Menginstrospeksi Diri atas Luasnya Kasih Sayang Ibu

Edukasi, Humaniora122 Dilihat

IBU, emak kita adalah perempuan yang melahirkan kita. Yang telah mengikhlaskan apa jua yang ada pada dirinya untuk kita, anaknya. Nyawa dipertaruhkannya saat kita dilahirkan. Air susu diberikan untuk kelanjutan kehidupan setelah kita dilahirkan. Selain air susu yang tidak akan ada penggantinya dan tidak akan pernah mampu kita menggantinya, Ibu juga mengeluarkan  air keringat saat dia bekerja berat membesarkan kita. Belum lagi air darah, air ketuban yang kesemua itu tidak akan pernah bisa kita ganti sampai kapanpun. Walaupun diberi air zam zam berkali-kali.

Begitu banyak yang Ibu berikan. Begitu besar dan luasnya kasih-sayangnya kepada kita. Beraneka ragamnya kasih-sayang Ibu kepada kita dan tak terbatasnya kasih-sayang Ibu terkadang justeru tidak berbalas oleh kita setelah kita besar dan dewasa. Jika pun kita menyanginya, tetap tidak akan berbanding denga kasih sayang Ibu kepada kita. Sudahkah kita menginstrospeksi diri atas begitu luasnya kasih-sayang Ibu itu? Mari kita tepuk dada, kita tanya selera kita.

Sungguh tepat peribahasa, “Kasih sayang Ibu sepanjang masa, kasih sayang anak sepanjang galah,” yang menggambarkan betapa tidak tepermanainya kasih-sayang bunda kita tapi begitu sedikit apa yang dapat kita berikaan kepadanya. Selama hidupnya sejak dia memiliki kita, rasa sayangnya tidak akan pernah luntur oleh apapun. Bahkan termasuk ketika ada di antara kita yang melawannya, mengasarinya dan tidak memperlakukannya seperti seorang ibu yang melahirkan kita.

Berita seorang anak mengasari, membentak bahkan seakan menjadikan ibu sebagai pembantu bukanlah pepesan kosong belaka. Ada banyak kita baca berita seseorang yang seolah lupa kalau selama 9 bulan ibu membawanya kian-kemari. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah Tuhan sudah tegaskan agar kita berlaku baik kepada Ibu kita seperti dapat kita baca di Al-Ahqoof yang maknanya,

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua, ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Ahqaaf : 46:15)

Tentu saja ada diantara kita yang sangat menyayangi ibu kita. Namun pastilah kasih sayang yang kita berikan kepada ibu belum dan tidak akan bisa membalas kasih sayang yang diberikan ibu kita. Bayangkan, orang yang berusaha menyayangi ibunya saja tidak akan dapat membalas kasih-sayang ibu. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tega melawan ibunya, sanggup memaki bahkan sampai memukul? Sadarkah kita, begitu besarnya kasih-sayang ibu, sampai Allah mengibaratkan bahwa surga ada di telapak kaki seorang ibu?

Sejatinya menjadi kesadaran seorang anak betapapun seorang ibu begitu ketat dalam disiplin, misalnya melarang kita untuk melakukan hal-hal tertentu, bahkan mungkin memarahi kita, itu tidaklah berarti ibu tidak menyayangi anaknya. Demi keselamatan anak-anaknya, seorang ibu akan melakukan apa saja, termasuk harus memarahi.

Sebagai seorang anak tidak ada kata lain selain kewajiban untuk menyayanginya, menyayangi kedua orang tua, menjaganya, merawatnya, terutama di usia senja mereka. Pernahkah kita bayangkan, saat seorang anak tertidur dalam dekapan ibunya, jika ada seekor nyamuk yang mendekat, ibu akan membunuh nyamuk tersebut. Apalagi jika ada bahaya yang lebih besar. Begitulah warna-warni kasih-sayang Ibu.

Kita ingat sebuah hadits menceritakan kisah seseorang yang datang kepada Nabi untuk bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Kita tahu jawab Nabi, ‘Ibumu!’ Ketika pertanyaan yang sama diajukan lagi, Nabi masih menjawab, ‘Ibumu’ bahkan sampai tiga kali, barulah ‘Ayahmu’. Artinya, balasan kasih-sayang Ibu itu diibaratkan tiga kali lebih besar berbanding kepada ayah. Tidak ada yang akan menyamai, apalagi melebihi warna-warni kasih-sayang ibu kepada anaknya berbanding kasih-sayang siapapun.***

Tinggalkan Balasan