Pengalaman Mengikuti Vaksinasi Covid (Tak Sakit Tapi Sakit)

 

KAMIS (20/05/2021) siang. Saya ditelpon teman saya yang dokter itu. Dia menawarkan ikut vaksinasi covid-19. “Hari ini, hari terakhir kami melayani masyarakat umum. Kalau Bapak mau ikut vaksin, datanglah,” katanya. Saya langsung mengiyakan. Sekaligus saya mengajak isteri saya ikut. Inilah saatnya, kata saya dalam hati. Dulu, di periode pertama saya pernah mendapat kesempatan selaku pengurus MUI. Tapi waktu itu seumur saya tidak atau belum diperbolehkan.

Setelah sampai ke gedung pelayanan vaksinasi kami langsung dirujukkan ke petugas. Waktu petugas vaksinasi (masal) RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Muhammad Sani bertanya banyak tentang beberapa hal sebelum disuntik vaksin, saya jawab tegas semua pertanyaannya. Apakah Bapak ada riwayat jantung, saya jawab tidak. Apakah Bapak ada riwayat sakit gula, saya jawab tidak. Darah tinggi? Saya juga menjawab, tidak. Satu per satu penyakit itu ditanyakan ke saya, dan saya jawab satu per satu  juga dengan kata ‘tidak’ karena memang tidak ada.

Ditanya lagi, apakah ada minum obat rutin karena penyakit tertentu? Saya jawab, saya saat ini disarankan minum vitamin karena baru saja sembuh dari sakit dalam puasa kemarin. Kalau obat tidak ada, kata saya. Saya memang berusaha untuk tampil siap untuk mengikuti vaksinasi covid ini. Banyak teman-teman mengatakan bahwa vaksinasi covid menakuktkan. Saya tidak ingin kelihatan takut. Mungkin karena itu pula test detak jantung saya juga normal-normal saja.

Saya dengan perasaan tidak khawatir akan mampu dan layak ikut vaksinasi ini. Begitu saya menegaskan di hati. Dalam usia 64 tahun, saat ini, tentu saja saya berharap mendapatkan vaksinasi covid yang sudah dimulai sejak beberapa bulan yang lalu itu. Saya tadinya berharap mendapat kesempatan di gelombang awal. Ternyata  waktu itu para lansia seperti saya temasuk kategori ‘dilarang’ divaksin. Waktu itu perioritasnya sudah ditentukan Pemerintah. Barulah belakangan ada vaksin untuk para lansia. Dan saya pada keempatan dapat ikut.

Saat ditusuk jarum suntik oleh perawat yang cantik saya biasa saja. Bukan tidak merasa sakit atau tidak merasa apa-apa. Sekurang-kurangnya terasa seperti digigit semut merah yang kecil-kecil itu. “Jangan digosok,” pesannya setelah dicabutnya jarum suntik yang tadinya menancap di atas lengan sebelah kiri saya. Pesannya yang lain, kalau nanti terasa ada gejala lain seperti mual atau apapun, tidak usah khawatir. Banyak minum saja.

Saat menunggu reaksi obat kurang lebih 15 menit di ruang tunggu sekaligus menunggu dokumen bukti divaksin saya ngobrol-ngobrol dengan isteri saya. Dia bertanya, apakah lengan saya, bekas disuntik itu terasa sakit? Saya jawab tegas, tidak. Insyaallah tidak akan sakit hingga kita pulang ke rumah. Begitu kata saya ke isteri saya yang menyatakan sedikit perih bekas suntik di lengannya. Kami kebetulan berkesempatan ikut vaksinasi bersamaan.

Setelah mendapatkan dokumen bukti vaksinasi kami meninggalkan gedung itu. Di sepanjang jalan menjelang ke rumah kami ngobrol dengan topik vaksinasi covid yang baru saja kami alami. Dari rasa sakit hingga tidak sakit yang dialami para peserta vaksinasi merembes juga ke hal-hal lain. Dan tidak lama kami sampai ke rumah karena rumah kami kebetulan tidak terlalu jauh dari RSUD Muhammad Sani.

Tengah malam menjelang tidur dan saat tidur barulah saya tahu, ternyata yang saya katakana tidak sakit di RSUD, itu kini sakit juga. Tidur saya bahkan tidak terlalu nyenyak karena lengan kiri itu terasa ngilu. Isteri saya juga mengatakan begitu. Malah, pagi ini beberapa persendian ikut-ikutan ngilu. Karena badan sudah ‘senja’ atau karena memang begitu? Saya kuat-kuatkan saja perasaan saya, bahwa ini memang harus begini. Vaksinasi selalunya ada efek begitu. Cukup istirahat saja di rumah. Sesungguhnya harapan kita sebagai masyarakat, tidak sekadar mendapat kesempatan divaksi, tapi semoga virus corona ini segera nyah dari Negara kita.***

Tinggalkan Balasan

2 komentar