PENGALAMAN dan pejalanan saya mencoba menjadi penulis rasanya tidak biasa-biasa saja. Rada susah. Tidak pernah terasa mudah. Jika analogi angka 1-10, start dari nol, ketika memulainya ke angka satu atau dua saja rasanya lama dan susah. Tapi saya tidak pernah mau menyerah. Saya coba terus melangkah dan terus melangkah. Kalau perlu merangkak, jika melangkah dengan kaki berdiri belum bisa.
Ada perinsip yang saya pegang, jika suatu pekerjaan tidak mudah atau tidak terasa bisa bergerak ke arah kemajuan yang diharapkan maka janganlah pernah putus asa. Dalam keinginan saya untuk belajar dan bisa menjadi penulis saya merasa saya cukup tegar dan berusaha terus sampai bisa. Bahkan di usia berkepala enam, saat ini saya rasanya baru memulai kembali untuk belajar menjadi penulis. Ya, menjadi penulis yang tulisannya bisa dibaca orang.
Kekaguman saya kepada sosok ‘penulis’ memang sudah ada sejak lama. Sejak masih remaja bahkan anak-anak. Meskipun belum cukup dengan rasa kagum, tapi kekaguman itu pula yang melahirkan motivasi dan energi saya untuk mencoba menjadi penulis. Saya ingat, dari sejak Sekolah Dasar (SD) di sekitar tahun 1966-1971 saya sudah menyenangi pelajaran menulis. Waktu itu namanya pelajaran Mengarang. Di samping Pelajaran Berhitung (belum ada Matematika), Mata Pelajaran Mengarang adalah kesukaan saya.
Ketika saya melanjutkan pendidikan ke PGA-P ( setingkat SMP, 1971-1975) saya masih menyenangi pelajaran mengarang. Begitu pula ketika meneruskannya ke PGA-A (setingkat SMA, 1976-1977) di Pekanbaru bahkan mulai timbul kesukaan menulis yang lebih serius. Beberapa kali sayembara mengarang prosa saya menangkan. Tapi puncak saya benar-benar menyenangi aktivitas menulis adalah ketika saya menuntut ilmu di Universitas Riau (UR) antara 1978-1983. Hobi membaca ketika masih di desa tempo hari semakin terpupuk oleh banyaknya bahan bacaan di Ibu Kota Provinsi Riau itu. Saya tidak hanya menulis prosa berupa artikel sederhana tapi juga mulai menulis puisi dan cerpen.
Di tahun-tahun inilah saya mulai dan mencoba mengirimkan tulisan ke beberapa harian daerah dan ibu kota (Jakarta). Di harian Haluan, Semangat dan Singgalang (Padang) beberapa tulisan saya naik cetak. Di harian Pelita dan Swadesi (Jakarta) juga pernah muncul tulisan saya. Tulisan-tulisan periode inilah (khusus cerpen) yang akhirnya saya kumpulkan kembali untuk dicetak menjadi buku. Kumpulan cerpen saya berjudul “Duka Cinta di Awal Cita” adalah kumpulan cerpen sebagai buku pertama saya terbit yang cetakan pertamanya September 2008 melalui penerbit dan percetakan Unri Pers (UR Press). Buku yang berisi 16 (enam belas) judul cerpen ini diterbitkan oleh penerbit UR Pres itu masih secara indie, biayta ditanggungf sendiri. Saya memang tak sabar untuk mengirimkannya ke penerbit mayor sambil menunggu yang mungkin tak pasti. Buku ini dicetak ulang tahun 2010 dengan penambahan satu judul lagi dan perubahan ilustrasi covernya.
Waktu berlalu, masa pun berganti. Setamat S1 Keguruan dari UR (1983) saya langsung meninggalkan Pekanbaru karena mendapat SK (Surat Keputusan) sebagai PNS di salah satu SMA Tanjungbatu Kundur. Bermulalah saya sebagai guru PNS yang bertempat tinggal nun jauh di pelosok kampung (saat ini) di sebuah pulau. Rupanya situasi ini sama sekali tidak menguntungkan keinginan saya untuk menjadi penulis. Komunikasi yang amat susah ke ibu kota –provinsi bahkan kabupaten– di tahun 1985 hingga 1990-an membuat benih-benih kreativitas dan suka menulis saya mati suri. Dan barulah melewati tahun 2000-an ‘batang terendam yang lama tenggelam’ itu terasa timbul lagi. Sayapun memulai menulis lagi. Ternyata perjalanan ini berlika-liku juga.
Ketika koran-koran tidak lagi hanya terbit di Ibu Kota Negara, dan beberapa harian mulai terbit di daerah maka –sekitar tahun 1990-an– motivasi untuk menulis benar-benar kembali lahir. Bacaan yang mulai ada ikut memupuk motivasi itu. Di harian Riau Pos (Pekanbaru) dan Batam Pos (Batam) beberapa artikel opini saya mampu juga naik. Diiringi era internet maka semakin luaslah kesempatan untuk berkiprah kembali di kreativitas tulis-menulis. Harus saya akui, sesungguhnya saya serasa memulai kembali untuk belajar menulis pada saat itu. Kalau di era lalu saya sangat terbantu oleh mesin tik ‘Royal’ saya sebagai sarana tulis-menulis, kini komputer pribadi (PC), laptop, HP dan banyak lagi telah memberi ruang yang begitu luas untuk berkreasi di arena tulis-menulis.
Keinginan saya untuk terus menulis bertumbuh dan berkembang serta tertantang dengan mudahnya berinteraksi dengan teman-teman lain yang nun jauh entah di mana. Dengan hubungan dunia maya, saya merasa semakin banyak orang tempat belajar dan semakin banyak pula wadah tempat menyalurkan kreativitas kepenulisan. Harus saya tegaskan, selain kumpulan cerpen, saya juga sudah menerbitkan tiga buku lainnya dengan cara indie alias sponsor sendiri (self publisher). Dan itu adalah berkat fasilitas internet yang mendukungnya. Di beberapa blog sosial dan sebuah blog pribadi saya terus berusaha belajar menulis. Bahkan blog pribadi saya, saya beri judul ‘maribelajar’ dengan maksud bahwa blog itu memang tempat saya kembali belajar dan berpraktek menulis. Silakan dikunjungi https://mrasyidnur.blogspot.com/ yang sudah saya kelola lumayanlama.
Mimpi saya sesungguhnya belumlah terwujud. Jika angka perjalanan menulis ini direntang antara 0 hingga 10 itu tadi maka saya merasa belum mampu menggapai angka enam apa lagi angka delapan yang saya targetkan. Keinginan saya untuk terbitnya hasil karya saya di penerbit-penerbit terkenal (tentu bukan dengan sponsor sendiri lagi) belum tercapai. Tapi saya bertekad untuk terus melangkah. Jika pun tidak mampu melangkah, merangkak pun saya akan mencoba. Dengan banyak kesempatan untuk menerbitkan buku saat ini, tentu saja menambah semangat dan percaya diri untuk berkaya. Semoga bisa.***
Menulis sepanjang masa ketika usia masih ada dan kesehatan masih mengiziknannya. Begitu, kan?