ADA banyak cara orang ingin menipu. Ujung-ujung targetnya adalah fulus alias duit. Bagaimana mendapatkan uang dengan gampang, itulah yang menjadi tujuan. Namanya penipu tentu saja tidak akan malu asal dapat apa yang dia mau. Apakah kita mau atau akan mudah mereka tipu, akan tergantung pengetahuan, pengalaman dan cara kita menyikapinya.
Kebetulan di awal bulan kemarin, saya nyaris tertipu. Seseorang menelpon seolah-olah sebagai aparat. Tepatnya seolah seorang polisi yang ingin menolong. Tapi saya tidak semudah itu akan tertipu. Apalagi ini pengalaman yang kedua dengan modus yang persis sama saya alami. Akhirnya telponan itu justeru saya jadikan sebagai bahan tulisan. Lumayan ada bahan untuk literasi hari itu. Dua hari sesudah peristiwa telponan itu saya tulis dan posting di blog poribadi.
Sudah larut malam, saat itu. Tepatnya hari Senin, 2 Agustus 2021 yang lalu. Hampir pukul 11 malam. Sejatinya saya sudah dibuai mimpi pada jam itu. HP saya tiba-tiba berdering saat saya merasa sudah terlelap sejenak. Saya bangun. Saya mengangkatnya. Meskipun mata saya terasa berat karena sudah tepejam sejak beberapa menit yang lalu, saya paksakan menjawab panggilan telpon itu. Saya tetap mengangkat HP meskipun di tengah malam karena saya selalu berpikir, setiap panggilan telpon yang masuk pasti itu penting bagi yang menelponnya. Apalagi pada jam-jam tidak biasa. Perinsip ini memang masih saya pertahankan meskipun ternyata berpotensi disalahgunakan orang yang tidak berniat baik.
Di seberang sana terdengar suara. Tapi bukannya ucapan selamat malam, asalamualaikum atau ucapan lainnya sebagai ucapan pembuka sapaan di telpon yang saya dengar. Saya justeru mendengar suara seperti anak laki-laki menangis sambil memanggil ayah. “Ayah…ayah…,” begitu suara di seberang sana sambil menangis yang saya dengar. Kok memanggil ayah? Apa ini salah sambung? Kata saya di dalam hati. Tapi saya tetap menyapa dengan kalimat biasa, hallo…hallo sambil mengatakan suaranya terputus-putus dan kurang jelas. Kebetulan juga suaranya agak kurang jelas.
“Ini… bapak… siapa?” Seseorang seolah mengambil telpon itu. Saya mendengar suara orang lain bertanya kepada saya. Bukan suara lelaki yang tadi pertama saya dengar. Tentu saja saya heran, dia yang menelpon saya, kok malah bertanya siapa saya. Bukannya dia tahu sebelum menelpon? Biasanya orang yang menelpon kita adalah orang yang memang mengenal kita. Dia menyebut dirinya adalah polisi. Sirr, pikiran saya langsung ke mana-mana. Ini salah sambung atau memang orang yang salah dan sedang menelpon untuk berbuat salah?
Saya mulai curiga. Pertama, mengapa penelpon awal, itu tadi menyapa saya dengan panggilan ayah? Anak-anak saya tidak memanggil saya dengan sapaan itu selama ini. Tentu saja saya curiga. Kedua, kok dia bertanya, siapa nama saya sambil menyebut bahwa dia katanya dari kepolisian? Dia memperjelas, kalau dia adalah polisi yang memastikan orang tua dari anak yang tadi menangis di awal telpon. Katanya, anak itu sedang diamankan polisi. Kemundkinan itu adalah anak saya. Weh, saya terkesiap juga dengan keterangan itu. Tapi sedikit banyak saya agak curiga. Malah curiga betul.
Kecurigaan saya semakin kuat karena beberapa waktu lalu saya pernah mendapat telpon yang sama polanya. Saya ingat dan kebetulan saya menulisnya juga di blog dengan judul catatan Kisah Nyata, Menipu Penipu yang saya posting pada 24 Februari 2013 silam. Sudah lama sekali peristiwa itu. Tapi saya menyimpulkan, telpon malam ini adalah telpon penipu juga yang ingin menipu saya. Pasti saja saya tidak ingin tertipu. Peristiwa pertama dulu saya juga behasil terlepas dari tipuan mereka. Justeru saya yang ingin menipu mereka dengan cara mengulur-ulur telpon mereka.
Saya terus memancing dengan menjawab panggilanya. Berulang-ulang saya katakan, kalau suara mereka kurang jelas sambil terus saya jawab pertanyaan mereka. Sementara itu isteri saya yang berada di sebelah kiri saya juga ikut mendengar karena memang belum tertidur saat itu. “Siapa?” tanyanya. Saya meneruskan saja menjawab suara di seberang telpon tanpa menjawab pertenyaan isteri saya. Saya hanya menjawab dengan meletakkan telunjuk kiri ke mulut saya.
Dalam waktu yang sama, saya menggunakan HP satu lagi saya mengontak anak saya, apakah dia ada di rumah (di kamarnya) atau lagi di luar. Saya harus pastikan kalau anak-anak saya memang tidak sedang di luar rumah. Ddan ternyata kedua anak saya, ada di kamar masing-masing. Menantu saya yang beradadi rumah lainnya juga saya pastikan ada di dalam rumahnya. “Hello, maaf kami dari kepolisian. Ini siapa?” tanyanya beberapa kali. Tentu saja saya balik bertanya, “Bapak cari siapa?” Saya pura-pura begok saja agar polisi gadungan itu aktif menginterogasi saya dari jarak jauh.
Saya mendengar suaranya sedikit meninggi. Dia seolah mengancam ‘anak gadungan’ yang dikatakannya anak saya itu untuk diproses lanjutan. Saya berusaha menjawab dengan nada khawatir juga. Tapi ternyata mereka mulai mengetahui kalau kedoknya sudah saya ketahui. Penelpon itu malah bersuara kasar dan mengeliuarkan kalimat tidak sopan sambil menutup telpon. Sungguh, saya tidak salah menduga kalau itu adalah komplotan penipu. Itulah telponan tipuan yang harus diwaspadai.
Sering kita dengar orang tua (seringnya Ibu-ibu) tertipu oleh kelompok ini. Dengan menyebut salah seorang keluarga ada masalah, entah kecelakaan, ditangkap polisi dan lainnya, mereka lalu menghubungi orang tua. Dengan banyak alasan, mereka minta segera transfer uang agar masalahnya selesai. Jika orang tua sudah terlanjur mengirimkan uang, maka tertipulah orang tua itu.
Saya sendiri, malam itu ingin lebih lama berbicara dengan mereka. Tentu bagian dari usaha memancing mereka. Sepertinya malam ini, saya tidak bisa lama berbicara dengan mereka. Mungkin mereka tahu kalau kedok mereka sudah kita ketahui. Sekurang-kurangnya saya dapat menjadikan kejadian ini sebagai bahan tulisan saya. Literasi dapat dibuat, waspada dan kehati-hatian juga diperkuat.***