak, mereka  tidak  mau. Konon  mereka  menyembunyikan  uang diletakkan di dalam  kendi  tanah  dengan  menguburkannya  di dalam  tanah. Pernah  ada  tentara  Jepang  yang  kasar  dan  memukul  mereka, eee  sebentar  kemudian  dari  kejadian  itu  tentara  Jepang  terpeleset  di sumur  dan  meninggal  dunia. Hal-hal  yang  tidak  masuk  nalar, tetapi terjadi,  ini yang  membuat  orang  Samin  disegani.

Oleh  Pemerintahan  masa  lalu, baik  pada  zaman  Belanda, Jepang, yang  memberi  label  pada  orang  Samin  sebagai orang  gila, tolol,  dan  sebagainya  karena  mereka  tidak  berhasil  membujuk  orang  Samin  untuk  membayar  pajak. Bahkan  pemerintah/pihak  Perhutani juga  dibuat  keki  dengan  orang  Samin yang  tidak  mau  menyerahkan  tanahnya  kepada  Pemerintah.

Dari mana    Orang  Samin  berawal?

Masyarakat Samin  ada dan diprakarsai  oleh seorang tokoh yang bernama Kiai Samin Surosentiko, yang lahir di Ploso, wilayah Blora, Jawa Tengah, tahun 1859. Ia ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tidak mau membayar pajak dan tidak mau ikut kerja paksa. Ajarannya dipatuhi oleh orang-orang Samin yang juga dijuluki sebagai Sedulur Sikep.

Masyarakat Samin  adalah salah satu kelompok masyarakat adat yang tinggal di pedalaman  Blora, Jawa Tengah. Sebagai masyarakat yang masih memegang teguh adat dan tradisi, orang Samin memiliki ajaran sendiri. Salah satu ajarannya adalah menjunjung tinggi kejujuran dan bersikap rendah  hati, menghargai  sesama, dan  tidak sombong.

Karena ajaran inilah  begitu  polosnya orang-orang Samin justru sering dianggap bodoh, tolol, bahkan gila. Walaupun begitu masyarakat  adat  Samin masih tetap mempertahankan nilai-nilai  luhur yang  diyakini  sepenuh  hati  dalam  hidupnya

Dalam  kehidupan kemasyarakatan  dan   pergaulan sehari-hari baik terhadap sesama Samin maupun orang luar, masyarakat Samin memegang prinsip, “ono niro mergo ningsung, ono ningsung mergo niro” (saya ada karena kamu, kamu ada karena saya).

Karena prinsip itu, orang Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau mengambil hak orang lain, tetapi mereka juga tidak mau hak-hak mereka dirampas.

Di  Indonesia  banyak  sekali suku  yang  menghidupi  nilai  nilai  luhur seperti  suku  Badui, Tengger, dan  masih  banyak  lagi  sebagai  masyarakat  adat.

Semoga  kita  yang  hidup  di Tanah  Air  tercinta  ini  menghargai  dan  melindungi  mereka  supaya  tidak  tersingkirkan, melainkan merangkul  mereka dengan  penuh  cinta  kasih. Karena  dari  mereka  kita  banyak  belajar  tentang  nilai-nilai  luhur yang muncul    spontan  tulus, apa  adanya. ***

Oleh  Sr. Maria  Monika  SND untuk Inspirasiana

 

 

 

Tinggalkan Balasan

1 komentar