Taklim Bakda Subuh di Darul Jannah

SUBUH Jumat (07/04/2023, bertepatan 16 Ramadan 1444) ini saya berjamaah salat subuh di Masjid Darul Jannah, Teluk Air, Kecamatan Karimun. Ini pengalaman pertama saya berjamaah subuh, apa lagi hari istimewa, Jumat dan dalam Ramadan di masjid yang lumayan jauh tempatnya. Biasanya saya subuh di masjid dekat rumah saja, Masjid Al-Ubudiyah, Wonosari, Kecamatan Meral. Jika tidak sedang mengikuti kegiatan Safari Subuh, saya tetap di Al-Ubudiyah saja.

Ada misi tertentu, saya ke Darul Jannah pagi ini. Kami –saya dan Mas Samsul Arif, Ketua Harian LPTQ– ingin bertemu Pak Bupati Karimun, H. Aunur Rafiq yang pagi ini melaksanakan subuhnya di masjid yang dikenal sebagai masjid jamaah (orang) sunnah. Bupati baru saja kembali dari Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umroh. Malamnya, Mas Arif mengajak saya ketemu bupati untuk membicarakan maslah LPTQ, khususnya tentang rencana STQH Tingkat Provinsi Kepri yang akan dilaksanakan di Kabupaten Karimun. Tapi bupati minta kami hadir di masjid Darul Jannah saja.

Catatan pengalaman yang ingin saya berbabgi di sini adalah tentang kesempatan mengikuti taklim bakda subuh yang dilaksanakan di sini. Bukan masalah mengapa harus bertemu K-1 itu. Perihal konsultasi kami dengan bupati, itu bagian penting yang hanya memakan waktu sebentar saja berbanding waktu menyimak pengajian subuh itu. Jelasnya, ketemuan dengan bupati berjalan lancar persis setelah salat subuh. Selesai itu –kurang-lebih lima menit saja– saya pun menyimak kajian yang disampaikan oleh salah seorang jamaah subuh pagi itu.

Saya melihat sosok penceramah ini masih muda. Mungkin sekitaran 25-30 tahun, umurnya. Saya tak tahu persis. Sebelumnya saya juga belum pernah berjumpa dengannya. Berambut panjang dengan kepala dan rambutnya itu ditutup semacam kain yang lazimnya dipakai ibu-ibu. Kelihatan sekali di dalam penutup kepala itu rambutnya yang panjang.

Meskipun saya melihat lahirnya dia berusia muda, tapi menyimak kajiannya seolah mendengar seorang dewasa setengah usia atau bahkan lebih tua dengan kajiannya yang lebih banyak bicara mati dan kehidupan di akhirat dari pada topik lainnya. Dia, misalnya memulai dengan menyebut kriteria kebahagiaan yang sejatinya dimiliki oleh umat Islam. “Bagaimana sebenarnya bahagia itu?” Begitu pertanyaannya kepada hadirin di majelis taklim itu. Ternyata manusia keliru memandang makna bahagia.

“Firaun menyangka dia akan berbahagia dengan kekuasaannya. Qorun menyangka dia akan bahagia dengan kekayaannya, dst…” dia memberikan beberapa contoh orang atau keadaan yang dikatakan berbahagia tapi sebenarnya itu bukan membawa bahagia. Katanya, bahagia itu sesungguhnya adalah karena amal agama. Bukan karena harta, pangkat, jabatan atau kuasa yang ada.

Bersyukur kita menjadi orang Islam dan beriman kepada Allah. Inilah sebenarnya yang akan membawa kita bahagia. Oleh karena itu dia mengingatkan, marilah kita sempurnakan iman kita dengan memperbanyak ibadah dan amalan kita, katanya. Katanya lagi, “Terkadang kita harus bersatu dengan derita. Kita harus dan ingin belajar bagaimana sempurnakan iman, itu hanya dengan berusaha sekuat tenaga. Oleh karena itu pula jangan lupa mensyukuri nikmat Allah,” katanya.

Ustaz muda ini mengingatkan jamaah yang hadir untuk terus sampaikan kehebatan dan kekuasaan Allah. Hanya Allah yang Maha Kuasa. Ingatlah bahwa setelah mati kita akan hidup abadi untuk pertanggung jawabkan  kehidupan kita. Katanya, kita percaya bahwa untuk dapat syurga perlu memiliki iman. Kita akan kejar akhirat untuk mendapat syurha karena sesungguhnya dunia ini tak ada nilai dibandingkan akhirat.

Saya terkesima mendengar paparannya yang begitu lancar. Ada banyak pesan-pesan agama yang disampaikannya di depan jamaah yang kebanyakannya adalah orang tua-tua yang sudah sepuh berbanding dia yang kelihatan relatif muda. Bagaimanapun, dalam menuntut ilmu tidaklah penting usia orang yang memberinya tapi bagaimana ilmu yang diberikannya. Saya bersyukur dapat menyimak kajiannya dalam taklim subuh ini.***

Tinggalkan Balasan