Memulai Fiksi Mulailah dari Pentigraf

KEBANYAKAN penulis pemula memulai kreatifitas menulisnya dengan membuat cerita-cerita yang langsung dialami. Menuliskan pengalaman memang terasa lebih mudah dari pada membuat tulisan bukan pengalaman. Baik tulisan non fiksi maupun fiksi tentu lebih mudah jika didasarkan kepada pengalaman sendiri.

Membuat cerita fiksi seperti novel atau cerpen dengan menggunakan pengalaman sendiri banyak dilakukan penulis. Menggunakan pengalaman orang lain juga dapat dilakukan setelah melihat atau mendengar pengalaman itu. Tapi lazimnya dengan dasar pengalaman sendiri, itu lebih mudah menuliskannya.

Dewasa ini tulisan berjenis fiksi selain novel dan cerpen yang sudah familiar dengan pemahaman kita juga ada pentigraf atau Cerpen Tiga Paragrapf. Cerpen ini dapat dikategorikan ke dalam cerita mini (cermin) yang juga bagian dari cerpen. Novel, cerpen, cermin dan atau pentigraf pada hakikatnya adalah jenis sastra yang sama dengan perbedaan pada panjang-pendeknya cerita serta tokoh yang ditampilkan di dalamnya. Artinya, komponen atau unsur cerpen tetap ada di dalamnya.

Di saat pentigraf mulai banyak digemari oleh para peminat maka inilah kesempatan bagi kita yang mungkin tidak terlalu banyak waktu untuk membaca atau menulis. Maka mulailah dengan menulis pentigraf untuk tujuan nanti keinginan menulis cerita fiksi yang lebih panjang seperti cerpen atau novel.

Pentigraf atau Cerpen Tiga Paragraf, artinya karya sastra yang persis sama dengan cerpen tapi hanya tiga paragraph saja. Hanya jumlah paragrafnya saja yang lebih sedikit berbanding cerpen pada umumnya. Termasuk jumlah kalimat atau katanya juga dibatasi oleh pencetusnya pertamanya.

Beberapa kriteria pentigraf sebagaimana dijelaskan oleh penemu pertamanya, Dr. Tengsoe Tjahjono, M.Pd pada saat menjadi nara sumber dalam acara webinar Media Guru beberapa waktu lalu, adalah:

1) Hanya tiga paragraf. Setiap paragraf dikatakan tidak ada batasan kata atau kalimatnya tetapi maksimal semuanya terdiri 210 kata;

2) Setidak-tidaknya ada satu kalimat langsung (kutipan) di dalamnya;

3) Tetap harus ada unsur-unsur cerita/ narasi seperti tokoh, plot,alur, setting, dll;

4) Ada kejutan di paragraf penutup (paragraf ketiga);

5)Mengolah realita baru,bukan memindahkan realita ke dalam bentuk tulisan;

6) Dimunculkan konflik agar pembaca penasaran; dan

7) Fokus pada tema. Artinya unsure tema menjadi unsure yang sangat penting dalam pentigraf.

Satu hal yang diingatkan oleh Tengsoe adalah bahwa pentigraf adalah cerita sekali habis sebagaimana cerpen pada umumnya. Pentigraf bukanlah cerita yang harus atau bisa disambung dengan kisah berikutnya. Hal lainnya sebaiknya cukup fokus pada satu tokoh saja meskipun tetap ada tokoh lainnya.

Seperti pada criteria di atas, menurut Tengsoe, karena pentigraf hanya tiga paragraf maka sebaiknya dihindari kalimat langsung dengan mengubahnya ke bentuk narasi. Setiap cerita harus ada konflik, sehingga cerita lebih menarik. Artinya persis seperti cerpen atau novel juga. Mengapa diingatkan begitu? Karena mustahil sebuah cerita tidak ada konflik. Konflik itu bisa konflik antara manusia dengan dirinya sendiri, antara manusia dengan manusia lainnya atau antara manusia dengan alam, misalnya. Bahkan bisa juga konflik dengan kebudayaan dan dengan dengan Tuhan. Begitu dia menjelaskan.

Sesuai namanya, pentigraf hanya mempunyai tiga paragraf, yang sekaligus menjadi syarat utama. Sementara jumlah kata dalam pentigraf pun dibatasi pencetusnya, hanya 210 kata saja. Jika kurang dibolehkan tetapi jika lebih dari pada itu dianggap menyalahi ketentuan.

Saya ingin mencontohkan satu pentigraf yang saya tulis beberapa waktu lalu. Judulnya, Hadiah dari Calon Mertua

KALI ini Safro nekad datang. Dia tak peduli, apakah ayah Tina akan marah sebagaimana isu yang beredar. Pokoknya harus datang kali ini, katanya di hati. Selama ini memang beredar isu, cinta Safro bertepuk sebelah tangan. Orang tua Tina, khususnya Bu Hani, tidak mau bermenantu pengangguran. Sementara Safro merasa tidak sedang menganggur.

Cintanya kepada anak gadis Pak Imran, suami Bu Hani sudah tak terbendung. Tina sendiri sudah memberi lampu hijau, menurut Safro. Betul, Tina belum pernah menjawab harapan Safro secara jelas setiap Safro bertanya. Tapi Safro selalu berhasil mengajak Tina minum di Café Coastal Area. Setiap ngopi itu Safro menyatakan cintanya. “Aku benar-benar sayang ke kamu.” Begitu selalu dikatakannya.

Malam Ahad ini, tanpa SMS, tanpa chat di WA Safro langsung saja ke rumah Tina. Katanya mau mengapel Tina, gadis yang membuatnya seperti setengah gila satu bulan ini. Tanpa ba bi bu, selepas magrib, itu motornya sampai ke pekarangan rumah Tina. Lalu diparkir. Lalu mengetuk pintu rumah. Dan keluarlah Ibunda Tina yang masih menggunakan mukena. Tentu saja baru selesai magrib. “Mau mencari Tina, kan? Tunggu, ini ada titipan untuk kamu, katanya tanpa memberi apapun. Kamu Safro, kan?” Nauzubillah, Safro keget yang keluar si judes itu. Lalu Bu Hani masuk kembali dan tidak keluar lagi. Hingga azan Isya, Safro duduk sendiri di bawah teras yang lampunya belum dihidupkan.***

Tinggalkan Balasan