INILAH sensasi naik boat pancung yang sungguh mendebarkan. Digoyang gelombang ukuran sedang tapi serasa melayang. Tidak terlalu besar tapi tetap saja membuat gusar. Perut bak dikocok di sekitar pusar.
Berangkat dari Pelabuhan Pinang Sebatang, Tanjungbalai Karimun alias Balai kami awalnya biasa-biasa saja. Sebagai lelaki yang hidup di kepulauan naik boat pancung seperti ini sudah bukan hal baru. Sekadar tahu saja pelabuhan Pinang Sebatang, ini ada di seputaran Kantor Satpol PP Kabupaten Karimun. Tidak jauh dari Bea Cukai Tanjungbalai. Pelabuhan yang selalu dipergunakan oleh pejabat Pemda –bupati atau wakinya—jika akan berkunjung ke pulau-pulau di sekitar Kabupaten Karimun.
Kemarin Jumat (26/11/2021) itu, ada tugas dari Kwarcab Karimun. Berangkat ke Moro karena ada kegiatan Karang Pamitran Kwarran Moro yang harus dibuka oleh Ketua Kwarcab. Kebetulan Ketua (Umum) Kwarcab dan Ketua (Harian) tidak bisa hadir ke Moro, maka wakil dan beberapa pengurus lainnya sebagai ganti. Kami, rombongan pengurus Kwarcab Pramuka Kabupaten Karimun berangkat menggunakan kapal (boat) pancung itu. Biasanya menggunakan Kapal Pemkab, jika yang berangkat itu Bupati, Wakil Bupati atau Sekda. Kali ini kami berangkat sebagai Ketua Rombongan adalah Sekretaris Kwarcab, Kak Dol. Saya dan beberapa orang pengurus lainnya ikut bersama.
Inilah sensasi naik boat pancung yang saya rasakan. Cuaca tidak terlalu berangin. Tapi gelombang kecil-kecilan di tengah laut lepas saat menyeberangi laut Internasional, itu tidaklah mengenakkan. Ukuran boat selebar kurang dari dua meter dengan panjang 10-an meter, bukanlah kendaraan laut yang membuat tenang perasaan di tengah laut lepas itu. Gelombang kecil dan sedang tetap membuat kami benar-benar berdebar selama di tengah laut.
Tepat pukul 13.40 boat kami bergerak. Dalam 10, 20 menit berikutnya kami sudah digoyang gelombang. Meliuk ke kiri dan ke kanan, begitulah tekong (pemegang kendali) menjalankan boatnya. Semburan air laut terkadang menembus kain terpal yang menutup kiri-kanan boat. Tapi kami tetap tenang. Berbicara biasa saja. Bergurau juga bersama likuan boat yang menegangkan perut kami. Butuh hampir satu setengah jam perjalanan kami dari Tanjungbalai Karimun ke Pulau Moro. Dan kami selamat sampai ke Moro menjelang waktu asar.
Perjalanan pulang (Moro-Balai) ternyata lebih menantang lagi. Perasaan kami terasa lebih mengkhawatirkan. Itu bermula dari hadiup-matinya salah satu mesin boat kami. Ada dua mesin tempel menjadi tenaga pendorong boat kami. Saat berangkat dari Karimun tidak ada masalah. Tapi ketika kembali ke Karimun, terjadi beberapa kali kerusakan mesin itu. Mula-mula mesin sebelah kiri yang mati setelah kami memulai perjalanan dalam 20 menit pertama. Dengan ketelatenan kapten alias tekong, mesin hidup kembali. Tapi dalam 10 menit berikutnya dia mati lagi.
Beberapa kali mesin tempel boat kami mati. Kami tentu saja khawatir. Jika mesin itu mati kedua-duanya, boat kami tidak akan dapat dikendalikan. Dan bisa kami kembali ke Moro berhanyut-hanyut karena arus laut sepertinya memang ke arah belakang kami. Sungguh ini sensasi luar biasa yang saya rasakan selama beraktifitas di pramuka kwarcab.
Meskipun harus menempuh perjalanan yang terasa lebih jauh bebanding ketika berangkat siangnya, bersyukur kami karena kami selamat sampai ke Tanjungbalai. Sekitar pukul 19.05 kami baru bisa merapat di Pelabuhan Domestik Tanjungbalai Karimun. Saya ingat, ketika berangkat meninggalkan Moro, jam menunjukkan pukul 17.00. Itu berarti dua jam lebih kami ‘berenang’ di laut antara Moro dan Tanjungbalai Karimun.***
Mengerikan