“Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan“. Diponegoro (Pahlawan Nasional)
Hidup adalah sebuah perjalanan yang butuh spasi. Ada yang bertahan karena keharusan, tuntutan, dan cita-cita. Bagiku cita-cita bukanlah sebuah takdir, tetapi penunjuk arah menuju kesuksesan. Jalani dengan menabur karakter maka kita akan menuai takdir.
Terkadang kita terlalu memandang indahnya langit, tanpa tau rasa bumi yang kesakitan atas injakan kaki kita. Terkadang kita terlalu mengejar yang terlampau jauh tanpa tau jika bumi sudah menyuguhkan segala kebaikan dari yang teramat dekat. Apa yang teramat dekat itu? adalah Tuhan atas segala kebaikan-Nya.
Aku pernah ada pada titik merayu takdir , namun semakin ku rayu aku semakin terjatuh pada sumbu paling gelap. Ketika Dillan berkata jika ‘Rindu itu berat’ maka bagiku yang amat berat adalah ‘merayu takdir’. Waktu itu ketika berada di semester 2 awal jadi mahasiswa, mengandalkan pemberian orangtua tak memberiku ketenangan. Merasa memikul hutang atas segala kebaikan mereka. Hingga sampai pada titik harus merayu takdir dengan cara mencari pekerjaan. Melamar ke sekolah yang dekat dengan kampus, dengan harapan membebaskan tanggungan orangtua atas diriku.
Kacamata keberuntunganpun datang, sebuah sekolah SD Kristen menerima lamaranku menjadi pengajar pramuka. Istilah Kakak Pembina kemudian tersemat dalam diriku. Setiap Jum’at sore aku mengajari mereka para murid SD yang lugu. Celotehnya yang lucu membingkai kenangan dalam ingatan. Enam bulan berselang, batin ini semakin lekat dengan mereka. Aku merasa sebagai pemilik takdir yang sempurna, mengajari mereka yang berbeda keyakinan menjadikanku lebih tau cara menghargai budaya dan toleransi. Kedekatan diantara kami seakan menepis jarak jika aku dan para anak didiku tak seperti guru dan siswa melainkan seperti kakak dan adik.
Jalan hidup tak selamanya mulus. Dalam hidup ini, kita tak melulu harus mempertahankan apa yang tak seharusnya menjadi milik kita. Kebersamaan yang indah tak selalu berbuah manis. Seperti kebersamaanku dengan mereka yang sampai pada episode ‘memetik perpisahan.
Babak perpisahan itu dimulai, ketika sang kepala sekolah menariku menuju ruangannya. Kami berbicara serius penuh makna, yang sampai pada sebuah kesimpulan ‘Jika ingin tetap mengajar, maka jangan berkerudung’. Ini tentu bukan sekedar perintah, melainkan memaki harga diri. Aku takan menggadaikan agamaku hanya demi sebuah jabatan atau pekerjaan.
Percakapan serius itu, hanya berlangsung lima menit. Tak perlu berpikir panjang, aku memberikan jawaban yang paling tegas terhadap kepala sekolah, sebuah jawaban paling terhormat dengan pernyataan ‘mengundurkan diri’. Sejak itu, terputuslah ikatanku dengan mereka. Dengan lembaga, dengan siswa dan dengan seluruh rekan yang pernah membersamaiku.
Ini bukan lagi tentang profesionalisme, tetapi menjaga akidah dan kehormatan agama. Bukan salah mereka, tetapi aku terlalu semangat dalam merayu takdir. Seharusnya sedari awal aku sudah tau dengan konsekuensinya, tetapi aku berusaha menepis hingga kecewa pada akhirnya.
Kekecewaan itu aku bawa lari ke kampung halaman. Menyepi dari keramaian dan berserah pada Illahi. Seminggu kemudian, teman ibuku datang bertamu. Dia adalah seorang guru di SMP pelosok di kecamatanku. Ia datang dengan memberi kabar terbaik yaitu meminangku menjadi guru Bahasa Inggris di sekolahnya. Dari saat itu aku pun dijemput takdir, tepatnya ketika kuliah semester 3. Maha baik Allah dengan segala rezeki-Nya.
Lepaskanlah sesuatu yang bukan milikmu. Maka esok lusa Tuhan akan memberimu yang terbaik. Kita tak perlu memanjati segala keinginan karena hidup adalah garisan Tuhan. Takdir hebat pasti tercipta untuk kita selama kita berusaha.
-Sekian-