Viral video “Kawin tangkap” yang memicu kritik mengingat korban dari “kawin tangkap” adalah kaum perempuan. Itu sebabnya, pegiat kemanusiaan dan pembela hak-hak perempuan mengkritisinya. Apa yang salah dari tradisi Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini? Apakah benar “kawin tangkap” merupakan tradisi Sumba?
Badan Pengurus Nasional PERUATI (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia) mempertanyakan “tradisi” tersebut. Menurut organisasi itu, “kawin tangkap” bentuk lain dari penculikan perempuan berkedok tradisi.
Bayangkan saja, berdalih itu adalah tradisi, perempuan diculik dan dipaksa nikah dengan laki-laki yang tidak dikenalnya. Dan, mirisnya, aksi tersebut dianggap wajar karena aksi tersebut adalah “kawin tangkap” yang dinilai sebagai tradisi.
“Terbayang tidak, tiba-tiba saja ada sekelompok laki-laki datang ke rumah, terus anak atau saudara perempuan kita dibawa dan tinggal di rumah salah satu laki-laki tersebut berhari-hari, dan dipaksa menikah. Padahal kamu sendiri tidak begitu kenal dengan si laki-laki,” tulis Aprissa Taranau, Ketua PERUATI dalam surat elektronik yang diterima saya pada 3 Juli 2020.
Kasus penculikan terhadap perempuan di Sumba itu pun viral di media sosial dan dipersepsikan sebagian orang sebagai kawin tangkap. Oleh warga setempat, kawin tangkap diterjemahkan sebagai tahap awal perkawinan adat. Praktik yang sudah dikenal di pedalaman NTT sejak dulu. Diawali dengan pura-pura menculik calon mempelai perempuan yang sudah didandani ke rumah calon mempelai laki-laki. Peminangan baru resmi dimulai setelah calon mempelai perempuan setuju untuk menikah, disusul penyerahan belis (mahar).
Melenceng dari Kebiasaan
Sayangnya, kawin tangkap ini praktiknya sudah melenceng dari kebiasaan dan tidak sesuai lagi dengan tradisi. Kawin tangkap sekarang lebih mirip penculikan dan mempermalukan perempuan. Perempuan ditangkap di pasar atau di pusat keramaian atau di mana saja, kemudian dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak disukai, bahkan tidak dikenal. Menimbulkan persoalan baru karena kawin tangkap kerap menjadi kekerasan teroraganisir terhadap perempuan yang dilakukan pihak laki-laki.
Dia menyampaikan, tidak sedikit perempuan di Sumba yang mengalami trauma akibat aksi tersebut. Pada 2017, misalnya, seorang perempuan dari Sumba Tengah (28 tahun) ditangkap dan dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Saat itu, ia berteriak menolak, meronta-ronta, menangis.
Saking putus asanya, ia sampai menampar dan menggigit tangan si laki-laki. Setelah pihak keluarga perempuan bernegosiasi panjang, barulah ia bisa bebas usai ditahan selama 6 hari. Peristiwa ini tentu meninggalkan bekas trauma mendalam bagi perempuan.
Aksi serupa terjadi pada Desember 2019. Seorang perempuan di Anakalang, Sumba Tengah, juga diculik. Ada 7 laki-laki memaksanya masuk ke mobil pick up. Ia sempat meronta namun tidak ada yang menolong. Pihak keluarga perempuan akhirnya berhasil menjemput korban dan menggagalkan pernikahan itu.
Di saat pandemi Covid-19 mewabah, bisa-bisanya aksi itu dilakukan. Tepatnya pada Juni 2020, praktik “kawin tangkap” terjadi lagi di Anakalang. Seorang perempuan (21 tahun) ditangkap di rumah tetangganya. Korban juga berteriak dan meronta namun tidak dihiraukan.
Meski akhirnya terdengar kabar bahwa keluarga korban melanjutkan percakapan adat dengan pelaku kawin tangkap, tetap saja praktik pemaksaan pernikahan seperti ini membuat perempuan dalam posisi yang tidak berdaya dan tidak berhak atas keputusannya sendiri.
“Bagaimana perasaanmu kalau jadi perempuan atau punya saudara perempuan yang kena kawin tangkap di Sumba?” tanyanya.
Siapapun bisa merasakan kegetiran dan kegundahan itu. Menikah tanpa cinta saja, rasanya sudah luar biasa menguras air mata. Bagaimana dengan menikah karena dipaksa? Terlebih si calon istri diculik dulu baru dinikahkan. Hati siapa yang tidak remuk redam meski itu “tradisi? Ah, pernikahan macam apa ini?!
Saya tidak bisa membayangkan jika ini terjadi pada anak-anak saya yang kebetulan perempuan semua, atau keponakan-keponakan saya, atau anak rekan-rekan saya, atau tetangga saya. Bergidik rasanya hati ini. Di jaman modern seperti ini masih ada tradisi semacam itu?
PERUATI menyebut banyak perempuan jadi korban dan terpaksa menikah dengan penculiknya. Kejahatan ini dianggap wajar dengan dalih tradisi. Korban-korban kawin tangkap pun tidak berdaya sebab tidak ada payung hukum yang melindunginya. Karena, praktik ini masih dianggap wajar di Sumba dengan dalih bagian dari tradisi.
Padahal, jika dilihat faktanya beberapa praktik Kawin Tangkap di Sumba menyebabkan penderitaan, ketakutan, rasa tidak aman dan trauma yang mendalam bagi perempuan. Korban-korban kawin tangkap tidak berdaya sebab tidak ada payung hukum yang melindunginya.
Pelaku pun tidak dapat diproses secara hukum dan dapat bebas begitu saja. Karena itu, diperlukan adanya peraturan yang melarang praktik kawin tangkap agar korban mendapatkan perlindungan dan pelaku dihukum sehingga menimbulkan efek jera.
“Kalau ada aturan hukum yang melarang praktik kawin tangkap ini, pelakunya bisa dihukum sehingga ada efek jera. Perempuan yang jadi korban pun dapat perlindungan sehingga tidak terpaksa menikah dengan lelaki asing,” kata PERUATI.
Itu sebabnya, PERUATI menggalang dukungan melalui petisi. Untuk mendukung perjuangannya, ia meminta saya untuk menandatangani petisi tersebut. Agar Gubernur Nusa Tenggara, Viktor Bungtilu Laiskodat, mengeluarkan Aturan Larangan Praktik Kawin Tangkap di 4 Kabupaten di Pulau Sumba. Jadi, jika nanti ada yang masih melakukan tradisi “kawin tangkap” dapat diproses secara hukum.
Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur, Emilia Nomleni sudah pernah meminta, praktik ‘kawin tangkap’ di Pulau Sumba harus dihentikan, tapi praktik ini masih terus berjalan. Menurutnya, bisa saja praktik kawin tangkap di Sumba itu tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada anak, karena memang tidak pernah tahu perempuan-perempuan itu usianya berapa saat ‘diculik’.
Kawin Tangkap, Bentuk Kekerasan pada Perempuan
Praktik kawin tangkap ini pun mendapat sorotan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga. Menurutnya, praktik kawin tangkap adalah tindakan kekerasan terhadap perempuan karena tubuh perempuan dikontrol dan dijadikan objek seksual laki-laki.
Itu berarti, jelas-jelas melanggar Hak Asasi Perempuan seperti tercantum dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi melalui UU RI No. 7 tahun 1984. Karena itu, praktik-praktik yang sangat memprihatinkan seperti ini harus segera dihentikan di Indonesia.
Menteri Bintang bertanya, apakah kasus yang merampas hak dan merugikan perempuan tersebut benar merupakan bagian dari nilai budaya Sumba? Untuk menelusurinya, ia sampai harus terbang ke Sumba, Kamis (2/7/2020), untuk mendengar secara langsung dari tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, penyintas, pendamping, dan pemerintah daerah.
Ia meminta semua pihak bersama-sama mencari solusi atau upaya terbaik untuk menghentikan segala bentuk tindakan kekerasan yang merugikan perempuan dan anak, termasuk kasus penculikan di Pulau Sumba yang saat ini tengah viral di media sosial.
Upaya ini diperkuat dengan komitmen dalam penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba. Dalam pertemuan itu, menteri juga mendengarkan berbagai pandangan tentang perkawinan adat Sumba.
“Kasus penculikan merupakan salah satu bentuk kejahatan dan pelecehan terhadap adat perkawinan yang sakral dan mulia. Perlu ada langkah konkret untuk menghentikan agar hal serupa tidak terulang lagi,” katanya.
Strategi utama untuk melawan konstruksi sosial yang merugikan perempuan dan anak adalah dengan memahami dan mempelajari budaya setempat serta memberikan pemahaman mengenai hak-hak perempuan dan anak. Dengan lebih memahami budaya dan kearifan-kearifan lokal, strategi yang dibangun akan lebih tajam, terarah, dan berjangka panjang.
Dalam pertemuan itu, para tokoh adat menyampaikan sesungguhnya betapa masyarakat Sumba sangat memuliakan kaum perempuan. Mereka secara tegas menolak membawa lari perempuan untuk dinikahi atau yang dipersepsikan sebagai kawin tangkap dianggap sebagai wujud nilai-nilai adat dan budaya Sumba
Menteri Bintang juga mendengarkan kesaksian dari salah satu penyintas yang berhasil melepaskan diri dari rumah pihak laki-laki setelah sebelumnya ditangkap dan disekap di rumah laki-laki yang akan mengawininya.
Pada akhir pertemuan, Menteri Bintang menyaksikan seluruh komponen masyarakat dan pimpinan daerah Kabupaten Sedaratan Sumba serta Wakil Gubernur NTT menandatangani nota kesepahaman “Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba”.
“Penandatanganan nota kesepahaman ini bukan hasil akhir pertemuan melainkan menjadi awal dari rencana aksi yang akan dilakukan ke depan melalui kerjasama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah,” harap Menteri Bintang.
Hadir pula dalam pertemuan tersebut Bupati Kabupaten Sumba Tengah, Paul Kira Limu, Bupati Kabupaten Sumba Barat, Agustinus Niga Dapawole, dan Bupati Kabupaten Sumba Barat Daya, Kornelius Kodi Mete untuk menandatangani nota kesepahaman “Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba” antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba.
Kawin Tangkap Bukan Tradisi Sumba
Sementara itu, Komisi Anak Sinode Gereja Kristen Sumba, Pendeta Yuli, menegaskan pada prinsipnya sesuai dengan nilai-nilai warisan leluhur masyarakat Sumba, sangat menjunjung dan menghargai perempuan Sumba. Praktik kawin tangkap yang terjadi sekarang, tidak hanya merendahkan perempuan, tapi juga melecehkan tradisi yang turun temurun ada di Sumba. Kawin Tangkap juga merusak tradisi luhur nenek moyang orang Sumba.
“Saya sangat menyayangkan anggapan kawin tangkap sebagai budaya Sumba setelah viral video penangkapan perempuan secara paksa lalu mulai dibilang bahwa itu adalah kawin tangkap. Seolah-olah istilah kawin tangkap adalah kosakata baku yang berkaitan dengan budaya Sumba,” ungkap Pendeta Yuli.
Pada dahulu kala memang ada budaya sumba yang disebut Plaingidi, akan tetapi ada ikatan antara kedua belah pihak sehingga mereka dijodohkan dan kemudian melaksanakan perkawinan. “Jadi, saya tegaskan, bahwa orang Sumba sendiri tidak mengenal kawin tangkap.”
Ada beberapa hal yang menjadi catatan perhatian kita, di antaranya perlu ada pemahaman yang utuh tentang budaya perkawinan di Sumba termasuk unsur yang terkait dengan budaya tersebut. Perlu dilakukan pengkajian pemakaian pemahaman istilah.
“Dan tidak lagi memakai istilah kawin tangkap karena merupakan bentuk pelanggaran budaya perkawinan orang sumba sebab mengandung kekerasan fisik,” tambah Pendeta Yuli.
Lebih lanjut, Tokoh Adat Sumba Tengah, Andreas mengungkapkan pada 30 Juni 2020 tokoh adat dan tokoh agama di Kabupaten Sumba Tengah mengadakan pertemuan dan sepakat untuk dengan tegas menolak istilah kawin tangkap.
“Kami hanya mengenal istilah Plaingi di dalam budaya Sumba. Itupun dilakukan dengan tetap menghargai dan menjunjung tinggi martabat perempuan dalam hal perkawinan,” tuturnya.
Leluhur Sumba mewariskan budaya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban, terutama menghargai perempuan dan seorang ibu. Istilah yang disebutkan kawin tangkap sebagai bagian dari budaya Sumba dirasa sangat tidak pas, karena budaya sumba dengan jelas menempatkan harkat dan martabat perempuan sumba.
Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur, Josef Nae, mengatakan kasus penculikan yang terkena degradasi dan tersebar melalui media sosial sehingga tersebar ke seluruh Indonesia bukan merupakan nilai budaya Sumba.
“Kami bersama dengan para Bupati Sedaratan Sumba, tokoh adat Sumba, tokoh agama, kepolisian, dan masyarakat Sumba akan mengembalikan nilai budaya Sumba yang tercoreng akibat kasus penculikan yang berkedok budaya Sumba,” ujarnya.
Dikatakan, orang Sumba menyakini betul bahwa nenek moyang mewarisi nilai budaya yang memuliakan dan melindungi perempuan. Karena itu, pihaknya tidak setuju dengan kasus penculikan yang dianggap sebagai bagian dari nilai budaya Sumba.
Pelaku “Kawin Tangkap” Harus Dijerat Hukum
Kesepakatan bersama dalam pertemuan tersebut ialah memandang peristiwa semacam itu jelas sebuah tindakan kejahatan, bukan praktik kawin adat. Oleh sebab itu, aparat penegak hukum harus mengambil tindakan tegas, terutama bila korban masih usia anak.
Unsur Kepolisian Sumba Timur yang juga hadir menegaskan bahwa pasal kejahatan tentang tindakan tersebut sudah jelas dan akan segera bertindak bila ada pengaduan tentang tindakan bawa lari tersebut.
Menteri Bintang berharap agar dari kesepakatan bersama dalam pertemuan tersebut dapat memperkuat komitmen perlindungan terhadap perempuan dan anak dari ancaman tindakan bawa lari serta menegaskan pentingnya menjaga nilai-nilai yang memuliakan perempuan dalam adat Sumba. Menteri Bintang juga meminta agar seluruh Kabupaten Sedaratan Sumba segera membentuk P2TP2A sebagai wujud komitmen daerah.
Ahli Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Dr. Arianti Restianti Hunga, dalam diskusi virtual yang membahas kawin tangkap pada 7 Juli 2020, menyampaikan, apapun istilahnya, segala perkawinan yang dipaksakan harus dihentikan.
Perempuan yang lahir di Sumba ini, melihat terjadinya praktik kawin tangkap ditopang oleh budaya patriarki yang kental, kemiskinan, dan tidak meratanya pembangunan. Karena itu, penting untuk memberdayakan kelompok perempuan setempat supaya dapat bersikap kritis. Apalagi masih banyak perempuan yang tidak mengerti transaksi yang terkait dengan tubuhnya.
Sementara yang mendesak saat ini, adalah menyelamatkan para perempuan yang masih ‘diculik’. Bagaimanapun, korban kawin tangkap pasti mengalami luka mendalam.
Pemprov NTT harus menyusun Peraturan Daerah mengenai Belis atau perkawinan. Sebab menurutnya, banyak praktik perkawinan yang merugikan kelompok perempuan. “Karena saya rasa belis itu adalah tirani, tirani bagi perempuan Sumba,” tandasnya.
Syukurlah pemerintah pusat cepat turun tangan, mencari solusi terbaik. Terlebih para tokoh adat Sumba sudah memastikan jika “kawin tangkap” bukan tradisi Sumba. Karena itu, pelaku yang melakukan kejahatan penculikan dan memaksa pernikahan dengan berkedok “tradisi” harus ditangkap dan diproses secara hukum.
Tety Polmasari untuk Inspirasiana