Kebhinekaan Indonesia dalam banyak hal merupakan keistimewaan yang jarang dimiliki oleh bangsa lain. Indonesia memiliki keragaman sosial, suku, bahasa, seni, dan berbagai kebiasaan yang terangkum dalam sebuah bingkai yang disebut budaya. Bahkan sampai level kehidupan yang lebih spesifik Indonesia tetap menyimpan kekayaan yang beragam, misalnya, dalam seni verbal atau seni komunikasi menggunakan bahasa. Salah satu seni verbal itu adalah pantun.
Pantun merupakan salah satu seni sastra yang termasuk dalam genre puisi klasik (lama). Pantun dapat ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam seni pertunjukan naratif untuk menceritakan sejarah keagamaan atau sejarah lokal. Biasanya diiringi genderang.
Secara umum sebagian besar kesusastraan Nusantara dibentuk oleh genre campuran yang kompleks. Dalam masyarakat Sasak (Lombok), misalnya, terdapat seni rudat, sebuah seni pertunjukan yang mengkombinasikan seni musik, drama, tari, dan humor. Semuanya dipadukan dalam sebuah pementasan yang menakjubkan. Seni pertunjukan ini juga kerap menggunakan pantun dalam unsur dialog. Dalam masyarakat Sasak pantun dikenal dengan istilah pepinje.
Contoh pepinje
Kadal nongak le kesambik
Benang katak setakilan
Te ajah onyak ndek matik
Payu salaq kejarian
Kalau diartikan menjadi seperti berikut ini
Kadal mendongak di atas pohon kesambi
Benang mentah sebaskom
Dijari hati-hati tidak mendengarkan
Maka salah jalanlah akibatnya
Fakta lain bagaimana kombinasi beberapa genre seni itu dikemas adalah seni pertunjukan ‘randai’ di Minangkabau wilayah Sumatra Barat. Randai merupakan sebuah seni pentas yang memadukan seni musik, seni tarian, seni drama, dan seni bela diri. Semua genre seni itu dikemas dalam perpaduan pertunjukan yang mengagumkan.
Apa itu pantun?
Pantun merupakan salah satu budaya Indoensia dan telah mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak benda pada sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Kantor Pusat UNESCO di Paris, Prancis (dikutip dari https://anyflip.com/wiirj/cfbd/)
Renward Branstetter (Suseno, 2006; Setyadiharja, 2018; Setyadiharja, 2020) menjelaskan bahwa pantun berasal dari dua kata, “Pan” dan “tun”. “Pan” merujuk pada sifat sopan sedangkan kata “Tun” yang merujuk pada sifat santun.
Menurut Hussain (2019), kata “Tun” dapat diartikan juga sebagai pepatah dan peribahasa. Hussain menghubungkan kata pantun dengan kata tuntun (berarti teratur) dalam bahasa Pampanga, salah satu komunitas sosial di Philipina. Dalam bahasa Tagalog dikaitkan dengan kata tonton berarti mengucapkan sesuatu dengan susunan yang teratur. Hussain juga mencatat bahwa dalam bahasa jawa kuno terdapat kata tuntun (benang), atuntun (teratur), matuntun (pemimpin), panton (bisaya) berarti mendidik. Dalam bahasa Toba pantun bersinonim dengan kata kesopanan atau kehormatan
Mu’jizah (2019) memiliki penjelasan agak berbeda. Menurutnya, pantun berasal dari akar kata “tun” yang bermakna “baris” atau “deret”. Dalam masyarakat Melayu-Minangkabau pantun diartikan sebagai “panutun”. Sedangkan masyarakat Riau memahami pantun dengan istilah “Tunjuk Ajar” yang berkaitan dengan etika.
Dikutip dari KBBI, pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b).
Oktavianawati (2018) mendefinisikan pantun sebagai puisi yang terikat dengan ciri-ciri, terdiri dari empat baris atau larik dlam setiap bait, memiliki 8-12 suku kata, ditandai dengan rima ab-ab atau aa-aa, dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris ke dua merupakan isi. Sampiran pada pantun tidak memiliki arti tetapi berfungsi untuk menimbulkan kesan keindahan rima. Sedangkan isi pantun merupakan bagian penting karena mengandung pesan inti berupa nasihat atau pesan moral yang akan disampaikan.
Kegunaan Pantun
Kegunaan pantun itu ternyata banyak sekali. Pada zaman dahulu pantun kerap digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari. Dalam situasi formal pantun bisa biasa digunakan untuk mengawali sambutan pidato. Dalam situasi yang berbeda, pantun juga digunakan untuk membuat lirik lagu, sebagi media untuk perkenalan, dan media dakwah. Pantun Hamzah Fansuri dan Ar-raniri merupakan tokoh sufi yang banyak mengunakan pantun untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah keagamaan, moral, dan pikiran-pikiran sufistik.
Di samping itu, pantun juga berfungsi sebagai pemlihara bahasa. Dalam konteks ini, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan melindungi kemampuan berfikir seseorang, melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Seni pantun dapat menunjukkan kemampuan seseorang dalam berfikir secara cepat dengan bermain kata-kata,
Fungsi sosial pantun juga tidak dapat diabaikan. Seni sastra klasik ini mampu menjaga fungsi pergaulan yang lebih kuat. Fungsi sosial lainnya yaitu sebagai alat penguat penyampaian pesan.
Pantun, Syair, dan Gurindam
Pantun, syair, dan gurindam merupakan bagian dari sastra klasik. Namun ada beberapa perbedaan mendasar yang mencakup baris, sajak, dan hubungan persajakan.
Pantun memiliki ciri sebagai mana dijelaskan di atas. Dari sisi baris, terdiri dari empat baris pada tiap bait. Baris pertama dan ke dua disebut sampiran atau pembayang. Baris ke tiga merupakan isi. Pada unsur sajak, pantun bersajak (rima) a-b-a-b. Antara sampiran dan isi tidak memiliki hubungan sebab akibat. Sampiran hanya berfungsi sebagai pendukung estetis. Berikut ini merupakan contoh pantun.
Contoh 1
Bunga sekuntum tumbuh di taman,
Daun salam elok mahkota,
Assalamualaikum saya ucapkan,
Sebagai salam pembuka kata.
Contoh 2
Menanam padi di musim hujan
Padi ditanam berharap panen
Mari belajar beang mas hadi kawan
Semoga semuanya berkenanBanjir kanal jembatan patah,
Rimbun semak di pinggir kali,
Salam kenal saya mas Miftah,
Dari Demak berjuluk kota wali.
Syair terdiri dari empat baris dalam setiap bait, bersajak A-A-A-A, dan keemat baris memiliki hubungan persajakan satu sama lain.
Contoh syair
Inilah kisah bermula kawan
Tentang negeri elok rupawan
Menjadi rebutan haparan jajahan
Hidup mati pahlawan memperjuangkanEngkau telah mafhum kawan
Penggenggam bambu runcing di tangan
Pemeluk tetes darah penghabisan
Syahdan, Tuhan karuniai kemerdekaan.
Gurindam memiliki ciri yang khas, terdiri dari dua baris, bersajak A-A, dan baris pertam dan kedua memiliki hubungan sebab akibat yang berkaitan.
Contoh gurindam
Jika rajin salat sedekah,
Allah akan tambahkan berkah.
Baris gurindam di atas menunjukkan bahwa genre puisi lama ini memiliki bentuk yang singkat dan mengandung makna yang padat. Tidak seperti pantun yang cendrung bertele-tele. Gurindam disusun dalam kalimat yang lugas.
Cara mudah menulis pantun
Untuk membuat sebuah pantun tidak semua orang dapat menyusunnya dengan mudah. Seorang yang akan membuat pantun harus memahami kaidah atau ciri pantun, memiliki perbendaharaan kata yang luas, dan didukung kemampuan mengolah kata atau menempatkan diksi yang tepat.
Kaidah atau ciri khas pantun yang utama harus dipahami adalah rima atau persajakan. Paling tidak rima pantun terdiri dari, 1) rima akhir, 2) rima tengah dan akhir, 3) rima awal, rima tengah, dan rima akhir, dan 4) rima lengkap.
Contoh rima akhir
Pohon mangga dililit benalu
Benalu runtuhkan batu bata
Mari kita waspada selalu
Virus corona di sekitar kita
Contoh rima tengah dan akhir
Susun sejajar bungalah bakung
Terbang menepi si burung elang
Merdeka belajar masilah dukung
Wujud mimpi Indonesia cemelang
Contoh rima awal, dan akhir
Jangan dipertik si daun sirih
Jika tidak dengan gagangnya
Jangan diusik orang berkasih
Jika tidak dengan sayangnya
Contoh rima lengkap
Bagai patah tak tumbuh lagi
Rebah sudah selasih di taman
Bagai sudah tak suluh lagi
Patah sudah kasih idaman
Di samping pemahaman rima di atas, faktur pendukung yang sangat penting bagi seorang pembuat pantun adalah penguasaan kosa kata atau memiliki perbendaharaan kata yang luas. Hal ini terutama untuk memudahkan menyusun rima yang ada pada isi pantun agar sesuai dengan rima pada sampiran.
Sebagai contoh, penggunaan kata tahu dalam isi pantun. Kata ini harus memiliki rima yang sama pada baris sampiran, seperti, kata perahu, suhu, bahu, dan seterusnya.
Lombok Timur, 07 Februari 2023
Catatan:
Artikel ini merupakan resume pelatihan menulis PGRI (pertemuan ke 13) dengan Narasumber Miftahul Hadi, S.Pd dan moderator Dail Ma’ruf