Kepuasan Tak Ada Batasan? (Sebuah Refleksi)

PERASAAN puas sifatnya memang realatif. Sulit diukur. Ukurannya bisa berbeda setiap orang. Tapi tidak hanya rasa puas atau kepuasan yang sulit diukur. Semua perasaan sesungguhnya relative sifatnya. Tidak bisa dipastikan. Seperti perasaan senang, bangga, cinta, sedih, dan lain-lainnya adalah beberapa contoh perasaan yang tidak akan bisa diukur.

Setiap satu orang boleh jadi merasakan begitu. Rasa puas atau sebaliknya.  Tapi bagi orang lain boleh jadi tidak begitu. Artinya setiap orang bisa saja berbeda merasakannya. Meskipun kelihatannya sama apa yang dirasakannya. Begitulah perasaan puas. Dipastikan tidak akan mudah bahkan tidak bisa diukur.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata puas adalah merasa senang (lega, gembira, kenyang, dan sebagainya karena sudah terpenuhi hasrat hatinya). Dalam kalimat, ‘Ia merasa puas sebagai penyanyi,’ artinya dia merasa senang dan lega sebagai penyanyi. Atau dalam contoh kalimat, ‘Ia merasa puas melihat pekerjaan murid-muridnya,” maksudnya hatinya lega dan bangga atas pekerjaan murid-muridnya. Jadi, makna kata puas itu dapat disebut sebagai perasaan mencapai sesuatu pekerjaan lebih dari yang diusahakan.

Dari perasaan puas sesungguhnya ada target yang mestinya dicapai atau diwujudkan sebagai tindak lanjut dari perasaan puas yang didapatkan. Itulah rasa syukur atau keinginan berterima kasih atas apa yang dirasakan. Sayangnya untuk merasakan puas untuk mengarah kepada sikap bersyukur, itu tidak juga mudah. Bahkan untuk merasakan puas saja belum tentu mudah. Di sinilah perlunya refleksi diri. Harus memuhasabah diri sendiri atas apa yang dilakukan.

Ketika seseorang mendapatkan satu bagian atau satu tingkat dari satu harapannya bisa jadi dia akan berharap untuk mendapatkan bagian lain atau tingkatan lainnya. Setelah berhasil mendapatkan sepeda yang sudah lama diharap-harapkan, misalnya ternyata harapannya berubah untuk mendapatkan motor pula. Dengan alasan belum puas maka kini harapannya berubah dari keinginan mendapatkan sepeda menjadi keinginan mendapatkan motor.

Pada posisi sudah mendapatkan sepeda dia belum sempat merasakan nikmatnya dengan wujud syukur. Atau kalaupun sudah merasakan nikmatnya bersepeda berbanding berjalan kaki seperti sebelumnya, tidak juga terwujudkan dengan sikap bersyukur. Kini keinginannya sudah berubah kepada harapan mendapatkan motor. Meningkat.

Pada dasarnya berharap dari satu tingkat kepada tingkat lainnya tidaklah salah. Bukanlah sebuah kesalahan ketika seseorang menginginkan motor setelah sebelumnya hanya berkeinginan sepeda saja. Sikap salahnya adalah jika pada posisi capaian mendapatkan sepeda belum juga bisa bersyukur. Belum juga mensyukuri capaian itu. Di sinilah dikatakan tidak mudahnya merasa puas. Tidak cerdas juga berarti memuhasabah diri.

Seharusnya untuk setiap capaian wajiblah disyukuri. Bahwa ada harapan lebih tinggi atau lebih besar, tidaklah menjadi masalah. Utamanya bersyukur atas apa jua yang didapatkan, itulah yang termulia. Mengutip pernyataan Bob Sadino (1933-2015) yang mengatakan, “Gaji tinggi bukan jaminan kepuasan hidup. Bersyukur, berbagi, dan saling menyayangi, itulah kunci kepuasan hidup,”  tepatlah bagi kita untuk motivasi kepuasan. Artinya, seberapapun perolehan kita tidak harus disesali yang menyebabkan kita tidak bersyukur. Padahal bersyukur itulah yang menjadi pintu dan pembuka jalan untuk merasakan kepuasan. Maka marilah kita senantiasa pandai bersyukur atas  apapun yang mampu kita raih.***

Tinggalkan Balasan

1 komentar