Memberi Khutbah adalah Khutbah untuk Diri (Juga)

PADA Idul Fitri 1443 (2022) ini saya mendapat amanah mengisi khutbah Idul Fitri di Masjid Al-Mubarak, Meral, Kabupaten Karimun. Terima kasih, pengurus. Itulah ucapan yang saya katakan di dalam hati, setelah permintaan pengurus di awal Ramadan saya terima. Sesungguhnya ini pekerjaan berat, tapi saya tidak elok menolak. Jika hampir setiap Jumat saya bersedia mengisi jadwal khutbah yang disusun PMKK (Persatuan Muballigh Kabupaten Karimun) mengapa pula permintaan mengisi khutbah Hari Raya salah tolak? Tidak baik.
Satu kebanggaan sekaligus beratnya ‘beban’ karena mendapat amanah di masjid bersejarah. Masjid Al-Mubarak adalah masjid tertua yang ada di Kabupaten Karimun selain Masjid Raja Abdul Gani di Pulau Buru, Kecamatan Buru, Kabupaten Karimun. Keduanya adalah cagar budaya yang amsih tetap aktif dipegunakan oleh masyarakat di sekitar.
Jamaah memenuhi halaman masjid karena panitia memang memutuskan, jika tiada hujan maka solat Id akan dihelat di halaman yang berpaving blok itu. Cuaca sangat bersahabat. Tidak hujan tapi juga tidak panas. Hingga pulul 08.20 prosesi solat Id usai, cuaca tetap adem. Saya menyaksikan jamaah tidak beranjak dari safnya masing-masing hingga khutbah selesai. Karena sejuknya cuaca, salah satunya.
Dipandu sebagai imam oleh Ustaz Ahmad, solat Id dimulai tepat pukul 07.20. Sejak pukul 06.45 jamaah sudah memenuhi halaman dan membentangkan sajadah masing-masing. Menjelang prosesi solat, waktu menunggu diisi dengan kumandang takbir dengan pimpinan bergantian di saf depan. Selanjutnya, seorang pengurus mengumumkan akan dimulainya solat sekaligus dia menjelaskan kaifiyat solat Ied secara ringkas.
Setelah solat dua rakaat dengan masing-masing tujuh dan lima takbir –diluar takbir ihram dan sujud– khatib pun naik mimbar. Khatib naik setelah diberi aba-aba dengan bacaan solawat oleh bilal. Selanjutnya penyampaian khutbah selama kurang-lebih 40 menit. Judul khutbah yang dibawakan adalah ‘Hakikat Kembali ke Fitrah’ yang intinya bagaimana posisi fitrah yang sejatinya dibuktikan dalam keseharian oleh umat.
Beberapa pesan yang disampaikan antara lain, bahwa keberadaan kita, manusia sebagai ciptaan Allah sesungguhnya semata hanya untuk beribadah (mengabdi) kepada-Nya. Karena Allah sudah tegaskan itu dalam Alquran (Azzariayat:56) yang maknanya bahwa Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Na. Ayat ini dikutip untuk menegaskan bahwa hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan kholiq dan makhluk yang terikat kewajiban itu. Manusia sendiri diciptakan Allah dalam keadaan bersih alias fitrah. Inilah inti hidup dan harus kembali ke inti ini.
Status fitrah yang dalam pernjalanannya ternyata bisa rusak –menjadi munafiq dan bahkan kafir–  oleh faktor lingkungan, itulah yang mesti dikembalikan menjadi fitrah. Dan potensi untuk fitrah itu dapat diraih setelah manusia (beriman) melaksanakan perintah Allah dalam bulan Ramadhan. Dengan melaksanakan puasa dan ibadah lainnya atas dasar keimanan, diharapkan manusia bisa menjadi muttaqin seperti firman-Nya dalam Albaqarah 183 itu. Dan jika mampu meraihnya, di situlah hakikat fitrah itu kembali dapat diraih.
Akankah kita benar-benar mampu meraih derajat takwa itu? Inilah muhasabah kita masing-masing dengan menilai sendiri mutu ibadah kita selama puasa itu. Itu pula yang khotib sampaikan pada momen Idul Fitri ini. Sesungguhnya mempertahankan status fitrah dengan tekun ibadah, berbuat apa saja semata karena Allah dan menjaga hubungan silaturrahim dengan baik (akhlakul karimah) maka di situlah hakikat fitrah dapat dibuktikan.
Satu hal yang ingin saya katakan pada catatan singkat ini adalah bahwa pada hakikatnya setiap khutbah atau pesan yang disampaikan khotib kepada jamaah (audien) itu adalah pesan untuk diri kita juga. Karena menyampaikan pesan atau nasihat itu bagaikan kita mengarahkan telunjuk (salah satu jari) kita kepada orang, sementara empat jari lainnya mengarah kepada kita sendiri. Jadi, tepat pesan orang tua-tua bahwa pesan kepada orang adalah pesan kepada diri sendiri.***

Tinggalkan Balasan