Setiap orang pasti memiliki nilai karakter positif di antara kekurangannya. Nilai-nilai, aura” positif cermin teladan untuk pembelajaran diri. Teladan pribadi positif itu salah satunya saya temukan pada sosok pasangan kompasianer yang setia merawat pertalian kasih pernikahan hingga memasuki 60 tahun lamanya, Tjiptadinata Effendi dan Roselina. Dua sosok dengan pribadi positif, bertaut relasi cinta yang bukan hanya menginspirasi namun menggerakkan tentang kepribadian positif. Beliau berdua bagaikan cermin yang tak pernah retak.
SAYA bergegas menghampiri sosok yang duduk menghadap meja panjang di antara teman-teman kompasianer. Sosok yang kali pertama jumpa darat saat ajang kopdar Kompasianival 2014 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 10 tahun silam, Tjiptadinata Effendi.
“Apa kabar? Terima kasih ya sudah datang,” ujar pria itu ramah sambil menyambut uluran tangan saya untuk berjabatan.
Momen itu terekan jelas di ingatan. Pertemuan bersama puluhan kompasianer atas undangan beliau, beberapa tahun silam. Sebuah Rumah Makan Padang tenar tak jauh dari Stasiun Juanda, Jakarta Pusat, menjadi saksi kehangatan temu ”kecil” belasan kompasianer itu.
Entah berapa kali saya berkesempatan bertemu darat dengan pasangan kompasianer yang saat ini bermukim di benua Australia, Tjiptadinata Effendi dan sang istri, Roselina itu. Sosok pasangan serasi yang sering saya sapa dengan nama panggilan, Pak Tjip dan Bu Rose.
Beberapa kali ketemu dengan beliau berdua. Seringnya saat ajang kompasianival Kompasiana. Secara saya tak pernah absen menghadiri acara kopdar terbesar Blogger Kompasiana itu sejak kali pertama saya hadir tahun 2013. Ajang yang acapkali beliau berdua juga turut hadir.
Beliau lebih mengenal saya dengan nama fiksi yakni Rahab Ganendra. Fyi, saya menggunakan nama asli, Rachmat Pudiyanto baru setahun belakangan ini hehehe.
Nama fiksi yang lekat di benak kompasianer sejak dulu bersama Pak Tjip “sepanggung” menerima Kompasiana Award 2014, 10 tahun silam. Beliau menyabet penghargaan Kompasianer of The Year 2014. Sedangkan saya kategori Best Fiction 2014.
Dalam setiap kesempatan pertemuan dengan beliau, saya selalu merasakan aura positif. Ramah dan hangat. Tutur katanya terukur, terjaga dengan baik. Adem ayem. Teduh. Di balik itu ada pancaran kuat rasa ketulusan, kasih dan cinta.
Aura bijak “kebapakan” lekat pada figur pendiri Yayasan Waskita Reiki Pusat Penyembuhan Alami sekaligus Ketua Asosiasi Reiki Seluruh Indonesia itu. Demikian pula aura “keibuan” lekat pada sang istri, Bu Rose.
Saya merasakan aura spiritualnya. Pada sebuah kesempatan saya pernah dengarkan sharing Pak Tjip tentang Reiki. Pernah berkesempatan, sharing dengan Bu Rose tentang Kundalini.
Bukan hiperbola, kalau saya bilang beliau patut menjadi cermin teladan kebaikan. Saya teringat, dulu sosok Pak Tjip dan Bu Rose, seringkali menjadi salah satu kompasianer inspiratif yang menjadi bahan pembicaraan saat saya “ngopi-ngopi” bareng Thamrin Sonata (alm), dan Bang Isson Khaerul.
Thamrin Sonata, kalau gak salah merupakan kompasianer yang pernah membidani penerbitan buku-buku beliau masa itu. Jadi sedikit banyak mengenal dengan baik Pak Tjip dan Bu Rose.
Tentu pembicaraan yang positif, harmonisasi, kehangatan serta kebaikan kedua sosok itu di usia senjanya.
Secara umum, “tumpahan” pandangan-pandangan inspiratif khususnya tentang hidup, saya peroleh melalui tulisan yang diunggah di Kompasiana. Tulisan-tulisan beragam, terselip “cermin” laksana hujan yang menyuburkan tanaman “jiwa”. Bagi saya semacam “hardikan lembut tongkat” yang mengingatkan.
Sebagai penulis Kompasiana, beliau cukup produktif. Pak Tipt per 6 Oktober 2024 sudah menulis 7442 artikel dengan keterbacaan lebih 6,8 juta. Akun Kompasiananya dibuat pada 14 Oktober 2012.
Sementara Bu Rose yang terdaftar akunnya pada 12 Januari 2013, sudah menulis 1651 artikel, dibaca 1,3 lebih. Amazing!!!
Kalau dibanding dengan saya, baru menulis 885 artikel pada satu akun. Jika dijumlah dengan artikel dari 2 akun lainnya (saya punya 3 akun kompasiana, beda genre), baru 1000 lebih sekian artikel. Sekarang saya hanya aktif di satu akun “Rachmat Pudiyanto”. Akun pertama yang saya buat tahun 2011 silam, meski baru benar-benar aktif menulis 2 tahun kemudian.
Nah kalau membaca artikel-artikel beliau berdua, banyak tentang memaknai pengalaman hidup “menyisipkan” noktah pemahaman yang membuka cakrawala pembaca.
Pemahaman buah dari pengalaman hidup yang sedemikian panjang. Mengingat keduanya sudah mengarungi biduk pernikahan 60 tahun lamanya serta melanglang berbagai negara di dunia.
Saya pribadi merasakan insight dari kedua sosok. Pemahaman, sikap, perilaku yang bernilai untuk merawat nilai positif dalam diri.
Saya mencatat beberapa teladan yang saya petik sebagai cermin dari sosok Pak Tjip dan Bu Rose.
Keramahan Bersahabat
“Cakwe? Wah sudah kangen ah hehehe
Selamat pagi ananda Rachmat Pudiyanto. Senang kita dapat bertemu lagl di pagi indah ini. Semoga selalu dalam lindungan Tuhan bersama keluarga tercinta. Terima kasih untuk informasi yang berharga tentang Cakwe
Salam hangat untuk sekeluarga.”
Sapaan pagi Pak Tjip dalam komentar artikel pada Sabtu 5 Okrober 2024 itu, satu di antara komentar yang ada dalam artikel yang saya tulis. Khususnya 4 bulan belakangan ini, seiring rajinnya saya mengunggah artikel di Kompasiana.
Senada semangatnya dengan komentar dari Bu Rose.
“Selamat pagi ananda Rachmat Pudiyanto. Senang sekali dapat bertemu lagi di pagi ini. Terima kasih sudah berbagi tulisan sarat dengan informasi yang berharga. Salam hangat untuk sekeluarga. Semoga selalu dalam lindungan Tuhan bersama keluarga tercinta”.
Beliau berdua biasa aktif saat waktu Subuh. Seperti saya, yang seringnya mengunggah artikel saat pagi hari. Melalui interaksi komentar di artikel, kesan bagi saya adalah semangat “membuka hari” beliau awali dengan menyapa. Bentuk merawat persahabatan “mutualan” sejak perkenalan ditakdirkan. Hal ini bagi saya bukan hal sepele.
Ini seperti sebuah bentuk menghargai, mensyukuri sebuah takdir pertemuan, dimana perkenalan saya dengan beliau (10 tahun silam) bukanlah sesuatu yang kebetulan.
Saya meyakini, tidak ada hal kebetulan di dunia fana ini. Semua peristiwa di bawah kendali/ pengaturan Sang Maha Pengatur.
Oleh karenanya saya menyambut baik keramahannya melalui jalur interaksi artikel Kompasiana itu. Keramahan yang beliau lakukan kepada banyak kompasianer khususnya yang aktif menulis di kompasiana.
Keramahan bersahabat yang sama, saya rasakan saat bertemu darat dengan beliau di masa dulu.
Pesan kuatnya adalah motivasi untuk merawat pertemanan dan persahabatan. Hargai dan rawat persahabatan, dimana dan kapan pun waktunya.
Pererat Persahabatan
Semangat memupuk persahabatan sangat kuat terpancar pada diri Pak Tjip dan Bu Rose. Membangun interaksi via blog Kompasiana merupakan contoh kecilnya.
Beliau dengan sedemikian humble tulus membangun jalinan persahatan serta merawatnya. Menerima persahabatan dari segala latar belakang, mengingat blogger Kompasiana datang dari ragam karakter.
Pedomannya simple saja. Kalau saya petik dari artikelnya di Kompasiana berjudul “Persahabatan Passing Over”, Pak Tjip memberi kata kuncinya.
“Memahami dan menerima kenyataan bahwa setiap orang berhak untuk berbeda dengan diri kita.”
Kalimat kutipan itu bagi saya berpesan bahwa semua orang punya hak untuk berbeda. Baik sisi pendapat atau pandangan. Jika kita bisa menerima perbeadan itu, maka persahabatan akan terawat dengan baik dan semakin indah.
Kehangatan yang Optimis
Rasanya, tak ada kompasianer yang tidak merasakan pancaran kehangatan sosok Pak Tjip dan Bu Rose. Bahkan bagi yang belum pernah kopdar bareng beliau sekalipun, yang hanya mengenal melalui interaksi daring.
“Kehangatan” beliau melalui tulisan, membawa cermin perasaan damai penulisnya.
Kehangatan yang terasa di setiap interaksi saat berjumpa darat, luring dan daring itu, saya tangkap sebagai ekspresi optimis. Tiada hal yang baik untuk dikeluhkesahkan, meski seberapa pun banyak masalah.
Seperti menyiratkan apapun kondis dan suasana hati, jangan sampai menyusahkan orang lain. Jangan sampai menghapus rasa optimis yang akan berdampak negative, termasuk pada diri sendiri.
Sebuah teladan sikap dan perilaku positif. Menyiratkan pesan, tak ada masalah hidup yang tak dapat diselesikan, jika rasa optimis selalu dicerminkan.
“… apapun masalah hidup yang sedang dihadapi pasti akan ada jalan keluarnya.” Petikan kalimat dari artikel Pak Tjip berjdul, “Merawat Kedamaian Hati”.
Kasih Sayang & Cinta
“Marah adalah kegelapan yang menyelimuti hati, cintalah yang menerangi jalan.” – Kahlil Gibran
Kalimat penyair, pemikir Kahlil Gibran itu menyiratkan bahwa ketika cinta itu ada, maka rasa marah bisa terkontrol. Selanjutnya kasih dan cinta membuat hubungan semakin harmonis.
Kasih dan cinta bisa dimulai dari keluarga, sebagai orang paling dekat. Keluarga dengan anak-anak yang membutuhkan didikan orang tua. Hubungan yang harmonis adalah kunci.
Saya menelaah artikel Bu Rose berjudul, “Merawat Hubungan Anak dan Orang Tua”.
Bahwa kesibukan membuat jarak hubungan bisa semakin jauh. Membuka potensi hubungan dengan keluarga,, anak-anak kurang bagus.
Padahal perilaku anak itu tumbuh dari mencontoh sikap dan perilaku orang tua. Sesuai dengan apa yang mereka alami semasa kecil. Mereka mengingat contoh-contoh yang diberikan kepada mereka dalam kehidupan mereka.
Cerminnya adalah hubungan harmonis, saling peduli misal dalam hubungan keluarga, mendidik anak, merupakan buah dari menumbuhkan rasa kasih dan cinra. Sikap dan rasa yang bisa bermakna luas diperuntukkan bagi semua orang.
Mensyukuri Segala Hal
Tentu kita semua bersepakat, kalau bersyukur itu menghadirkan rasa damai dalam hati.
Pak Tjip melalui artikelnya berjuul, “Merawat Kedamaian Hati”, bahkan mengatakanbahwa “Aneh tapi nyata, hanya dengan mengucap syukur, ada rasa nyaman dan aman dalam hati.”
Saya membuktikan seniri, rasa syukur itu sikap mulia yang bisa membunuh rasa emosi negatif. Iri hati, takabur, perasaan selalu berkekurangan dan lain-lain.
Jika kita memiliki kemampuan bersyukur, menrima apa yang kita miliki, menerima segala garis hidup ketentuanNya, maka kebahagiaan itu akan datang memberi rasa damai.
Seperti yang ditulis Pak Tjip, “Kebahagiaan adalah bersyukur kepada Tuhan untuk semua yang ada pada diri kita. Walaupun masalah hidup selalu ada.”
Bersikap Bijak
Banyak yang bisa kita bisa pelajari tentang bersikap bijak dalam menghadapi semua hal dalam hidup, dari artikel Pak Tjip dan Bu Rose. Saya ambil petikannya dari 2 artikelnya.
Pertama soal Janji. Saya sepakat dengan artikel berjudul “Apa yang Diucapkan adalah Janji”.
Bahwa sesungguhnya apa yang kita ucapkan merupakan sebuah janji. Dan janji harus ditepati.
Saya bersepakat, karena ingkar janji itu menimbulkan dampak negatif, merugikan orang lain. Terlebih lagi, pada diri sendiri, janji itu mencerminkan sebuah sikap bertanggungjawab.
Kedua soal kepura-puraan. Melalui artikelnya berjudul “Kita Tak Mungkin Dapat Menyenangkan Hati Semua Orang”, Pak Tjip menyampaikan bahwa orang yang pura-pura tidak pernah akan merasa bahagia. Karena jiwanya sudah terbelenggu oleh kepura-puraan, maka dirinya akan menyangka bahwa semua orang yang ada di sekelilingnya juga sama dengan dirinya.
Menurutnya yang namanya teman tentu saja tidak mungkin kita atur harus bersikap begini begitu terhadap diri kita.
Sikap diri sendiri yang mungkin kita anggap baik, belum tentu dapat menyenangkan hati semua orang.
Mungkin salah seorang sahabat kita ketika kita berjumpa, setelah berjabat tangan langsung memonopoli pembicaraan dengan menceritakan kesuksesan dirinya. Tidak ada salahnya jadi pendengar yang baik sehingga tidak menimbulkan masaalah.
Demikian kiranya yang dapat paparkan, kesan saya terhadap Pak Tjip dan Bu Rose sebagai sesama Kompasianer. Semoga kita dapat meneladaninya.
*Tuisan ini saya dedikasikan kepada Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Roselina sebagai ucapan selamat “the Diamond Wedding Anniversary”. Selamat ltah perkawinan yang ke 60. Rahayu.
InstGRm @rachmatpy